Berita dari Cawang

Berita duka saya terima pagi ini. Syahrul Gondrong, salah satu ojek langganan saya mengabarkan kalau Budi, tukang ojek langganan saya yang lain, sedang istirahat. Budi ditabrak mikrolet di daerah Mangga Dua. Kemungkinan itu terjadi saat dia pulang ke rumah orang tuanya. Kecelakaan tersebut terjadi sekitar dua minggu lalu. Saya hanya berkata dalam hati, "pantesan cukup lama saya tidak melihatnya".

Budi adalah tukang ojek langganan saya yang pertama. Dia biasa menunggu calon penumpangnya di bawah jembatan penyeberangan di depan kampus UKI Cawang. Posisinya di tangga jembatan sebelah selatan yang ada pohon yang agak rimbun daunnya. Saya mulai menggunakan jasanya sekitar satu setengah tahun lalu. Pada awalnya, sepeda motor Vega R yang digunakannya masih mulus. Warnanya oranye, persis seperti sepeda motor adik saya. Belakangan sepeda motor itu berubah warna menjadi ungu gelap. Suaranya pun jadi cempreng. Saya harus memperhatikan tukang ojek yang berjejer di depan kampus UKI itu untuk menemukan Budi. Kalau dulu, motor dengan merek dan warna demikian sudah pasti milik Budi. Jadi dari kejauhan mata saya tidak susah mencari-cari.

Kalau Budi tidak ada, saya memilih Gondrong, yang biasa nongkrong di tangga sebelah Barat. Sempat juga menggunakan Roni, adik Budi yang sekarang--menurut cerita Gondrong--beralih menjadi sopir taksi. Ada dua orang lagi tukang ojek yang saya gunakan sebagai alternatif. Mereka paham kalau saya biasa dengan Budi dan Gondrong. Keduanya harus mengalah kalau saya lebih memilih naik motornya Budi atau Gondrong. Default ojek saya adalah Budi, setelah itu Gondrong, dan kalau keduanya tidak ada saya akan memilih yang lain.

Entah kenapa, baik di depan UKI maupun di Nagrak, semua tukang ojek langganan adalah orang-orang yang agak pendiam. Jarang sekali mereka mau memulai mengajak saya ngobrol selama perjalanan. Paling-paling Pak Hasri, tukang ojek yang biasa mengantar saya dari Nagrak ke rumah, yang mau memulai pembicaraan.

Budi, Gondrong, dan juga Roni adalah tukang ojek yang tidak suka mengejar-ngejar calon penumpang yang baru saja akan turun dari angkot, bis, atau metromini. Berbeda dengan tukang ojek lain yang suka mengejar-ngejar calon penumpang sehingga lebih sering membahayakan penumpang yang mau turun dari kendaraannya. Selain itu, tukang ojek langganan saya ini biasa tersenyum tipis meski mata mereka cukup tajam melirik calon penumpang. Mungkin karena sifat saya yang juga agak pendiam menyebabkan saya merasa cocok dengan mereka.

Budi biasa melarikan motornya dengan kencang. Dari depan UKI ke kantor saya di Menteng hanya ditempuh dengan waktu rata-rata 15 menit. Dengan yang lain bisa memakan waktu 20-30 menit. Gondrong sendiri mengatakan tidak tahu siapa yang salah dalam peristiwa kecelakaan itu: Budi atau Mikrolet. "Budi membawa motornya seperti kesetanan" kata Gondrong. Dalam hati saya mengiyakan. Namun,kalau waktu sudah mepet sekali dengan jam masuk kerja, justru saya menginginkan Budi yang mengantar saya.

Teman-teman sesama tukang ojek di Cawang mengumpulkan uang untuk pengobatan Budi. "Ada 23 jahitan di kakinya", cerita Gondrong. Saya tanya berapa ongkos pengobatan Budi. Gondrong tidak bisa menjawab. Yang jelas teman-temannya berusaha mengumpulkan uang untuk membantu. Setelah mendapat kecelakaan itu, Budi tinggal di rumah Ibunya di daerah Mangga Dua. Tidak ada yang tahu di mana sebenarnya Budi tinggal. Menurut Gondrong, selama ini teman-temannya hanya tahu kalau Budi biasa istirahat malam di kolong jembatan atau jalan layang di sekitar Cawang. Mungkin ia tidak memiliki tempat tinggal. Saya sedih mendengarnya. Ternyata orang yang nyaris setiap hari mengantarkan saya ke tempat kerja tidak memiliki tempat tinggal yang tetap.

Tukang ojek di Cawang tahu peristiwa nahas itu dari Roni, adik Budi. Roni sempat beberapa bulan di Cawang. Rupanya solidaritas para tukang ojek ini masih kuat. Organisasi perkumpulan tukang ojek Cawang yang mereka buat ternyata sangat bermanfaat. Paling tidak mereka masih memiliki rasa senasib sepenanggungan. Urunan uang bisa dilakukan. Mereka masih mau bahu membahu membantu teman yang mendapat musibah. Hal ini tentu kebalikan dari masyarakat kelas menengah Jakarta yang sering tidak mau tahu kondisi orang-orang di sekitarnya. Saya kagum pada mereka.

Sepanjang perjalanan tadi pagi, saya hanya mendengarkan cerita-cerita si Gondrong. Selain tentang Budi, ada juga tentang kemacetan yang menyebabkan kami selalu menggunakan jalan pintas di daerah Tebet. Namun karena sudah semakin banyak orang yang tahu jalan ini, maka jalan yang semula alternatif yang cukup lancar, sekarang mulai ramai dan cenderung padat. Sesampai di kantor, saya menitipkan sejumlah uang untuk Budi. Saya bisa merasakan beratnya mendapat musibah. Saya hanya ingin membantu. Tentu sebatas yang saya mampu.

Read More......

Harga Sebuah Kejujuran

Ini terjadi hari Minggu, tiga hari lalu. Saat sedang asyik memandikan Zahid, anak kami, di pojok kiri rumah tinggal, datang seorang tamu. Zahid yang memang senang bermain air keran, sore itu saya minta sekalian mandi. Menggosokkan sabun di badannya, membilas dengan menyemprotkan air dari selang, dan diiringi dengan tawa riang anak kami ini, merupakan pekerjaan yang sangat membahagiakan. Hal ini sering hanya bisa saya alami pada hari Sabtu dan Minggu. Hari-hari lain biasanya jalan-jalan pagi seusai shalat subuh mengitari komplek perumahan tempat kami tinggal. Selesai memandikan Zahid saya temui tamu itu.

Namanya Erik. Ketika berdialog dengan saya, dia lebih senang menyebut dirinya dengan "Erik" daripada menggunakan kata "saya". Kesannya seperti anak-anak. Seperti anak saya yang lebih serng menyebut dirinya "Zahid" daripada "aku". Perawakannya sedikit gemuk, tingginya lebih kurang 160 cm, bicaranya memosisikan dirinya masih anak muda, dan memanggil saya dengan sebutan Pak. Dari dialeknya, dia dari suku Sunda. Sebelumnya, ia pernah datang ke rumah kami dan bertemu dengan Istri saya. Rupanya Erik ini yang dulu menawarkan Vacuum Cleaner yang diproduksi di salah satu negara di Eropa. Setelah ia menjelaskan panjang lebar yang pada intinya adalah merayu supaya saya mau membeli, akhrinya saya sampaikan bahwa saya sangat tertarik, namun sayangnya alat ini masih belum menjadi prioritas kebutuhan.

Akhirnya ia meminta izin untuk mempraktikan cara kerja alat ini. Katanya untuk menambah point dia sebagai seorang sales dari perusahaannya. Saya mengizinkan. Ia pamit untuk mengambil peralatan di mobil. Hingga sekitar 15 menit saya tunggu, Erik tidak juga datang. Karena sudah pukul 17.30 sore, saya putuskan untuk mandi. Baru saja mau masuk kamar mandi, Erik sudah datang dengan memberi salam. Saya keluar. Erik bersama dengan seorang temannya. Ia keluarkan alat penyedot debu itu. Ia minta sebuah karpet untuk bisa mempraktikkan. Saya beri karpet kecil, satu-satunya yang kami miliki, yang masih tergulung di kamar.

Sejujurnya kami jarang menggunakan karpet. Ruang tengah rumah tinggal kami polos. Kalu malam ada sebuah busa tempat tidur untuk Zahid. Anak kami sejak lahir tidak suka tidur di kamar. Untuk mengantisipasi serangan nyamuk, kami memasang kelambu yang mengurung tempat tidur itu bersama Zahid di atasnya.

Karpet yang dibersihkan Erik memang sudah tidak kami gelar beberapa minggu terakhir. Kondisinya sedikit berdebu. Vacuum cleaner yang dibawa Erik meraung-raung menghisap setiap debu yang menempel. Setelah sekitar lima menit, alat itu berhenti bekerja, dan Erik memperlihatkan debu yang berhasil dikumpulkan alat itu. Alat ini memiki beberapa aksesoris pelengkap cara kerja yang bisa membersihkan lantai, karpet, spring bed, rak buku, sudut-sudut kamar dan perabot rumah tangga lainnya. Sungguh sebuah alat yang begitu bermanfaat dan memudahkan, tidak saja karena saya tahu alat semacam biasa dipakai di rumah-rumah, masjid, bahkan di kantor, tapi karena kemampuannya membersihkan, dan orang yang melakukannya tidak ikut terkena debu seperti yang biasa terjadi pada saya. Namun, sekali lagi, saya katakan pada Erik dan temannya itu bahwa alat ini belum menjadi prioritas kebutuhan yang harus saya beli sekarang.

Teman Erik terus merayu sambil menjelaskan bagaimana pembayaran jika membeli dengan secara tunai dan secara kredit. Alat yang ditawarkan seharga hampir 4 juta rupiah jika dibayar dengan tunai. Ia mengatakan bahwa Erik sampai saat ini belum mendapatkan pembeli. Ia bicara demikian dengan sungguh-sungguh. Tapi saya tidak ingin membeli hanya karena rasa kasihan. Saya mengukur kemampuan keuangan keluarga yang sungguh belum memungkinkan kami untuk membelinya, sebab masih banyak kebutuhan lain yang lebih utama dan mendesak. Apalagi hampir setengah tahun terakhir istri saya berhenti bekerja, sehingga pendapatan lebih bergantung dari penghasilan yang saya peroleh.

Istri saya menanyakan tentang program pembersihan rumah yang Erik tawarkan pada kunjungan sebelumnya. Program ini berupa pembersihan rumah secara periodik sekali dalam dua pekan dan berlangsung selama enam bulan. Ongkosnya cuma 50 ribu. Saya sendiri merasa itu harga yang cukup murah. Apalagi membersihkan seluruh sudut-sudut rumah. Saya khawatir apakah ia juga memiliki pelanggan yang lain untuk program ini.

Erik mengiyakan bahwa program ini masih ada. Ada beberapa rumah tangga di komplek tempat tinggal kami yang sudah mendaftar supaya rumahnya dibersihkan dengan alat penghisap debu dari Erik. Teman Erik menampakkan wajah kecewa. Erik sebenarnya juga kecewa namun masih tidak begitu kelihatan. Erik dan temannya mencatat alamat lengkap pada blanko pendataan, dan memberikan satu lembar salinannya kepada kami. Setelah membereskan peralatan, memasukkannya ke dalam tas khusus, lalu Erik dan temannya pamit pulang. Saya menyerahkan uang 50 ribu kepada Erik. Ternyata di luar pagar sudah ada orang dengan polo shirt berwarna putih berdiri menunggu, dan bergerak menjemput Erik di depan gerbang rumah kami. Saya dan istri hanya tersenyum.

Belum lama kemudian terdengar suara salam dari depan rumah. Saya sudah berada di dalam kamar mandi. Istri saya yang menemui. Terdengar percakapan. Saya pikir teman Erik yang tadinya menawarkan vacuum cleaner tetapi dengan merek lain, yang ia peroleh karena berhasil mencapai point sewaktu menyelenggarakan pameran. Teman Erik itu menawarkan dengan harga lebih murah karena ia sendiri tidak membutuhkan alat tersebut. Ternyata yang datang adalah atasan Erik.

Usai mandi istri saya menginformasikan bahwa atasan Erik melihat saya memberikan uang pada Erik. Ia bertanya, atas dasar apa uang itu kami berikan. Dia menyampaikan bahwa mempraktikan cara kerja alat yang mereka pasarkan adalah gratis. Membersihkan beberapa bagian dari rumah adalah gratis. Calon pelanggan tidak boleh memberikan uang sepeser pun. Istri saya kaget dan menjelaskan bahwa uang 50 ribu yang kami berikan adalah untuk ongkos menjadi pelanggan program membersihkan rumah selama 6 bulan. "Bukankah ini kebijakan dari Perusahaan?", tanya istri saya. Kembali atasan Erik itu mengatakan bahwa program itu gratis. Sebelum berlalu pergi, orang ini berjanji uang kami akan kembali.

Istri saya menjadi cemas. Saat akan memberikan uang, saya sudah menanyakan pada Erik apakah kami bisa mendapatkan nota pembayaran. Erik mengatakan bahwa blanko pendaftaran program bersih-bersih debu di rumah itu sudah cukup. Saya dan istri memang hanya melihat tulisan "Cuma-Cuma" dan tidak tertera jumlah ongkos 50 ribu yang harus kami bayar. Istri saya khawatir Erik akan dipecat karena telah memungut bayaran untuk program perusahaan yang seharusnya gratis. Saya sendiri menilai hal itu tidak perlu ditanggapi serius. Kalau pun Erik dipecat oleh perusahaannya, tentu merupakan hal wajar, sebab dalam hal ini, nama perusahaan menjadi taruhannya. Sebenarnya, kalaupun program itu benar-benar dijalankan dengan gratis, saya sendiri tetap akan memberikan "ongkos sekedarnya".

Perusahaan mungkin memiliki kebijakan yang ketat. Program membersihkan rumah dengan cuma-cuma, menurut saya, adalah bagian dari meyakinkan calon pembeli bahwa alat tersebut benar-benar layak untuk dibeli. Erik seharusnya mematuhi kebijakan perusahaan tempat ia bekerja. Mencari nafkah memang bukan hal yang mudah. Apalagi saat ini mendapatkan pekerjaan amatlah sulit. Begitu banyak pengangguran. Namun tidak sedikit orang yang bekerja di perusahaan atau lembaga-lembaga lain harus kehilangan pekerjaan karena ketidakjujuran.

Saya hanya berpikir, kalau Erik sampai dipecat, itu merupakan resiko yang harus ia hadapi sendiri. Itu adalah harga sebuah kejujuran yang ia abaikan. Di mana pun, kejujuran lebih berharga daripada uang, berapapun jumlah uang itu. Hanya orang yang buta hati yang mau mengabaikannya.

Read More......

Radikalisme vs Neoliberalisme

Jumat malam, sekitar pukul 20 saat itu, saya masih berada di Kantor. Mas Wildan menyapa melalui Yahoo Messenger. "Masih di kantor mas?". Saya memang masih di kantor, sedang mengganti template blog saya dengan yang baru hasil modifikasi Peter Chen yang semula hanya dua kolom menjadi 3 kolom. Mas Wildan menanyakan apakah saya sudah membaca tulisannya Education the best counter for radicalism yang dimuat di the Jakarta Post, Kamis 19 Juli 2007. Mas Wildan, yang juga seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta serta alumnus Pesantren Al-Mukmin Ngruki, menulis tentang pendidikan sebagai cara terbaik untuk mengekang radikalisme. Saya menebak, tulisan ini merupakan bagian dari upayanya untuk menjelaskan akar tumbuhan radikalisme umat Islam setelah 9/11 dan kampanye antiteroris yang dipaksakan George W Bush ke seluruh dunia.

Tulisan mas Wildan ini mencoba menunjukkan peran penting pendidikan untuk mengurangi radikalisme. Pendidikan dibutuhkan untuk meluaskan pandangan umat Islam dalam menyikapi arus deras moderenisasi dan globalisasi (yang dikendalikan oleh barat). Dari sekian banyak persoalan bangsa--yang menurut saya berakar pada kemiskinan, pendidikan mampu mengurangi salah satu masalah besar, yakni munculnya radikalisme umat Islam.

Menjadi sulit untuk mewujudkan kemudahan akses bagi semua warga negara pada pendidikan yang lebih tinggi. Selain karena sejak masa pembangunan yang digagas Pemerintah Orde Baru di awal 970-an bukan menjadi prioritas, juga karena hingga saat ini arus globalisasi dan moderenisasi itu sendiri telah ikut berperan menekan Pemerintah untuk mengabaikan arti penting pendidikan sebagai modal awal menjadi bangsa mandiri. Kampanye yang dilakukan pemerintah bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab untuk pembiayaan pendidikan melalui Dewan Sekolah atau Komite Sekolah merupakan wujud semakin nyata Pemerintah hendak melarikan diri dari tanggung jawab menyediakan pendidikan yang layak bagi warganya.

Penghapusan subsidi pendidikan, bukan semata karena keinginan pemerintah, namun lebih merupakan hasil tekanan neoliberal yang memanfaatkan globalisasi sebagai alat untuk menguasai banyak negeri dunia ketiga macam Indonesia. Aktor-aktor global ini, yang jelas bagi saya merupakan kelompok pemegang kapital, ingin menguasai kekayaan alam dan sumberdaya yang bisa dibayar murah di negara-negara dunia ketiga. Mereka telah memainkan IMF, Bank Dunia dan lembaga keuangan lintas negara lainnya untuk menguasai. IMF dan Bank Dunia misalnya, telah sejak lama menjadi alat atau kepanjangan tangan kapitalis.

Pembangunan lebih dari 30 tahun Indonesia merupakan hasil perencanaan lembaga keuangan dunia, yang aslinya adalah rancangan masa depan buat Indonesia yang disediakan oleh Pemerintah Amerika. Untuk mendukung semua itu, intelektual-intelektual Asing menjadi penasihat pembangunan yang disediakan bagi Pemerintah Indonesia. Intelektual Akademik di kampus-kampus besar di tanah air disekolahkan ke Amerika untuk memuluskan pandangan-pandangan Amerika mengenai konsep pembangunan yang "terbaik" yang harus dijalankan Indonesia. Mahasiswa yang berhasil "diajari" di kampus-kampus ini, lalu menyebarkan ide-ide pembangunan, disamping oleh mereka yang menjadi birokrat di daerah, juga mereka yang berperan sebagai aktor pelaksana pembangunan itu sendiri.

Dana pembangunan digelontorkan dalam wujud pinjaman yang amat besar. Salah satu contohnya adalah dana pembangunan irigasi untuk mendukung pelaksanaan revolusi hijau. Revolusi hijau sendiri ternyata justru mematikan petani secara umum karena, disamping mengabaikan pengetahuan lokal petani akan pertanian mereka, juga menghancurkan tatanan sosial yang ada. Peran perempuan di tanah pertanian disingkirkan, individualisme dipupuk habis-habisan karena mengejar target masing-masing, serta penggunaan pupuk dan pembasmi hama berbahan baku kimia. Pencapaian secara keseluruhan, berupa swasembada pangan, ternyata merupakan realitas semu. Sekarang, menjadi petani--yang nyaris tanpa dukungan kebijakan yang memadai dari pemerintah--justru merupakan cita-cita yang semakin ditinggalkan oleh masyarakat.

Pendidikan yang dikenyam oleh generasi 1970-an hingga sekarang, telah menjauhkan peserta didik dari pertanian. Pendidikan liberal yang diberikan justru melempar mimpi (ke arah) lulusan-lulusan sekolah untuk menggapai industri (barang dan jasa) sebagai cita-cita. Padahal kultur industri demikian hanya tumbuh subur di negeri yang tidak memiliki akar masyarakat agraris seperti Indonesia. Ketidakmampuan menjadi totally masyarakat industri dan dan saat bersamaan telah meninggalkan kultur pertanian, melahirkan generasi miskin di mana-mana. Kemiskinan ini telah menimbulkan ketidakharmonisan sosial yang melahirkan berbagai penyakit sosial pula.

Pendidikan masih bukan prioritas utama Pemerintah dalam mengatasi persolan bangsa. Kewajiban untuk mengalokasikan 20 persen APBN untuk pendidikan seperti disebutkan dalam konstitusi tidak juga dipenuhi. Radikalisme, dalam arti kekerasan yang membabi buta yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di tanah air, tidak dapat diatasi semata oleh penyediaan pendidikan hingga perguruan tinggi. Saya sendiri tidak yakin itu dapat dicapai tanpa keberanian pemerintah melawan tekanan asing untuk mencabut subsidi bagi orang miskin.

Pemiskinan secara sistematis lewat pencabutan subsidi semua kebutuhan pokok masyarakat (bahan bakar, bahan-bahan kebutuhan pokok, pendidikan, pertanian, transportasi, dan lain sebagainya) melahirkan tidak saja radikalisme umat beragama, namun juga semakin menyuburkan penyakit-penyakit sosial lainnya. Kemiskinan menyuburkan gesekan-gesekan sosial horisontal karena perebutan akses ekonomi yang semakin sulit. Perang antar-suku di papua saya pikir bukan semata orang di sana suka berperang, namun karena akses pada sumber ekonomi yang semakin sulit. Banyaknya anak sekolah yang ingin bunuh diri karena tidak bisa membeli buku atau membayar uang sekolah memperlihatkan bopeng wajah pendidikan kita. Pengakuan para pekerja seks komersial bahwa mereka terjebak di dunia yang sekarang mereka geluti lebih karena tekanan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Tidak kurang dari 200.000 perempuan menjadi TKI setiap tahunnya karena impian mendapat sumber penghidupan yang lebih baik dari pada sekedar menjadi petani tanpa lahan.

Satu diskusi mengenai Peraturan Daerah (bernuansa Syari'ah) bermasalah diselenggarakan Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan minggu lalu. Dalam analisis Candra, yang memberikan presentasi di salah satu sesi, ia menyebut bahwa Perda-Perda itu dirancang dan dipaksakan berlaku oleh mereka yang disebutnya sebagai kelompok fundamentalis. Kelompok fundamentalis ini, menurutnya, harus diwaspadai. Sebab mereka bergerak di hampir semua lini kehidupan masyarakat. Kelompok fundentalis ini menyelenggarakan sekolah-sekolah gratis, menyediakan pengobatan gratis, memberdayakan perekonomian masyarakat. Selain itu, dalam penyebaran ide-ide fundamentalisnya, mereka memanfaatkan media massa.

Saya sendiri menilai, bahwa betul ada beberapa hal yang salah pada Perda di beberapa daerah itu, baik dalam konsep maupun pelaksanaannya. Ada korban penangkapan oleh aparat pemerintah daerah terhadap seorang perempuan yang baru pulang dari bekerja pada malam hari. Tangerang adalah daerah industri dimana banyak pabrik berdiri. Buruh perempuan yang kebetulan shift kerjanya menyebabkan ia pulang malam telah ditangkap karena perempuan dilarang keluar rumah pada malam hari. Kalau mau ditilik dari sisi syari'ah Islam, jelas salah menangkap orang dengan tuduhan yang mengada-ada dengan menyatakan perempuan itu adalah seorang pekerja seks.

Saya tidak berkehendak mengulas perdebatan tentang Perda (bernuansa syari'ah) itu. Saya hanya tersentak oleh pandangan pejuang hak asasi perempuan yang diwakili oleh Candra. Apa yang salah pada kelompok orang yang memberdayakan ekonomi rakyat? Apa yang menyebabkan orang tidak boleh memberikan pengobatan gratis dan sekolah bermutu dengan cuma-cuma? Saya sendiri belum melihat kebanyakan gerakan sosial ikut memberdayakan perekonomian rakyat, menyediakan pendidikan, pengobatan, dan layanan sosial gratis lainnya. Yang saya tahu, kebanyakan usaha pemberdayaan masyarakat miskin memang didominasi oleh gerakan kelompok keagamaan. Selain itu, kelompok keagamaan ini justru mendapatkan dana besar dari luar negeri yang tujuannya antara lain untuk penyebaran agama. Saya sendiri menduga penyebaran agama ini pun seiring pula dengan upaya penundukkan masyarakat lokal untuk penguasaan mereka terhadap sumber-sumber sosial yang menjadi sasaran globalisasi ala neoliberal. Kecurigaan ini muncul setelah saya membaca New Internationalist edisi Oktober 2005 yang menyebutkan bahwa 60 persen Ornop (jangan baca: LSM) bergerak dalam bidang agama. Sementara, dana besar yang mengalir ke organisasi-organisasi itu antara lain bersumber dari pajak dan sumbangan perusahaan multinasional.

Saya belum mengetahui bahwa usaha-usaha pemberdayaan yang dilakukan oleh kelompok yang dianggap fundamentalis Islam ini memiliki modal yang bersumber dari bantuan luar negeri. Negara-negara kaya minyak yang mayoritas penduduknya Muslim di Timur Tengah lebih senang menyumbangkan banyak uang bantuan untuk membangun masjid, panti asuhan, dan pencetakan Al-Qur'an daripada pengentasan kemiskinan. Dana-dana yang digunakan untuk pemberdayaan ekonomi kaum dhuafa (fakir-miskin), sekolah gratis, dan pengobatan tanpa bayar, berasal dari usaha menggalakkan pembayaran zakat, infak dan shadaqah masyarakat di tanah air. Kelompok ini, alih-alih mengemis pada lembaga donor, mereka justru bergerak membuka kesadaran dari masjid ke masjid, dari satu pengajian majelas ta'lim ke pengajian majelis ta'lim lainnya untuk mengumpulkan uang. Dari pada menggantungkan harapan pada pemerintah yang melulu mengeluarkan kebijakan bernafaskan neoliberalisme di semua lini kehidupan, kelompok yang dinilai fundamentalis lebih senang mengelola keuangan yang terkumpul untuk memberdayakan kaum dhuafa sehingga mampu meninggalkan kondisi miskin yang mereka hadapi.

Kembali ke tulisan mas Wildan. Sebagai seorang yang sempat mengenyam pendidikan tinggi di level universitas seperti yang mas harapkan, saya menyadari sepenuhnya ketimpangan dunia yang dihasilkan dari moderenisasi dan globalisasi seperti yang mas Wildan tulis. Modernize yang menurut kamus saku Oxford yang saya miliki berasal dari kata modo (just now); make modern; adapt to modern needs or habits serta Adopt modern ways or views bagi saya merupakan seperangkat nilai. Globalisasi menurut yang saya fahami, merupakan kelanjutan dari kata globe yang menunjuk pada bumi yang dihuni oleh manusia. Maksud dari globalisasi sendiri merupakan proses pengglobalan nilai-nilai yang dianggap moderen.

Yang menjadi persoalan sekarang ini, menurut saya, adalah ketika nilai-nilai yang dianggap moderen (nyaris di semua lini kehidupan) adalah nilai-nilai yang didefinisikan dan dipaksa diterapkan di seluruh dunia (globalisasi) oleh "Barat". Lalu semua semua nilai yang bukan dari Barat dianggap tidak moderen. Pada prosesnya, moderenisasi yang berlangsung tanpa reserve ini telah mematikan nilai-nilai lain di luar yang didefinisikan Barat. Yang menjadi korban adalah nilai-nilai masyarakat lokal yang tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun lalu. Nilai-nilai lokal bukan hanya yang dianut dan menjadi acuan Muslim di tanah air, namun juga nilai-nilai asli masyarakat Jawa, Dayak dan Banjar di Kalimantan, Asmat dan Dani di Papua, Aceh, dan masyarakat lainnya di tanah air.

Adanya perlawanan terhadap moderenisasi dan globalisasi (Barat) merupakan sebuah bentuk respon terhadap ketidakadilan global. Moderenisasi dan globalisasi yang terjadi menjadi bagian dari proses pemiskinan di tanah air. Keduanya, adalah alat aktor neoliberal untuk menguasai dunia ketiga. Kemunculan radikalisme umat Islam merupakan respon ketidakadilan yang diciptakan kaum neolib terhadap dunia ketiga (khususnya umat Islam), yang antara lain juga menjadikan isu war on terrorism sebagai alat untuk penundukan. Bisa jadi pula, aktor-aktor neoliberal sudah memprediksi jauh-jauh hari, bahwa Islam merupakan rintangan paling berat yang akan membatasi ruang gerak mereka.

Pendidikan untuk mengekang radikalisme seperti yang ditawarkan oleh mas Wildan, tidak akan terwujud selagi pemerintah masih tunduk pada paksaan neolib untuk terus mengurangi subsidi. Yang terjadi sekarang, adalah upaya menjadikan "kaum terdidik" yang beragama Islam mengenyam pelatihan dan pendidikan yang lebih tinggi lagi, berubah menjadi moderat, dan kembali ke tanah air untuk menjalankan agenda memoderatkan mereka yang dinilai radikal. Mereka yang sudah moderat ini merupakan alat ampuh mengubah pandangan masyarakat menjadi moderat lebih dulu sebelum diajak menjadi radikal oleh kelompok yang dianggap fundamentalis.

Kemudian, terjadilah pertarungan antara si moderat dan si radikal hingga memenuhi media massa yang mencuri perhatian banyak orang. Sementara itu, kapitalis neoliberal melenggang kangkung masuk menguasai sumber-sumber ekonomi di negeri ini.

-------------

Education the best counter for radicalism

Opinion News - Thursday, July 19, 2007

Muhammad Wildan, Singapore

The spread of radical Islamism in Indonesia has led many people to assume that it has to do mostly with the incorrect interpretation of Islam. Although this assumption may not be totally incorrect, this judgment is misleading. For some people, this could lead to theological accusations of Islam.

Rather, I tend to argue that, in fact, religion, including Islam, has been misused to frame people's disappointment with the state. I share the view of Olivier Roy (2004), who insists that along with global factors, the emergence of radical Islamism is mostly shaped by local peculiarities.

Modernization and globalization are mainstreaming across the world, including in some predominantly Muslim countries. Regardless of some advantages of these mainstreams, in general they have some disadvantages. Indeed, modernization and globalization have marginalized the role of religion. In the Indonesian context, Islam has lost its social authority.

The rise of radical Islamism, however, has not directly connected with Islam as a religious and social system. A number of studies on radical Islamic boarding school (pesantren) also conclude that there is nothing wrong with the Islamic teachings at some pesantren accused of breeding radicals.

In my view, the inability of religious followers to face modernity eventually leads them to such radicalism. Therefore, it is the task of the government to let all Muslims get involved in the mainstream.

The return of some Muslims to salafism (which advocates Muslims to return to the Koran and Hadith), in a way, is a sign of Muslims' rejection of modernity and globalization. It is the ideology of salafism that restricts the access of Muslims to modern values. Therefore, only higher education can accelerate Indonesian Muslims' move to moderation.

Those who opt for radical Islamism mostly share relatively narrow-minded views. Most of them had no chance to attend university. In many ways, this situation has confined their way of thinking to a single point of view. The limited number of books or knowledge resources, to some extent, has also restricted their insights.

The difficulties in comprehending current phenomena of modernity and the globalized world have forced some Muslims to look back to the traditional values of Islam. Salafism, the belief of Muslims during an earlier period of Islam, is perceived as the best generation of Muslims. They believe returning to salafi will help them regain their heyday. Undeniably, most radical Islamic groups, including those committed to violence, have embraced salafism.

One of the most crucial issues among these people is the notion of darul Islam (state of peace) and darul harb (state of war). For those who have embrace salafism this dichotomy is the best way to comprehend current social and political problems.

In addition, the inability of the Indonesian government to cope with social problems in the last 10 years also has convinced some Muslims of the necessity of sharia.

Along with demands for sharia ordinances in some regions in Indonesia, some Islamists have resorted to violence to achieve their goals. In many cases, the violence involves those having narrow-minded views.

For this reason, the government should not blame Islam for promoting radicalism. Rather, it should provide good and affordable higher education for all. It is only through education that modernization can be viewed as a positive aspect of life, instead of a threat.

Muslims, like other citizens, need higher education to broaden their minds in the era of globalization. Secondary school is no longer enough for them to cope with modernity and the complexities of the global world. Higher education will reduce cultural conflicts between traditional Islam and modernity, and therefore curb radicalism.

Education will not only help Muslims comprehend modernity, but also to take part in the mainstream and lead modernization itself.

In this case, I disagree with Olivier Roy, who says that Islam cannot choose the form of its own modernity. Indeed, modernization is becoming an integral part of life and it is not necessary for Muslims to avoid modernization, but they can pick their own type of modernity that fits traditional and religious values.

In this respect, I do agree with Mahmood Mamdani (2004), who states that a "culture talk" between Islamic values and Western modernity would generate a distinct type of modernity. However, it will not materialize unless Muslims enjoy good education.

The writer is a lecturer at Sunan Kalijaga State Islamic University, Yogyakarta. Currently, he is a fellow at the Asian Research Institute at the National University of Singapore. He can be reached at wildan71@yahoo.com

Read More......

Puisi Diri

Hampir seminggu tidak membaca imel yang masuk di beberapa milis yang saya ikuti. Saya baru usai membaca sebuah puisi yang dikirim oleh penulisnya sendiri ke sebuah milis yang memperjuangankan hak asasi perempuan. Saya terkaget-kaget, kemudian berpikir. Jarak antara yang saya pikirkan dengan kenyataan sebenarnya ada dalam pikiran si pembuat puisi ini bisa jadi jauh sekali.

Apa yang saya pikirkan mengenai puisi yang ditulis "aktivis" perempuan bernama S***h ini?

Saya membayangkan si penulis mencipta puisi ini dengan begitu khusuk merenung, berfikir jauh tentang kondisi bangsanya, di sebuah kedai kopi HardRock atau Starbuck. Atau di sebuah rumah makan McD atau Kentucky, sambil menghirup segelas Coca Cola dan mengunyah keripik kentang yang renyah di sana. Kentang yang dihasilkan dari pegunungan di Garut, yang tahun 2003 lalu melongsorkan sekian kubik tanah dari dataran tinggi itu, menghempas rumah-runah penduduk desa di sekitarnya, dan ikut pula merenggut nyawa orang-orang tak berdosa. Menurut salah seorang dari Kementerian Lingkungan Hidup kala itu, hutan di gunung itu disulap menjadi lahan yang khusus menghasilkan kentang-kentang yang memasok makanan cepat saji di kota.

Mulailah S***h menulis, sebaris demi sebaris, hingga selesai ia tuntaskan makan dan minumnya. Nyaris bersamaan, selesai pula puisi di tangannya.

Pikiran saya, bukan si penulis atau puisinya, melanglang ke mana-mana. Saya membacanya. Tapi saya melihat nada yang nyinyir pada puisi ini. Hari gini, banyak yang pandai menuliskan puisi, sekian banyak pula hanya sebatas suara lantang di ruang yang kosong atau di tengah masyarakat dengan kondisi perut keroncong. Saya khawatir si penulis tidak menyadari bahwa dirinya bisa menjadi bagian dari sebuah masalah. Tidak pula, mereka yang memeperjuangkan hak-hak warga negara, begitu gigih berjuang di hotel berbintang di sana sini di siang hari, malam hari membuat tradisi melepas lelah di Cafe dan "warung modern". Tak kalah pentingnya, kalau demonstrasi sepatunya Nike dan Levi's Strauss sambil menenteng minuman cola asli "negeri sana".

Bisa jadi tidak hanya Anda, tapi juga saya, berteriak seolah diri tak terkait dari semua masalah di negeri ini. Saya berpikir sekali lagi, jangan-jangan saya, seperti si penulis puisi ini, sudah begitu terlena meninggalkan masa lalu yang suram serba kekurangan. Atau memang karena berpura-pura bersalah atas fasilitas kelas menengah yang didapat sejak belia, dan sekarang seolah mendapat kans untuk berpihak pada si korban ketidakadilan dunia.

Maafkan, saya masih belum berani menyebut diri aktivis. Saya orang biasa yang mencoba berpikir untuk sesama. Yang dapat saya lakukan hanyalah ngobrol dengan tetangga dan orang di sekitar saya, sembari sesekali melontarkan pernyataan dan pertanyaan untuk mengajak mereka berpikir tentang ketidakadilan dunia. Perubahan mendapatkan arah sebenarnya dari kesadaran kritis dan keihlasan tanpa iringan mimpi jangka pendek segelintir orang yang berambisi secara pribadi.

--------------------

Sosialis

Aku adalah seorang sosialis,
yang hatinya gampang teriris,
melihat para kaum para kaum reformis,
mengusir rakyat dari tanah adatnya sendiri dengan bengis,

aku adalah seorang sosialis,
yang tak suka dengan para kaum kapitalis,
yang menghabiskan sumber kekayaan alam,
tanpa pernah melakukan upaya menjaga kelestarian alam,

aku adalah seorang sosialis,
yang tak suka dengan para kaum materialis,
yang suka merampok uang rakyat sesuka hati,
tanpa pernah ada rasa bersalah di hati

Jakarta, 7 Juli 2007
By : S***h Jakarta

Read More......

Bahasa Bengkulu Campur-Campur



Kalau diperhatikan, sebenarnya propinsi Bengkulu memiliki bahasa daerah yang banyak. Itulah sebabnya, menurut guru Antropologi saya waktu di SMA dulu, Pemerintah Daerah tidak menetapkan satu bahasa daerah ini yang menjadi muatan lokal pelajaran "Bahasa Daerah" di sekolah.

Teman saya dari Bekasi, Bandung, atau Garut bisa mendapatkan pelajaran bahasa Sunda sebagai satu mata pelajaran wajib waktu masa-masa sekolah dulu. Tidak demikian yang saya alami di Bengkulu. Mau belajar bahasa daerah yang mana kalau nyaris di setiap kecamatan memiliki bahasanya sendiri-sendiri.

Saya, karena berasal daerah paling ujung selatan Propinsi Bengkulu, kemudian hidup berpindah-pindah di seputar Bengkulu Selatan hingga Kota Bengkulu, memahami beberapa bahasa yang ada. Emak berasal dari Alas (sekarang Kabupaten Talo) dan Bapak dari Kaur. Saya lahir di Kaur. Dari kedua orang tua saya itu, saya bisa memahami bahasa Alas dan bahasa Kaur.

Selain bahasa Kaur dan bahasa Alas, meski kurang lancar, saya bisa berbahasa Padang Guci, Kedurang, Manna, Tais, Bahasa Tanjung Agung dan Sekitarnya, bahasa Bengkulu Kota yang hampir sama dengan bahasa Palembang-Sumatera Selatan itu, serta Bahasa Bengkulu Pantai. Masih ada beberapa bahasa yang sama sekali saya tidak mampu memahami, karena saya memang belum pernah tinggal di daerah itu, yakni bahasa Kepahyang dan bahasa Bengkulu Utara. Bayangkan, bahasa mana yang mau diajarkan kepada anak-anak sekolahan di Bengkulu?

Sewaktu masih di Yoyga, sesekali saya menjenguk saudara sepupu yang nyantri di Mu'allimat Muhammadiyah. Ada dua orang, Betty dan Icha. Kedua adik saya ini memiliki bahasa yang berbeda. Mereka berdua saudara sepupu. Icha yang tinggal di Kota Bengkulu jelas terbiasa menggunakan bahasa Bengkulu Kota. Juga memahami bahasa Alas dimana kedua orang tuanya berasal. Betty berasal dari Seginim, daerah di bagian selatan Propinsi. Uniknya, Betty tidak bisa berbahasa Bengkulu Kota dan berbahasa Alas. Ia hanya mampu berbahasa Seginim dan bahasa Indonesia seperti yang dia dapatkan di sekolah. Icha dan Betty berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

Kalau berbicara dengan Icha saya menggunakan bahasa Bengkulu Kota sembari sesekali diselingi bahasa Alas. Dengan Betty saya terpaksa berbicara dalam bahasa Indonesia dan menggunakan beberapa kosa kata bahasa Seginim.

Nyaris setiap kecamatan memiliki bahasa yang berbeda. Kalau satu kecamatan dengan kecamatan di sebelahnya mungkin masih bisa mengerti bahasan masing-masing. Namun jika letak satu kecamatan dengan kecamatan lain sudah diselingi oleh dua kecamatan atau lebih, penduduknya kadang saling tidak memahami bahasa satu dengan lainnya. Satu contoh dalam perbedaan bahasa ini adalah untuk kata "tidak" dalam bahasa Indonesia, bisa berarti de (Kaur), dide (Padang Guci dan Seginim), nido (Alas), ido (Tais), idak (Kota), col (Tanjung Agung), atau coa (Kapahyang).

Keragaman bahasa ada di masyarakat merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Sebagai sebuah hasil proses budaya yang berjalan ratusan hingga ribuan tahun, maka bahasa-bahasa daerah ini harus kita lestarikan. Dalam satu artikel yang pernah saya baca di majalah new internationalist, disebutkan bahwa setiap harinya ada 2 bahasa masyarakat di bumi ini punah melalui proses globalisasi yang berlangsung. Anak-anak muda lebih sering belajar menggunakan bahasa asing atau bahasa yang lebih global untuk berkomunikasi sembari melupakan bagaimana berkomunikasi dalam bahasa yang digunakan oleh kakek-neneknya.

Kakek dan nenek kami dulu sangat sedih kalau kami, cucu-cucunya, tidak bisa berbahasa daerah sebagaimana yang mereka pakai sehari-hari. Sekarang saya memaklumi mengapa demikian. Kalau tidak terbiasa menggunakan, maka bahasa moyang kita dahulu lambat laun tentu akan hilang. Dalam hal ini saya berpendapat, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris itu penting, namun kita juga harus membiasakan berbahasa daerah di mana kita dilahirkan. Begitulah salah satu cara untuk melestarikan budaya.

Saya menulis ini dalam bahasa Indonesia, terus terang, karena saya kebingungan akan menggunakan bahasa Bengkulu yang mana yang terasa enak dibaca. Bahasa Bengkulu saya terasa campur-campur: Alas, kaur, kota dan lainnya. Tetapi, kalau diantara Anda mengajak saya berbahasa Bengkulu yang mana saja, Insya Allah masih pacak, masih bisa, ndang khawatir sanak.

Read More......