Harga Sebuah Kejujuran

Ini terjadi hari Minggu, tiga hari lalu. Saat sedang asyik memandikan Zahid, anak kami, di pojok kiri rumah tinggal, datang seorang tamu. Zahid yang memang senang bermain air keran, sore itu saya minta sekalian mandi. Menggosokkan sabun di badannya, membilas dengan menyemprotkan air dari selang, dan diiringi dengan tawa riang anak kami ini, merupakan pekerjaan yang sangat membahagiakan. Hal ini sering hanya bisa saya alami pada hari Sabtu dan Minggu. Hari-hari lain biasanya jalan-jalan pagi seusai shalat subuh mengitari komplek perumahan tempat kami tinggal. Selesai memandikan Zahid saya temui tamu itu.

Namanya Erik. Ketika berdialog dengan saya, dia lebih senang menyebut dirinya dengan "Erik" daripada menggunakan kata "saya". Kesannya seperti anak-anak. Seperti anak saya yang lebih serng menyebut dirinya "Zahid" daripada "aku". Perawakannya sedikit gemuk, tingginya lebih kurang 160 cm, bicaranya memosisikan dirinya masih anak muda, dan memanggil saya dengan sebutan Pak. Dari dialeknya, dia dari suku Sunda. Sebelumnya, ia pernah datang ke rumah kami dan bertemu dengan Istri saya. Rupanya Erik ini yang dulu menawarkan Vacuum Cleaner yang diproduksi di salah satu negara di Eropa. Setelah ia menjelaskan panjang lebar yang pada intinya adalah merayu supaya saya mau membeli, akhrinya saya sampaikan bahwa saya sangat tertarik, namun sayangnya alat ini masih belum menjadi prioritas kebutuhan.

Akhirnya ia meminta izin untuk mempraktikan cara kerja alat ini. Katanya untuk menambah point dia sebagai seorang sales dari perusahaannya. Saya mengizinkan. Ia pamit untuk mengambil peralatan di mobil. Hingga sekitar 15 menit saya tunggu, Erik tidak juga datang. Karena sudah pukul 17.30 sore, saya putuskan untuk mandi. Baru saja mau masuk kamar mandi, Erik sudah datang dengan memberi salam. Saya keluar. Erik bersama dengan seorang temannya. Ia keluarkan alat penyedot debu itu. Ia minta sebuah karpet untuk bisa mempraktikkan. Saya beri karpet kecil, satu-satunya yang kami miliki, yang masih tergulung di kamar.

Sejujurnya kami jarang menggunakan karpet. Ruang tengah rumah tinggal kami polos. Kalu malam ada sebuah busa tempat tidur untuk Zahid. Anak kami sejak lahir tidak suka tidur di kamar. Untuk mengantisipasi serangan nyamuk, kami memasang kelambu yang mengurung tempat tidur itu bersama Zahid di atasnya.

Karpet yang dibersihkan Erik memang sudah tidak kami gelar beberapa minggu terakhir. Kondisinya sedikit berdebu. Vacuum cleaner yang dibawa Erik meraung-raung menghisap setiap debu yang menempel. Setelah sekitar lima menit, alat itu berhenti bekerja, dan Erik memperlihatkan debu yang berhasil dikumpulkan alat itu. Alat ini memiki beberapa aksesoris pelengkap cara kerja yang bisa membersihkan lantai, karpet, spring bed, rak buku, sudut-sudut kamar dan perabot rumah tangga lainnya. Sungguh sebuah alat yang begitu bermanfaat dan memudahkan, tidak saja karena saya tahu alat semacam biasa dipakai di rumah-rumah, masjid, bahkan di kantor, tapi karena kemampuannya membersihkan, dan orang yang melakukannya tidak ikut terkena debu seperti yang biasa terjadi pada saya. Namun, sekali lagi, saya katakan pada Erik dan temannya itu bahwa alat ini belum menjadi prioritas kebutuhan yang harus saya beli sekarang.

Teman Erik terus merayu sambil menjelaskan bagaimana pembayaran jika membeli dengan secara tunai dan secara kredit. Alat yang ditawarkan seharga hampir 4 juta rupiah jika dibayar dengan tunai. Ia mengatakan bahwa Erik sampai saat ini belum mendapatkan pembeli. Ia bicara demikian dengan sungguh-sungguh. Tapi saya tidak ingin membeli hanya karena rasa kasihan. Saya mengukur kemampuan keuangan keluarga yang sungguh belum memungkinkan kami untuk membelinya, sebab masih banyak kebutuhan lain yang lebih utama dan mendesak. Apalagi hampir setengah tahun terakhir istri saya berhenti bekerja, sehingga pendapatan lebih bergantung dari penghasilan yang saya peroleh.

Istri saya menanyakan tentang program pembersihan rumah yang Erik tawarkan pada kunjungan sebelumnya. Program ini berupa pembersihan rumah secara periodik sekali dalam dua pekan dan berlangsung selama enam bulan. Ongkosnya cuma 50 ribu. Saya sendiri merasa itu harga yang cukup murah. Apalagi membersihkan seluruh sudut-sudut rumah. Saya khawatir apakah ia juga memiliki pelanggan yang lain untuk program ini.

Erik mengiyakan bahwa program ini masih ada. Ada beberapa rumah tangga di komplek tempat tinggal kami yang sudah mendaftar supaya rumahnya dibersihkan dengan alat penghisap debu dari Erik. Teman Erik menampakkan wajah kecewa. Erik sebenarnya juga kecewa namun masih tidak begitu kelihatan. Erik dan temannya mencatat alamat lengkap pada blanko pendataan, dan memberikan satu lembar salinannya kepada kami. Setelah membereskan peralatan, memasukkannya ke dalam tas khusus, lalu Erik dan temannya pamit pulang. Saya menyerahkan uang 50 ribu kepada Erik. Ternyata di luar pagar sudah ada orang dengan polo shirt berwarna putih berdiri menunggu, dan bergerak menjemput Erik di depan gerbang rumah kami. Saya dan istri hanya tersenyum.

Belum lama kemudian terdengar suara salam dari depan rumah. Saya sudah berada di dalam kamar mandi. Istri saya yang menemui. Terdengar percakapan. Saya pikir teman Erik yang tadinya menawarkan vacuum cleaner tetapi dengan merek lain, yang ia peroleh karena berhasil mencapai point sewaktu menyelenggarakan pameran. Teman Erik itu menawarkan dengan harga lebih murah karena ia sendiri tidak membutuhkan alat tersebut. Ternyata yang datang adalah atasan Erik.

Usai mandi istri saya menginformasikan bahwa atasan Erik melihat saya memberikan uang pada Erik. Ia bertanya, atas dasar apa uang itu kami berikan. Dia menyampaikan bahwa mempraktikan cara kerja alat yang mereka pasarkan adalah gratis. Membersihkan beberapa bagian dari rumah adalah gratis. Calon pelanggan tidak boleh memberikan uang sepeser pun. Istri saya kaget dan menjelaskan bahwa uang 50 ribu yang kami berikan adalah untuk ongkos menjadi pelanggan program membersihkan rumah selama 6 bulan. "Bukankah ini kebijakan dari Perusahaan?", tanya istri saya. Kembali atasan Erik itu mengatakan bahwa program itu gratis. Sebelum berlalu pergi, orang ini berjanji uang kami akan kembali.

Istri saya menjadi cemas. Saat akan memberikan uang, saya sudah menanyakan pada Erik apakah kami bisa mendapatkan nota pembayaran. Erik mengatakan bahwa blanko pendaftaran program bersih-bersih debu di rumah itu sudah cukup. Saya dan istri memang hanya melihat tulisan "Cuma-Cuma" dan tidak tertera jumlah ongkos 50 ribu yang harus kami bayar. Istri saya khawatir Erik akan dipecat karena telah memungut bayaran untuk program perusahaan yang seharusnya gratis. Saya sendiri menilai hal itu tidak perlu ditanggapi serius. Kalau pun Erik dipecat oleh perusahaannya, tentu merupakan hal wajar, sebab dalam hal ini, nama perusahaan menjadi taruhannya. Sebenarnya, kalaupun program itu benar-benar dijalankan dengan gratis, saya sendiri tetap akan memberikan "ongkos sekedarnya".

Perusahaan mungkin memiliki kebijakan yang ketat. Program membersihkan rumah dengan cuma-cuma, menurut saya, adalah bagian dari meyakinkan calon pembeli bahwa alat tersebut benar-benar layak untuk dibeli. Erik seharusnya mematuhi kebijakan perusahaan tempat ia bekerja. Mencari nafkah memang bukan hal yang mudah. Apalagi saat ini mendapatkan pekerjaan amatlah sulit. Begitu banyak pengangguran. Namun tidak sedikit orang yang bekerja di perusahaan atau lembaga-lembaga lain harus kehilangan pekerjaan karena ketidakjujuran.

Saya hanya berpikir, kalau Erik sampai dipecat, itu merupakan resiko yang harus ia hadapi sendiri. Itu adalah harga sebuah kejujuran yang ia abaikan. Di mana pun, kejujuran lebih berharga daripada uang, berapapun jumlah uang itu. Hanya orang yang buta hati yang mau mengabaikannya.

0 comments

Post a Comment