Langkanya Rasa Peduli

Pagi ini dalam perjalanan dari halte Matraman ke Halimun, saya mendapat posisi berdiri di pinggir pintu bis Transjakarta. Persis berhimpitan dengan saya ada perempuan tua (seorang nenek) yang berjilbab besar, berkacamata, dan ternyata di balik jubahnya tersembunyi tongkat yang ia pegang dengan erat. Ada juga ibu-ibu menggendong anak kecil.

Padat sekali penumpang bis ini sebagaimana biasanya. Petugas pun meminta ibu yang menggendong anaknya untuk masuk ke dalam supaya ada yang memberi tempat duduk baginya.

"Mohon pengertiannya ya, beri tempat duduk ibu yang menggendong anaknya...!" teriak petugas.

Sebenanya di bagian tengah, arah ke belakang, ada perempuan-perempuan muda yang duduk di kursi barisan sejajar dengan pintu masuk bis. Tak satupun dari mereka memberikan tempat duduknya untuk ibu itu. Hingga akhirnya sang ibu pun menggendong anaknya ke arah belakang bis, barulah kemudian ada seorang penumpang perempuan yang memberikan tempat duduknya. Kebanyakan penumpang yang menduduki kursi adalah perempuan. Rata-rata masih muda, mungkin pekerja di bilangan Sudirman, Kuningan, dan sekitarnya. Tetapi, na'udzubillah, tak satu pun dari mereka yang tersentuh hatinya untuk memberikan tempat duduknya pada ibu yang menggendong anaknya tadi. Perempuan-perempuan muda ini, setidaknya yang terdekat dengan pintu, sibuk memainkan Blackberry di tangan mereka. Tak hanya petugas bis, saya pun merasa geram.

Duduk di barisan terdekat dengan pintu bis adalah seorang perempuan muda etnis Tionghoa. Di sebelahnya ada perempuan muda berjilbab. Tampak keduanya hendak berangkat ke tempat kerja masing-masing. Di kursi ketiga duduklah seorang perempuan belia bercelana pendek yang memamerkan paha, berkaos oblong dan aksesoris lainnya, serta berkacamata dengan bingkai agak kebesaran yang lagi trendi saat ini. Ketiganya asyik pada Blackberry-nya sendiri-sendiri. Terlihat mengidap autis dan tampak tidak peduli pada sekelilingnya.

Ketika bis sudah mendekati pertigaan jalan Proklamasi dan jalan Tambak yang menuju arah Manggarai, petugas melihat nenek-nenek di sebelahku sempoyongan dan berkeringat dingin. Aku baru menyadari kalau penumpang ini adalah seorang perempuan tua, sebab sebelumnya ia membelakangiku, menghadap ke arah dalam bis. Semula aku pun ingin mengingatkannya supaya menghadap ke arah depan sehingga ia bisa bersandar pada kaca bis yang membatasi pintu bis dan barisan tempat duduk yang ada di bagian dalamnya. Keringat dingin di dahinya semain terlihat jelas. Berdirinya pun agak susah. Petugas mengatakan pada nenek supaya ia duduk saja, petugas itu akan berusaha mencarikan tempat duduk untuknya.

Kali ini petugas sudah tidak lagi berteriak keras ke semua penumpang yang duduk di bagian tengah. Ia langsung menggamit penumpuan yang duduk di kursi paling dekat dengan pintu masuk bis. Perempuan Tionghoa itu pun kemudian tampak dengan berat hati mencari posisi berdiri di bis dan memberikan kursinya pada sang nenek.

Beginilah Jakarta, Kawan. Ketika kursi di bis diprioritaskan bagi perempuan hamil, orang tua dan penyandang cacat, ditambah lagi ruang bagian depan bis diperuntukan khusus bagi perempuan, sensitifitas di kalangan perempuan itu sendiri justru masih kurang. Sama saja halnya dengan penumpang laki-laki yang tak peduli pada penumpang lainnya. Rasa tidak peduli pada orang lain itu bisa hadir pada diri laki-laki dan perempuan. Sudah menjadi penyakit sosial. Penyakit ini tidak mengenal agama, etnis, maupun jenis kelamin. Semua orang bisa mengidapnya.

Pernah suatu waktu beberapa tahun lalu, saya naik bis kota dari arah Slipi menuju Cawang. Karena tak ada tempat duduk yang kosong, saya harus berdiri di lorong. Kiri-kanan adalah kursi-kursi yang berjajar bagi penumpang yang beruntung. Ketika salah seorang penumpang di samping saya berdiri meninggalkan kursinya untuk turun, saya tak langsung menduduki kursi tersebut, dengan harapan seorang perempuan yang juga berdiri tak jauh dari saya akan duduk disana. Tak disangka, penumpang laki-laki yang persis di sebelah saya langsung menempati kursi itu. Tak dilihatnya kalau saya berusaha meminta penumpang perempuan itu untuk duduk disitu. Sedihnya...

Dalam pengalaman memanfaatkan mode transportasi buruk di Jakarta lebih dari 7 tahun terakhir, ketidakpedulian pada sesama penumpang sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Belakangan kehadiran ponsel pintar macam Blackberry memperlihatkan ketidakpedulian itu semakin meninggi. Padahal yang tampak di layar mereka sembilan puluh sembilan persen adalah facebook. Sebegitu pentingnyakah jejaring sosial yang didominasi warna biru itu dalam kehidupan mereka? Penumpang laki-laki atau perempuan sama saja mentalnya. Saya harus mengelus dada kalau melihat pemandangan ini. Di dalam hati saya hanya bisa berdoa semoga rasa peduli itu masih tetap tersisa di dalam diri ini.

Read More......