Korupsi di sekitar saya

Korupsi itu adalah mencuri. Menghadiri beberapa undangan, baik berupa diskusi, workshop, seminar, atau sejenisnya yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah, saya jadi menemukan satu pola yang sama dalam penyelewengan uang negara.

Ketika baru bekerja di kantor saya sekarang, beberapa kali saya harus menghadiri undangan dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Luar Negeri, dan lembaga pemerintah lainnya. Bersama dengan teman-teman Organisasi Non Pemerintah (Ornop) atau LSM saya menghadiri undangan diskusi atau workshop itu. Pernah di Kota Bogor, Puncak, atau di dalam kota Jakarta sendiri. Sudah menjadi kebiasaan setelah mengikuti acara-acara itu, para peserta mendapat uang transportasi, dalam sebuah amplop yang tertutup rapi. Saya amati beberapa kali, saat menandatangani tanda terima uang transport itu, jumlah yang tertera kadang ditutupi. Pernah juga jumlah yang tertera di daftar tanda terima yang saya tandatangani berbeda dengan jumlah uang yang ada di dalam amplop di tangan saya.

Saya kecewa sekali dengan fenomena ini. Mungkin saat itu karena saya orang yang baru menghadapi hal semacam ini. Saya melihat orang-orang departemen pemerintah itu, yang jabatannya sudah sampai level Asisten Deputi, Deputi, bahkan Direktur jenderal, wajah mereka hanya tersenyum ketika saya memandang keheranan ke arah mereka saat pengambilan uang transport yang mereka sediakan. Mereka rupanya sudah biasa, jadi sudah tidak tampak rasa malu pada wajah mereka saat memanipulasi anggaran penyelenggaraan program kerja.

Selain masalah amplop yang isinya tidak sesuai dengan jumlah yang tertera di daftar tanda terima yang harus saya tandatangani, masih ada yang lain yang juga bermasalah. Yakni, kegiatan yang diundangan dijadwalkan berlangsung misalnya 3 hari, namun kenyataannya hanya berlangsung 2 hari. Saya sendiri mendapat cerita dari peserta lain bahwa departemen-departemen pemerintah itu sudah memiliki penginapan dan hotel-hotel yang bisa diajak kerjasama dalam manipulasi nominal biaya yang harus dibayarkan kepada mereka.

Dua hal itu, yakni manipulasi jumlah pengeluaran untuk uang transportasi peserta dan lamanya kegiatan berlangsung, merupakan sebagian dari cara penyelewengan anggaran yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Ini merupakan modus yang sudah terpola.

Dalam pembahasan sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Perubahan Undang-Undang, bahkan Rancangan Undang-Undang, Departemen terkait akan mengundang pihak Ornop dan unsur masyarakat lainnya. Dalam beberapa kasus, kegiatan yang semula merupakan cara untuk mendapatkan masukan masyarakat, malah isinya sudah dirancang sedemikian rupa, dengan muatan kepentingan Pemerintah atau kepentingan pihak tertentu yang menitipkannya pada Pemerintah, sudah menjadi satu draft. Peserta dari unsur masyarakat diundang hanya untuk melihat sejenak, lalu diminta untuk memberikan pernyataan bahwa mereka telah menyatakan sepakat terhadap isinya. Yang lebih menyedihkan, draft yang sudah jadi itu dinyatakan sebagai hasil masukan semua unsur masyarakat termasuk Ornop.

Saya sendiri kecewa terhadap teman-teman dari LSM terutama 10 tahun terakhir. Hal-hal sedemikian nampak seperti di atas tidak mereka kritisi. Yang penting dapat uang, setelah itu berlalu begitu saja. Saat hasilnya diperdebatkan, Ornop ini malah ikut berteriak mengkritisi. Pertanyaan untuk mereka adalah: memangnya waktu pembahasan Anda kemana mas, mbak? Jawabannya standar: Apa yang dibahas dengan apa yang dikeluarkan berbeda alias sudah dimanipulasi. Saya jadi berpikir, sangat sulit untuk menemukan aktivis LSM yang melakukan sesuatu atau bersikap bukan karena uang. Uang sudah mengubah orang menjadi tidak kritis lagi.

Unsur masyarakat perlu memahami dan kritis bahwa sering peran serta mereka dalam program lembaga negara sering digunakan untuk penyelewengan. Amplop-amplop transportasi yang dibagikan merupakan modus menghabiskan uang negara. Sering program yang diselenggarakan tidak memiliki mutu yang bagus.

Ketika membahas Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT dua minggu lalu, Draft RUU itu baru diterima oleh peserta saat tiba di tempat pertemuan. Padahal, kalau mau efektif, draft itu bisa dikirim terlebih dahulu ke masing-masing calon peserta, minta mereka memberi masukan, lalu dibahas bersama secara lebih mendalam pada pertemuan itu. Yang terjadi justru sebaliknya, pertemuan menjadi tidak efektif karena utusan dari beberapa departemen tidak bisa menerima masukan dari unsur masyarakat, karena katanya untuk mengubah isi draft yang sudah ada perlu meminta persetujuan dari atasannya.

Belakangan ini saya memutuskan untuk tidak menerima amplop berisi uang transportasi yang disediakan oleh departeman pemerintahan tertentu dalam suatu undangan diskusi atau workshop. Hal ini juga membuat saya menjadi dilematis. Pertama, kalau saya tidak menerimanya, sementara nama saya ada di dalam daftar hadir kegiatan, maka sangat mungkin tanda terima amplop itu akan ditandatangani sendiri oleh panitia penyelenggara. Apalagi tanda tangan saya sangat mudah untuk ditiru. Pun, sudah bisa dipastikan uang itu tidak akan kembali ke kas negara. Dengan demikian saya juga dilibatkan dalam urusan penyelewengan uang negara. Kedua, kalau saya tidak menerimanya, maka saya juga sangat direpotkan oleh proses reimburstment uang yang sudah saya keluarkan untuk transportasi. Hal ini terjadi sejak awal tahun 2007, karena tempat kerja saya sudah menerima uang negara berupa biaya operasional lembaga, dan itu sumbernya dari lembaga negara, sehingga banyak hal yang harus saya urus. Prosesnya sangat berbelit-belit. Mulai dari pengajuan biaya, harus ditanda tangani oleh koordinator divisi saya, kemudian minta surat tugas atau surat perintah perjalanan dinas, tanda tangani divisi SDM/Umum, meminta kuitansi dan mengisi sendiri dengan menggunakan mesin ketik. Bayangkan kalau orang yang mau kita mintai tanda tangannya sedang tidak ada di tempat seharian atau beberapa hari? Lalu yang mengesalkan lagi adalah undangan itu baru saya terima dari koordinator saya sehari sebelumnya dan sudah sore pula. Padahal disposisi surat itu sudah seminggu sebelumnya.

Menghadapi permasalahan pertama, saya tidak mau peduli dengan mereka yang menandatangani sendiri daftar penerima uang transport yang ada nama saya di situ. Toh saya sudah mengatakan bahwa saya tidak mau menerimanya karena saya sudah mendapatkan dari kantor. Saya tahu isi amplop itu bisa beberapa kali lebih besar dari uang transportasi yang saya terima dari kantor. Tapi kantor sudah menetapkan untuk tidak menerima karena dana dari kantor juga dari kas negara. Kalau diambil maka terjadi dua kali pembayaran biaya oleh negara. Kalau pun mau diambil, maka uang dari kantor harus dikembalikan. Untuk mengatasi masalah kedua, saya mengusahakan untuk kas bon terlebih dahulu ke kantor. Saya akan minta uang transportasi ke kantor sebelum menghadiri undangan. Surat menyurat yang begitu ribet itu saya urus setelah selesai "melaksanakan tugas".

Saya tidak mengharamkan menerima semua amplop yang disodorkan. Kalau jumlah yang tertera di daftar penerima sama dengan jumlah uang yang ada di amplop, tentu saya akan menerima. Dengan demikian uang transportasi dari kantor tidak akan saya ambil. Namun untuk beberapa lembaga negara yang sudah saya ketahui "kelakuannya" yang suka memanipulasi, jelas-jelas saya akan menolaknya.

Saya menolak amplop-amplop yang tidak jelas itu sebagai upaya ikut menghapus budaya korupsi di sekitar saya. Juga karena saya tidak ingin memberi nafkah ke keluarga saya dari uang yang tidak jelas. Hal ini bukanlah suatu sikap yang mudah. Idealisme, kata teman-teman saya, sering tidak bisa berlaku untuk kehidupan keras macam di Jakarta. Susah memang. Tapi saya masih mau berusaha.

Read More......

Menjemput Kematian

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS Ali Imran: 185)

Jumat, 22 Juni 2007. Saya pulang ke rumah lebih cepat dari jam kantor seharusnya. Istri meminta saya untuk pulang pukul 16, supaya tidak kena macet, dan bisa tiba di rumah pada saat waktu shalat Maghrib. Teman kami yang dulu pernah mengontrak rumah di depan tempat tinggal kami, ingin bersama kami menghadiri undangan syukuran tetangga di ujung jalan rumah yang kami tempati sekarang. Kalau saya pulang pukul 16, kemungkinan besar tidak akan menghadapi kemacetan Jakarta. Apalagi hari Jumat sore, banyak pekerja di Jakarta akan pulang ke rumah mereka di Karawang, Bogor, Cianjur, Sukabumi, Kuningan dan sekitarnya. Menurut informasi yang pernah saya baca di majalah Femina tahun lalu, jumlah Penduduk Jakarta sebenarnya hanya 9 juta jiwa. Namun pada hari-hari kerja penduduk yang memadati Ibukota Negara ini mencapai 12 juta orang. Berarti ada sekitar 3 juta orang yang berstatus komuter.

Perjalanan pulang ke rumah sama lamanya dengan perjalanan berangkat ke kantor, yakni memakan waktu 2 jam. Kalau hari Jumat, karena kemacetan, perjalan bisa mencapai 3 jam. Karena ingin memenuhi undangan tetangga itu, maka mau tidak mau saya harus pulang lebih cepat. Rencana pulang tepat pada pukul 16 sore, tetapi karena ada yang harus saya selesaikan, serta tidak juga kalau tiba-tiba saya pulang lebih dulu dari teman-teman sekerja lainnya, akhirnya saya pulang pukul 16.30. Tiba di rumah sudah pukul sekitar 18.30.

Tiba di rumah rupanya teman kami belum datang. Yang ada kabar dari istri bahwa Ibunya Pak Rozak, tetangga kami yang sedang punya hajatan itu, meninggal pada waktu Subuh tadi pagi. Meski hanya berjarak sekitar 8 rumah, istri saya belum ke sana untuk memenuhi undangan syukuran anak pak Rozak yang baru saja disunat, karena rasa tidak enak kalau ke sana hanya sendiri tanpa suami. Tetanggapun sudah mengetahui kalau saya biasa pulang malam. Siang tadi istri bertanya pada tetangga sebelah, kenapa panggung sudah dipasang namun tidak ada suara nyanyian atau musik yang sudah Pak Rozak sekeluarga rencanakan. Ternyata keluarga yang empunya hajatan sedang berduka. Karena undangan sudah menyebar kemana-mana, tidak hanya di komplek perumahan kami namun juga ke teman-teman kerjanya di kantor, akhirnya syukuran tetap diselenggarakan.

Sajian jamuan tetap dihidangkan sejak pagi. Istri pak Rozak adalah pengusaha warung makan yang cukup besar, tentu sajiannya pun cukup banyak dan bervariasi. Sepertinya sebagian besar undangan yang tidak tinggal di dekat kami belum mengetahui bahwa sesungguhnya pak Rozak sedang berduka. Pak Rozak dan istrinya pun berusaha untuk menyambut tamu-tamunya dengan senyum ramah. Saya, istri, dan Pak Ali serta Abla Neneng teman kami itu tiba di rumah pak Rozak sekitar pukul 19.15. Bertemu dengan tuan rumah, menyatakan ikut berduka cita, serta mendengarkan cerita tentang peristiwa kematian ibunya. Seringkali kesedihan yang menimpa seseorang sedikit terkurangi dengan cara bercerita. Karena itu pulalah kami berusaha mendengarkan cerita itu. Kami tahu, kalau bukan karena sudah mengundang banyak orang ke rumah, tentunya tuan rumah sudah ikut mengantar pulang jenazah almarhumah ke Madura. Memuliakan tamu adalah sebuah kewajiban bagi umat Islam.

Setelah berbincang, lalu kami pun menikmati hidangan yang ada. Setelah mengobrol banyak hal, mulai dari keinginan pak Ali dan Abla Neneng untuk tetap memiliki momongan meski usia sudah mendekati kepala empat hingga modus korupsi penyelenggara Negara, tentang pekerjaan kami masing-masing, bahkan perkembangan isu hangat yang terjadi di tanah air. Pukul 20 lebih, kami melihat pak Rozak sudah berganti baju dari batik ke kaos berkerah dan memegang tas. Pak Rozak sudah siap berangkat ke bandara. Hanya sendiri. Ia akan ke Surabaya dengan pesawat pada pukul 22 untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Madura. Sudah terlihat raut sedihnya, ibu kandung meninggal, dan ia akan segera melepasnya ke tempat peristirahatan terakhir karena memenuhi panggilan-Nya.

Usia ibu pak Rozak sudah 70 tahun. Bagi kebanyakan orang, pada usia tersebut wajar seseorang meninggal dunia. Sudah tua. Ya, karena usia sudah tua. Memang pada usia itu sudah saatnya orang meninggal dunia. Namun, tidak banyak orang menyadari bahwa orang bisa meniggal dunia pada usia berapa saja. Jika masa hidup di dunia sudah sampai pada batasnya, orang pun akan meninggalkannya. Setiap orang bisa meninggal pada usia beberapa bulan, 23 tahun, atau pada usia 101 tahun. Meninggal bisa karena sakit, karena kecelakaan, bahkan dalam kondisi sehat dan segar. Kalau memang sudah saatnya ajal itu tidak akan pernah mundur waktunya. Tidak ada yang bisa mengetahui kapan ia meninggalkan kehidupan dunia yang fana ini.

Demikianlah Allah SWT, sang khalik, menciptakan manusia. Manusia harus beribadah, berbuat kebaikan. Khidupan dunia hanya sementara. Hanya mampir minum kata salah seoran wali penyebar Islam di tanah Jawa yang sembilan itu. Dalam Islam, kehidupan itu tidak hanya di dunia. Ada kehidupan yang kekal di akhirat. Di kehidupan yang kekal itu, orang bisa menjalaninya dengan baik, mengalami bahagia, dan di tempatkan di Syurga. Bagi manusia yang di kehidupan dunia hanya melakukan kejahatan, memiliki seburuk-buruk sifat dan perbuatan, maka ia akan mengalami kesengsaraan di kehidupan akhirat, menderita dengan segala siksa-Nya, dan berada di Neraka.

Banyak orang yang tidak percaya mengenai adanya kehidupan di akhirat, kehidupan setelah di dunia. Namun, ada juga yang berpikir dengan logika yang cukup menarik, "Kalau saja orang jahat dan menyengsarakan orang lain serta membuat kerusakan di muka bumi ini tidak mendapat pembalasan atas perbuatannya itu, alangkah enaknya hidup mereka. Lalu orang berlomba-lomba berbuat kejahatan untuk memenuhi segala keinginannya selama hidup di dunai". Sungguh kehidupan ini tidak adil pada semua umat manusia. Yang kuat menjadi pemenangnya. Yang lemah akan selalu sengsara. Nah, kehidupan akhirat mendapatkan keberadaannya dalam logika orang yang berpikir demikian. Tentulah, di akhirat kelak, mereka yang zalim akan mendapatkan pembalasan atas kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan.

Agama mengajarkan manusia untuk berbuat kebaikan. Islam menjelaskan penciptaan manusia semata untuk beribadah kepada-Nya. Beribadah berarti berbuat kebaikan. Bahkan kebaikan itu, kalau kita mau berpikir sehat, amatlah mudah. Tersenyum kepada orang yang berpapasan dengan kita sudah termasuk ibadah. Dengan berbuat kebaikan, kita menyiapkan bekal untuk menjalani kehidupan di akhirat.

Begitu dekatnya kematian pada diri kita, bahkan kita tidak tahu kapan kita akan mati. Mungkin beberapa menit lagi, satu jam lagi, beberapa hari lagi. Atau mungkin nanti, saat kita tidur malam ternyata kita sudah tidak bisa lagi bangun melihat kehidupuan di dunia ini. Jadi tunggu apalagi, mari berbuat amal kebaikan. Tinggalkan semua yang dilarang oleh-Nya dan kerjakan apa saja yang diperintah-Nya. Dengan demikianlah kita menyiapkan diri menjemput kematian, menyongsong kehidupan yang lebih abadi di akhirat nanti.

Read More......

Asal Mula Air Langkap

Sebuah desa, dulu di kecamatan Kaur Tengah, Kabupaten Bengkulu Selatan. Desa ini secara administratif bernama Desa Sukarami. Di sini terkenal sebagai dusun Air Langkap. Membacanya begini: Aya' Langkap. Tanda baca ( ' ) sebagai pengganti huruf R dalam bahasa Indonesia. Membacanya seperti membaca huruf 'ain dalam bahasa Arab, yakni huruf ke 18 dalam susunan huruf Hijaiyah. Penduduk setempat tidak bisa menyebut huruf R seperti orang batak menyebutnya.

Dusun Air Langkap dekat dengan laut. Di pinggir laut ini ada bagian air laut yang menjorok ke daratan seperti teluk. Nah, daerah pinggir pantai yang banyak pohon kelapanya ini, air laut yang menjorok seperti teluk tersebut memiliki panjang sekitar 100-an meter dan lebar yang cukup membuatnya tampak seperti sungai. Kalau airnya sedang penuh, kedalamannya sekitar sepinggang orang dewasa. Airnya asin, karena memang ia bagian dari laut. Kalau air laut sedang pasang naik, maka ia terlihat sekali menyatu dengan laut lepas, sebab karang-karang tajam di pinggir pantai sudah tidak tampak lagi.

Sepintas orang melihatnya seperti muara, yakni pertemuan aliran sungai dengan laut. Di dalamnya banyak terdapat ikan-ikan yang ukurannya tidak begitu besar, rata-rata seukuran jempol orang dewasa. Ada ikan Pelung yang warnya hitam dan kulitnya agak licin. Ada pula ikan Se'eni yang warnanya bening agak keabu-abuan. Ikan-ikan itu enak dimakan. Kalau malas memancing agak ke tengah laut karena karang-karang tajam atau laut yang sedang tinggi gelombangnya, orang-orang atau kebanyakan adalah anak-anak, akan memancing di situ. Mendapatkan ikan Pelung dan Ikan Se'eni beberapa genggam sudah cukup untuk lauk teman nasi untuk dimakan.

Pada zaman dulu, di air inilah seorang penduduk menemukan mayat yang telangkap atau telungkup, posisi badan menghadap ke bumi. Mayat itu mengapung di sana. Mungkin karena sebelumnya belum pernah terjadi, akhirnya tempat tersebut jadi terkenal. Akhirnya daerah ini disebut dusun Aya' Langkap. Maksudnya air di mana pernah ditemukan mayat mengapung di atasnya dalam posisi telangkap atau telungkup. Jadilah dusun ini terkenal dengan sebutan Aya' Langkap.

Penduduk setempat menyebut Air dengan Aya'. Sungai disebut Aya' Besak atau air besar. Air sumur disebut Aya' Sumu'.

Saya lahir di sini, di Aya' Langkap. Namun di surat keterangan kelahiran saya di sebut desa Sukarami. Masa kanak-kanak saya habiskan di Kota Bengkulu, ibukota propinsi. Selama 7 tahun hidup di Yogyakarta, sudah hampir 3 tahun terakhir hidup di Jakarta, saya masih tetap merindukan desa tempat saya memulai kehidupan dunia pertama kali: Aya' Langkap.

Read More......

Media Menulis Sejarah


Saya bukan jurnalis. Bukan pula pekerja media. Saya membaca Koran Tempo Selasa lalu. Pada bagian atas tertulis "Nuklir Iran", lalu di bawahnya dilanjutkan dengan judul berita "Pemerintah Indonesia Tidak Konsisten Soal Iran". Tadi saya cek lagi di websitenya, ternyata kata "Nuklir Iran" tidak ada di versi website. Tetapi yang tertulis di koran itu jelas mempengaruhi pembaca dalam beropini tentang Iran, menilainya dalam frame yang dikehendaki oleh koran ini supaya pembaca "menyalahkan Iran".

Sementara di koran Sindo dan Republika, dijelaskan di situ alasan utama Pemerintah Indonesia menolak pernyataan pers Dewan Keamanan yang mengecam Ahamdinejad, karena Dewan Keamanan (dan PBB) sendiri memang pilih kasih dalam menyikapi konflik di kawasan Timur Tengah. Kalau ada orang yang mengecam kejahatan yang dilakukan Israel, maka ia adalah musuh dunia, dan PBB akan mengecamnya. Tetapi, kalau ada pembantaian orang-orang Palestina oleh tentara Israel, maka itu didiamkan saja. Kita tahu semua ini, apalagi kalau bukan urusan kehendak Amerika sebagai pendukung utama kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Zionis Israel.

Saya teringat kata-kata Conelis Lay, guru saya waktu kuliah dulu, "Sejarah adalah narasi orang-orang besar, orang berkuasa. Mereka yang menentukan segalanya: mau kemana dan seperti apa sejarah itu dituliskan". Kalau dulu di Indonesia pengarah narasi itu adalah rejim Soeharto, sekarang penentu arah dan isi narasi lebih cenderung Media Massa. Jurnalis ikut berperan dalam menentukan cerita sejarah. Namun pemilik media lebih berkuasa daripada jurnalisnya.

Saya teringat sampai sekarang sebuah tulisan mengenai serangan brutal tentara Israel ke pemukiman Palestina. Berita itu dimuat di Kompas tahun 2000 atau 2001. Tertulis di sana "seorang laki-laki berusia 4 tahun tewas dalam serangan itu". Saya hanya bisa ternganga. Bisa-bisanya kompas menulis demikian. Akan lain rasanya kalau koran mainstream ini mengganti kata "laki-laki" menjadi "bocah laki-laki berusia 4 tahun tewas..."

Kecenderungannya sekarang, penentu arah dan isi narasi sejarah adalah pihak media. Media kita membebek pada media barat. Media barat diberi arah dan semacam outline dalam menuliskan narasi. Siapakah pemberi arah dan pemberi outline itu? Siapa lagi kalau bukan penguasa barat: Amerika dan sekutunya.

Begitulah yang terjadi di banyak peristiwa, frame dan wacana yang dimunculkan media mempengaruhi opini massa. Karena itu pula, masyarakat harus kritis pada media. Tapi berapa persenkah yang bisa melakukannya?

-----------------------------------

Koran Tempo, Selasa, 12 Juni 2007

Nasional
Pemerintah Indonesia Tidak Konsisten Soal Iran

JAKARTA - Pengamat hubungan internasional dari Centre For Strategic and International Studies, Bantarto Bandoro, mengatakan sikap pemerintah Indonesia soal Iran tidak konsisten. Ketidakkonsistenan itu ditunjukkan dengan penolakan Indonesia untuk mengeluarkan pernyataan pers bersama Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengutuk pernyataan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad.

Usul pernyataan pers Dewan Keamanan PBB ini berawal dari pidato Ahmadinejad yang menginginkan kehancuran Israel. "Dengan pertolongan Tuhan, tombol detik-detik kehancuran rezim Zionis sudah mulai ditekan oleh tangan-tangan anak-anak Libanon dan Palestina," kata Ahmadinejad dalam pidato pada 3 Juni 2007.

Israel langsung bereaksi dan meminta Dewan Keamanan mengeluarkan pernyataan pers atas pidato Ahmadinejad itu. Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Rusia, dan Cina dengan cepat memberi tanggapan. Dalam sidang di Markas Besar PBB New York pada Jumat lalu, dari 15 anggota Dewan Keamanan, 13 di antaranya menyatakan dukungan. Perwakilan Qatar di Dewan Keamanan belum memberi jawaban karena menunggu perintah dari Doha. Hanya Indonesia satu-satunya negara yang menolak.

Penolakan itu otomatis membatalkan rancangan. Sebab, pernyataan pers Dewan Keamanan harus melalui konsensus. Satu negara saja yang tidak setuju membatalkan rancangan secara keseluruhan. Amerika dan Inggris meminta sidang dilanjutkan pada 11 Juni pukul 12.00 waktu New York (24.00 WIB). "Selama substansi dari pernyataan pers masih sama, maka Indonesia tetap menolak," kata Deputi Wakil Tetap Indonesia di PBB, Hasan Kleib, yang dihubungi Tempo melalui sambungan internasional kemarin malam.

Menurut Bantarto, pernyataan Ahmadinejad secara tidak langsung berhubungan dengan tekanan yang diterima Iran sejak Resolusi 1747 tentang sanksi nuklir disahkan. Karena itu, pidato Ahmadinejad patut dicurigai sebagai sikap yang mengarah pada tindakan nyata. "Bagaimana kalau ternyata Iran akhirnya memang melakukan tindakan yang mengancam keamanan."

Pengamat Timur Tengah dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Hamdan Basyar, bisa memahami alasan penolakan Indonesia. Menurut dia, pidato Ahmadinejad sebatas retorika politik untuk membangun simpati dari rakyat Iran. "Itu hanya wacana yang sudah biasa untuk menarik simpati masyarakat domestik," kata Hamdan.

Dia justru menganggap reaksi Israel yang terlalu berlebihan. Kenyataannya, Israel sendirilah yang membahayakan keamanan di negerinya dengan terus-menerus menambah musuh dengan menyerang negara-negara di sekitarnya tanpa alasan yang pasti. "Kalau permintaan Israel ini dipenuhi, akan semakin jelas ketidakadilan yang ada di Dewan Keamanan PBB," kata Hamdan. Titis Setianingtyas

Read More......