Jangan Pernah Setori Saya


Tadi siang saya membaca salah satu posting di milis Jurnaslisme. Isinya mengenai Kapolda Jabar yang menertibkan aparat polisi di bawah jajaran Kepolisian Jawa Barat untuk tidak melakukan Korupsi. Saya tertarik untuk menanggapi hal ini dengan menceritkan pengalaman saya di kantor Polisi dan Samsat Kabupaten Bogor, tempat dimana saya bermukim saat ini.

Pada 8 Februari lalu saya ke Samsat Kabupaten Bogor di Cibinong untuk membayar pajak sepeda motor. Namun sebelumnya, pada hari yang sama, saya menemani seorang teman yang hendak membuat SIM di kantor polisi Cibinong.

Sepanjang perjalanan, teman saya ini menceritakan bahwa ia sudah menyiapkan uang sejumalh 250rb untuk SIM. Tarif dari polisi yang mengurus dan calonya memang segitu. Namun setibanya di kantor polisi, ternyata orang-orang mengantri untuk membuat SIM banyak sekali. Mereka dikejutkan oleh kebijakan baru bahwa harus mengikuti prosedur tes sampai selesai untuk memperoleh SIM. Tidak ada sogok menyogok dan tidak ada calo. Dari awal hingga akhir proses, kalau lulus, maka uang yang dikeluarkan sejumlah 75rb perak. Saya sangat puas mendengar berita ini dari salah seorang yang ada di kantor polisi itu.

Ada banyak yang tidak lulus tes praktik, termasuk teman saya. Mereka diminta untuk kembali lagi 1-2 minggu setelahnya. Namun karena telah mengikuti tes kesehatan, mereka sudah membayar uang sejumlah 15 ribu untuk tes itu. Tidak lebih.

Saya sendiri sedari awal memang tidak ingin membuat SIM karena memang tidak suka dengan percaloan serta urusan yang dipersulit yang selama ini saya dengar dan beberapa kerabat alami. Hingga sekarang saya tidak memiliki SIM. Ketika tahu ada ketegasan dari Polisi Jabar untuk tidak melakukan pungli, saya agak menyesal pula kenapa tidak sekalian ikut mendaftar ambil SIM. Antrian yang begitu panjang, serta harus membayar pajak motor di kantor Samsat yang berseberangan dengan kantor polisi itu, akhirnya saya memutuskan untuk membayar pajak dulu saja, sebab hari itu merupakan batas jatuh tempo saya harus membayar.

Setibanya di Samsat, antrian juga membludak. Namun saat di tempat parkir, ternyata di sana masih ada satu dua calo yang menawarkan jasanya. Masih ada pula orang yang menggunakan jasa mereka. Saya ikuti prosedur, hingga selesai. Sama-sama antri, dan sama-sama merasakan mengikuti "jalan yang benar".

Pada siang hari, usai shalat Jumat, saya kembali mengantri menunggu nama saya dipanggil untuk mengambil STNK karena pajak telah saya bayarkan. Di loket pengambilan STNK itu, ternyata polisi berseragam bergerombol sibuk melayani masyarakat yang tidak ikut prosedur. Polisi itu ternyata mengurusi pembayaran pajak baik dari calo maupun masyarakat yang datang pada mereka tanpa melalui loket-loket yang disediakan. Saya kesal luar biasa. Ternyata tetap saja ada praktik tidak menyenangkan ini. Karena polisi sibuk mengurusi pembayaran pajak secara liar, saya dan orang-orang yang menunggu panggilan tidak dilayani dengan alasan STNK yang mau diberikan belum ada. Lah, gimana mau ada kalau bagian loket pembayaran pajak dan polisi yang menyerahkan STNK yang sudah jadi itu malah sibuk melayani orderan liar masyarakat yang budaya disiplinnya sangat buruk itu.

Aparat polisi "nakal" dan masyarakat tak berkesadaran sama-sama merusak tatanan. Kebijakan Kapolda itu lambat laun akan seperti anget-anget tai ayam saja kalau masih ada aparat yang mau disuap dan masyarakat yang masih saja tidak memedulikan pentingnya prosedur yang harus ditaati oleh semua orang. Kekacauan-kekacauan itu merupakan tanggung jawab kita bersama, dan membutuhkan kedisiplinan dari diri kita sendiri untuk memperbaiki.

-----------------------------------

Jangan Pernah Setori Saya
Pikiran Rakyat, 10 Februari 2008

“RABU (30/1) lalu, Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H., M.Sc., mengumpulkan seluruh perwira di Satuan Lalu Lintas mulai tingkat polres hingga polda. Para perwira Satlantas itu datang ke Mapolda Jabar sejak pagi karena diperintahkan demikian. Pertemuan itu baru dimulai pukul 16.00 WIB.

Dalam rapat itu, kapolda hanya berbicara tidak lebih dari 10 menit. Meski dilontarkan dengan santai, tetapi isi perintahnya "galak" dan "menyentak". Saking "galaknya", anggota Satlantas harus ditanya dua kali tentang kesiapan mereka menjalani perintah tersebut.

Isi perintah itu ialah tidak ada lagi pungli di Satlantas, baik di lapangan (tilang) maupun di kantor (pelayanan SIM, STNK, BPKB, dan lainnya). "Tidak perlu ada lagi setoran-setoran. Tidak perlu ingin kaya. Dari gaji sudah cukup. Kalau ingin kaya jangan jadi polisi, tetapi pengusaha. Ingat, kita ini pelayan masyarakat. Bukan sebaliknya, malah ingin dilayani," tutur pria kelahiran Pagaralam, Sumatera Selatan itu.

Pada akhir acara, seluruh perwira Satlantas yang hadir, mulai dari pangkat AKP hingga Kombespol, diminta menandatangani pakta kesepakatan bersama. Isi kesepakatan itu pada intinya ialah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang tepat waktu, tepat mutu, dan tepat biaya. Susno memberi waktu tujuh hari bagi anggotanya untuk berbenah, menyiapkan, dan membersihkan diri dari pungli. "Kalau minggu depan masih ada yang nakal, saatnya main copot-copotan jabatan," kata suami dari Ny. Herawati itu.

Pernyataan Susno itu menyiratkan, selama ini ada praktik pungli di lingkungan kepolisian. Hasil pungli, secara terorganisasi, mengalir ke pimpinan teratas. Genderang perang melawan pungli yang ditabuh Susno tidak lepas dari perjalanan hidupnya sejak lahir hingga menjabat Wakil Kepala PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan). PPATK adalah sebuah lembaga yang bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menggiring para koruptor ke jeruji besi.

Berikut petikan wawancara wartawan "PR" Satrya Graha dan Dedy Suhaeri dengan pria yang telah berkeliling ke-90 negara lebih untuk belajar menguak korupsi.

Apa yang membuat Anda begitu antusias memberantas pungli atau korupsi?

Saya anak ke-2 dari 8 bersaudara. Ayah saya, Pak Duadji, bekerja sebagai seorang supir. Ibu saya, Siti Amah pedagang kecil-kecilan. Terbayang kan betapa sulitnya membiayai 8 anak dengan penghasilan yang pas-pasan. Oleh karena itu, saat lulus SMA saya memilih ke Akpol karena gratis. Nah, waktu sekolah, kira-kira SMP, saya punya banyak teman. Beberapa di antaranya dari kalangan orang kaya, seperti anak pejabat. Sepertinya, enak sekali mereka ya, bisa beli ini-itu dari uang rakyat. Sejak itulah, terpatri di benak saya, ada yang tidak benar di negara ini dengan kemakmuran yang dimiliki oleh para pejabat. Maka, saya sangat bersyukur bisa berperan memberantas korupsi saat mengabdi di PPATK. Itulah tugas saya yang paling berkesan selama ini karena bisa menjebloskan menteri, mantan menteri, dan direktur BUMN, yang memakan uang rakyat. Ada kepuasan batin.

Pengalaman di PPATK itukah yang membuat Anda menabuh genderang perang melawan pungli saat masuk ke Polda Jabar?

Seperti itulah. Akan tetapi, harusnya diubah, bukan pungli. Kalau pungli, terkesan perbuatan itu ketercelaannya kecil. Yang benar adalah korupsi. Pungli adalah korupsi. Mengapa korupsi yang saya usung? Karena sejak zaman Majapahit dulu, korupsi itu salah. Apalagi, jika aparat hukum yang korup. Bagaimana kita, sebagai aparat hukum, bisa memberantas korupsi kalau kitanya sendiri korupsi.

Oleh karena itu, sebagai tahap awal, saya "bersihkan" dulu di dalam, baru membersihkan yang di luar. Bagaimana saya mau menangkap bupati, direktur, dan lain-lain kalau di dalamnya belum bersih dari korupsi. Kalau aparatnya korupsi, tamatlah republik ini. Tahap awalnya biasa saja. Umumkan, lalu periksa ke atasan tertingginya, yaitu saya, selanjutnya keluarga saya. Setelah itu pejabat-pejabat di Polda. Baru kemudian ke kapolwil, kapolres, dan seterusnya. Kenapa harus dimulai dari saya. Karena saya pimpinan tertinggi di Polda Jabar ini. Ingat, memberantas korupsi bukan dimulai dari polisi yang bertugas di jalan raya. Kalau di pemerintah, bukan dari tukang ketik, atau petugas kecamatan yang melayani pembuatan akte kelahiran. Akan tetapi, dimulai dari pimpinan tertinggi di kantor itu.

Artinya, saya sebagai pimpinan jangan korupsi. Bentuknya macam-macam, seperti mendapat setoran dari bawahan, setoran dari pengusaha-pengusaha, mengambil jatah bensin bawahan, atau mengambil anggaran anggota saya. Oleh karena itu, saya tidak akan minta duit dari dirlantas, direskrim, atau kapolwil. Tidak juga mengambil anggaran mereka, atau uang bensin mereka.


Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana?

Mudah saja. Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.

Untuk program "bersih-bersih" itu, kira-kira Anda punya target sampai kapan?

Secepatnya. Ya, dua-tiga bulan. Kalau tidak segera, bagaimana kita menunjukkan kinerja kepada rakyat. Kita tidak perlu malu dan takut nama kita jatuh kalau bersih-bersih dari korupsi di dalam. Kita tidak akan jatuh merek dengan menangkap seorang kolonel polisi atau polisi berbintang yang korupsi. Kalau perlu, tulis gede-gede itu di koran. Dan, anggota saya yang ketahuan korupsi, akan saya pecat. Jika memang saya harus kehabisan anggota saya di Polda Jabar karena semuanya saya pecat gara-gara korupsi, kenapa tidak. Apa yang harus ditakutkan. Saya yakin, rakyat pasti senang kalau polisi bebas dari korupsi. Polisi itu bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Saya justru merasa lebih tidak terhormat kalau memimpin kesatuan yang anggotanya banyak korupsi.

Berbicara soal penanganan kasus korupsi. Betulkah mengusut kasus korupsi bagaikan mengurai benang kusut. Pasalnya, para penyidik tipikor Polda Jabar mengaku kesulitan mengungkap kasus korupsi dengan alasan perlu kajian yang mendalam atas bukti-bukti sehingga memakan waktu lama?

Hahaha.... (Susno tertawa lepas). Mengusut kasus korupsi itu jauh lebih mudah ketimbang mengusut kasus pencurian jemuran. Mengungkap kasus pencurian jemuran perlu polisi yang pintar karena banyak kemungkinan pelakunya, seperti orang yang iseng, orang yang lewat, dan beberapa kemungkinan lainnya. Kalau kasus korupsi, tidak perlu polisi yang pintar-pintar amat. Misal, uang anggaran sebuah dinas ada yang tidak sesuai. Tinggal dicari ke mana uangnya lari. Orang-orang yang terlibat juga mudah ditebak. Korupsi itu paling melibatkan bosnya, bagian keuangan, kepala projek, dan rekanan. Itu saja. Jadi, kata siapa sulit? Sulit dari mananya. Tidak ada yang sulit dalam memberantas korupsi. Kuncinya hanya satu, kemauan yang kuat. Harus diakui, itu (memberantas korupsi) memang susah karena korupsi itu nikmat. Apalagi, saat memegang sebuah jabatan.

Contohnya saja posisi kapolda. Siapa sih yang tidak mau jadi kapolda. Ibaratnya, tinggal batuk, apa yang kita inginkan langsung datang. Pertanyaannya, mau atau tidak terjerumus di dalamnya (korupsi). Kalau saya, jelas tidak. Itu hanya kenikmatan duniawi sesaat saja. Untuk apa sih duit banyak-banyak hingga tidak habis tujuh turunan. Gaji saya saja sekarang sudah besar. Mobil dikasih. Bensin gratis. Ada uang tunjangan ini-itu. Sudah lebih dari cukup. Anak-anak saya juga sudah kerja semua. Bahkan, gajinya lebih besar dari saya.

Lalu, langkah apa yang akan Anda buat agar Polda Jabar giat mengungkap kasus
korupsi?

Seperti saya katakan tadi, bersih-bersih dulu di dalam. Jika sudah bersih di dalam, baru membersihkan di luar. Dan kasus korupsi akan menjadi salah satu target kami. Kami akan genjot pengungkapan kasus korupsi biar Jabar bergetar. Untuk itu, kami akan berkoordinasi dengan PPATK untuk mengusut kasus-kasus korupsi di Jabar yang melibatkan pejabat publik. PPATK pasti mau membantu asalkan anggota saya bersih dan bisa dipercaya. Kita juga bisa diberi kasus-kasus. Kalau tidak bersih dan tetap "bermain" bagaimana bisa dipercaya. Kalau orang sudah percaya sama kita, maka banyak kasus yang masuk.

Akan tetapi, bukan karena basic saya di korupsi sehingga korupsi digenjot. Kasus lainnya juga dikerjakan. Dan, untuk itu harus tertib administrasi,salah satunya dengan membuat sistem pelaporan perkara berbasis IT yang terintegrasi dari polsek hingga ke polda. Untuk apa? Agar kita tahu setiap ada perkara yang masuk. Jadi, alangkah bodohnya seorang kapolda jika tidak mengetahui jumlah perkara di jajarannya. Kalau jumlahnya saja tidak tahu, bagaimana tahu isi perkaranya. Dalam sistem pelaporan perkara tersebut, nantinya ada klasifikasi perkara. Perkara mana yang porsinya polda, polwil, polres, dan polsek. Untuk polda, misalnya kasus teror dan korupsi. Soal lapor boleh di mana saja.

Kita juga harus mempertanggungjawabkan hal itu ke pelapor dengan mengirim surat kepada pelapor bahwa kasusnya ditangani oleh penyidik ini, ini, dan ini. Kemajuannya dilaporkan secara berkala. Ini akan menjadi standar penilaian untuk penyidik. Dan kapolda mengetahui semua ini karena sistemnya ada sehingga tidak pabaliut. Saya paling tidak suka yang pabaliut-pabaliut.

Mungkin, bagi sebagian orang, pabaliut itu enak karena sesuatu yang tidak tertib administrasi itu paling enak untuk diselewengkan. Benar tidak?

Langkah Anda memberantas pungli dan korupsi di tubuh Polda Jabar kemungkinan akan memberi efek pada pengungkapan kasus dengan alasan anggaran yang minim. Menurut Anda?

Kalau kita pandang minim, pasti minim terus. Kapan cukupnya. Kalau anggaran sudah habis, jangan dipaksakan memeras orang untuk menyidik. Mencari klien yang kehilangan barang di sini, memeras di tempat lain. Siapa yang suruh? Bilang saja sama rakyat, anggaran kita sudah habis untuk menyidik. Kita tidak perlu sok pahlawan.

Perilaku memeras atau menerima setoran itu zaman jahiliah. Tidak perlu ada lagi anggota setor ke kasat lantas atau kasat serse, lalu kasat serse setor ke kapolres, dan kapolres setor ke kapolwil untuk melayani kapolda. Jangan pernah setori saya. Lingkaran setan itu saya putus agar tidak ada lagi sistem setoran.

Bukan zamannya lagi seorang kapolsek, kapolres atau kapolwil bangga karena mampu membangun kantornya dengan megah. Dari mana duitnya kalau bukan dari setoran orang-orang yang takut ditangkap, seperti pengusaha judi, dan penyelundupan. Tidak mungkin dari gaji, wong gajinya hanya Rp 5-6 juta. Menurut saya, anggota yang melakukan itu hanya satu alasannya, ingin kaya. Kalau ingin kaya, jangan jadi polisi, tetapi jadilah pengusaha.

Sikap Anda tersebut kemungkinan memunculkan pro dan kontra di lingkungan kepolisian?

Lho, kenapa harus jadi pro dan kontra. Peraturannya sudah jelas mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh. Korupsi jelas-jelas dilarang dan ancamannya bisa dipecat. Jadi, tidak perlu diperdebatkan. Titik.

Bagi saya, siapa yang menjadi pemimpin harus mau mengorbankan kenikmatan dan kepuasan semu. Nikmat dengan pelayanan, dengan sanjungan, serta nikmat dengan pujian palsu. Malu dong bintang dua jalan petantang-petenteng, tetapi anak buah yang dipimpinnya korupsi dan memberikan pelayanan tidak sesuai dengan standar. Malu juga dong kita lewat seenaknya pakai nguing-nguing (pengawalan), sementara rakyat macet. Itu juga korupsi.

Polisi yang korup sama saja dengan melacurkan diri. Jadi, kalau saya korup dengan menerima setoran-setoran tidak jelas, apa bedanya saya dengan pelacur.

Read More......

Nama Jalan


Pertemuan rutin bulanan RT kami, kali ini, berlangsung pada Sabtu malam, 2 Februari lalu. Pertemuan rutin ini memang berlangsung setiap minggu pertama dan waktunya pada malam minggu. Hanya sebulan sekali, untuk bertemu dengan sesama warga se-RT, sekaligus arisan. Demikian pula dengan ibu-ibu penghuni RT ini. Hanya saja, kalau ibu-ibu biasa melaksanakannya pada sore hari. Bapak-bapak arisan, ibu-ibu pun demikian.

Salah satu pembicaraan pertemuan Sabtu lalu adalah tentang pemberian nama jalan di RT kami. Perumahan tempat dimana kami tinggal memang merupakan satu komplek yang jalan utamanya mengitari pinggiran komplek. Ada pula jalan-jalan yang membelah kawasan tempat tinggal kami. Jadi, seperti sebuah persegi empat dimana di tengah-tengahnya terdapat garis-garis yang membentuk persegi empat kecil-kecil. Satu RT biasanya merupakan rumah-rumah tinggal yang saling berhadapan di sebuah jalan yang membelah itu. Untuk rumah-rumah yang berada di pinggir, yang merupakan jalan utama dan dilalui oleh angkot, biasanya satu RT terdiri dari rumah-rumah yang ada di sepanjang ruas jalan itu. Posisi rumah sejajar menghadap ke jalan, dan tidak berhadap-hadapan seperti rumah-rumah yang berada di tengah komplek.

Pada pertemuan beberapa malam lalu itu, kami membicarakan kemungkinan pemberian nama untuk setiap jalan-jalan di tempat tinggal kami. Pemberian nama ini tidak cukup ditentukan oleh satu RT (yang memiliki satu jalan) namun perlu juga dimusyawarahkan dengan RT-RT lainnya. Hal ini agar dalam satu kelompok perumahan ini memiliki konsistensi dalam pemberian nama jalan. Misalnya, kalau memang nama itu mengambil dari jenis burung, maka jalan-jalan yang berdekatan dengannya dan bisa dikelompokkan, hendaknya menggunakan nama-nama burung pula. Dampaknya akan terasa pada orang-orang yang mencari alamat rumah warga di komplek, sehingga ketika bertanya pada salah satu warga jalan yang ingin dicarinya, maka warga yang ditanya akan faham di mana letak jalan-jalan yang menggunakan nama burung, misalnya. Untuk membicarakan hal ini dengan RT-RT lain, maka kami mengusulkan ini menjadi agenda pembahasan pada pertemuan rutin di tingkat RW yang dihadiri oleh masing-masing Ketua RT.

Di bagian tengah arah ke utara komplek, jalan-jalannya sudah menggunakan nama yang konsisten yang mengelompokkan mereka dalam satu kawasan menggunakan nama-nama teluk yang ada di lautan Indonesia. Misalnya saja ada Teluk Tomini dan Teluk Bone. Juga ada yang menggunakan nama-nama ikan. Namun berbeda dengan tempat tinggal di RT kami dan sekitarnya, sampai saat ini masih menggunakan nama berupa blok rumah. Rumah tinggal saya menggunakan nama blok CC.10, dan rumah di hadapannya menggunakan nama blok CC.11. Demikianlah blok CC itu adanya, dari blok CC.1 hingga sampai blok CC.14 dan CC.15 yang saling berhadapan. Sampai sekarang, saya sendiri belum mengetahui CC itu singkatan dari apa.

Jika kelak nama jalan itu diberikan, maka blok yang diberi nama CC itu tidak akan dihilangkan. Selama komplek perumahan ada, hingga sekarang, blok itu telah lebih dulu dikenal, bahkan oleh sopir angkot atau petugas pos dan jasa pengiriman barang yang sering lewat di sana. Jadi, pada penamaan alamat akan tertera Jalan bla bla bla, Blok CC.X, No.X.

Memusyawahkan pemberian nama jalan pada pertemuan RT itu, mengingatkan saya pada penunjuk jalan di kasongan yang unik. Jika umumnya di sudut-sudut persimpangan jalan tertulis nama jalan bla bla bla, maka di Kasongan, desa wisata pengrajin tembikar dan keramik di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, justru yang tertulis adalah nama pemilik rumah. Di papan yang mengarahkan tanda panah ke jalan tertentu tertulis nama-nama pemilik rumah di sana. Mungkin untuk menunjukkan bahwa rumah Pak Satijo ada di sebelah sana, rumah Pak Marjo di sebelah situ dan seterusnya. Juga, mungkin setiap nama-nama itu memiliki pelanggannya sendiri-sendiri yang mencari hasil kerajinan khas buatan orang tertentu. Lagi pula menurut saya, ini bisa diterapkan kalau rumah penduduk tidak banyak. Kalau penduduknya di satu jalan mencapai jumlah 50 rumah atau lebih seperti di kota-kota, akan susah untuk menuliskan nama-nama penduduknya di penunjuk jalan tersebut.

Foto di atas saya ambil ketika sedang berlibur ke Yogyakarta akhir tahun lalu.

Read More......