Bahasa: Berlomba atau Bertanding?

Maaf, saya bukan ahli bahasa. Hanya sedikit pengetahuan saya mengenainya. Hanya saja, saya agak tergelitik mengetahui penggunaan beberapa kata atau istilah yang kurang tepat. Berikut ini contoh yang kurang tepat itu, yakni penggunaan kata "lomba" dan "tanding".

Kata "lomba" dan "tanding" biasanya digunakan dengan imbuhan "pe-an" yang akan menjadi "perlombaan" dan "pertandingan" serta imbuhan "ber" yag akan mengubahnya menjadi "berlomba" dan "bertanding". Bagaimana memahami arti kedua kata ini? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lomba berarti adu kecepatan atau adu kecakapan. Berlomba berati beradu kecepatan atau kecakapan. Tanding berarti yang seimbang/sebanding atau satu lawan satu. Bertanding berarti berlawanan, ada bandingnya (imbangannya, lawannya), atau melawan/menyaingi/menyamai.

Saya sendiri memahami keduanya sebagai proses bersaing untuk menjadi "lebih unggul". Berlomba sebagai proses menjadi lebih unggul dalam satu permainan yang setiap pesertanya tidak saling berhadapan. Misalnya, lomba mewarnai gambar yang biasanya diikuti oleh banyak anak-anak sekaligus, atau lomba lari maraton 10 km. Bertanding merupakan proses menjadi lebih unggul dalam satu permainan yang pesertanya saling berhadapan. Contoh dalam hal ini adalah bertanding sepak bola, pencak silat, atau bola volly.

Bisa saja satu jenis olahraga dimainkan untuk perlombaan sekaligus pertandingan. Misalnya, perlombaan pencak silat indah, dimana salah satu penilaian juri adalah keindahan seni beladiri ini. Juga, pertandingan pencak silat, dimana juri melihat dua orang peserta saling berhadapan dan saling serang sesuai dengan aturan pertandingan yang berlaku.

Jadi, cara paling mudah untuk membedakan penggunaan kedua kata itu, menurut guru SMA saya dulu, yakni melihat apakah dalam satu permainan masing-masing peserta dalam keadaan berhadap-hadapan atau tidak. Jika berhadapan, maka ia adalah bertanding. Jika tidak, maka itu adalah berlomba. Satu perlombaan, biasanya diikuti oleh banyak peserta sekaligus, berkebalikan dengan pertandingan yang biasanya terdiri dari dua pihak saja. Terdengar janggal kalau ada orang yang begitu bersemangat bercerita kalau ia baru saja pulang dari Senayan menonton perlombaan sepak bola.


* Picture of Pencak Silat was taken from here.

Read More......

Ragam Pitulasan

Ada banyak cara untuk merayakan hari kemerdekaan Indonesia setiap tahunnya. Mulai dari melakukan kontemplasi dan diskusi tentang perkembangan bangsa dan negara ini sejak 17 Agustus 1945 hingga sekarang, menyelenggarakan berbagai pertandingan dan perlombaan untuk bersuka ria sebagai bangsa yang telah "merdeka", bahkan ada yang menganggapnya biasa-biasa saja.

Di lingkungan tempat tinggal saya, desa Ciangsana, Gunung Puteri, Kabupaten Bogor, seperti biasanya ada perayaan dengan pertandingan dan perlombaan, serta panggung hiburan kesenian. Di RW 02 tempat kami tinggal, puncak acara peringatan hari kemerdekaan ini berlangsung pada 16 Agustus lalu, yang kebetulan bertepatan dengan hari Minggu. Pada sore hari dengan matahari yang masih terik, masyarakat dari RT 01 hingga RT 11 menyertai anak-anak yang berlomba pawai mengelilingi separoh komplek perumahan yang menjadi wilayah RW 02.

Pawai dilakukan dengan rombongan dari masing-masing RT berbaris menurut urut RT di jalan utama sebelah selatan yang terletak di wilayah RT 11. Pawai ini sesungguhnya diikuti anak-anak dari usia sekitar 3 tahun hingga usia SMA. Mereka berbaris dengan atribut pakaian yang beraneka macam, dari pakaian adat maupun seragam putih-putih, dari yang membawa cangkul a la seorang petani dengan kumis palsu menghiasi, kebaya, bahkan dengan sepeda hias dan seragam tentara seperti anak saya dan beberapa temannya sebagaimana permintaan panitia di RT. Orang tua hanya mengiringi barisan, terutama untuk mengawasi anak-anaknya yang masih kecil yang kemungkinan sulit untuk diarahkan dan tentunya akan membuat kacau barisan. Acara ini menjadi kesempatan saling menyapa antartetangga bahkan sesama orang tua yang berlainan RT. Satu bentuk suka cita karena ada kemeriahan di komplek perumahan. Entah mengapa, keramaian sejak dulu selalu merupakan satu hal yang teramat disukai. Seperti suasana keheningan desa yang ditinggalkan para pemudanya karena lebih memilih keramaian di kota-kota.

Di saat semua peserta pawai dari masing-masing RT merapihkan barisannya, satu kelompok kesenian Reog memainkan atraksi tari-tariannya. Kebanyak penghuni kawasan kami berasal dari Jawa termasuk Jawa Timur. Pertunjukan Reog menjadi hiburan menarik buat semua yang hadir. Kabar beberapa waktu lalu yang menyebutkan kalau Reog diakui oleh pemerintah Malaysia sebagai kesenian asli dari mereka telah membuat berang warga Ponorogo yang merupakan asal kesenian ini. Masyarakat Indonesia pun merasa tersentil rasa kepemilikan kesenian yang memang belakangan kurang mendapat perhatian. Reog mendapat sambutan hangat pada perayaan kemerdekaan tahun ini di tempat tinggal kami.

Setelah melewati jalan-jalan pinggiran hingga ke tengah perumahan, acara pawai diakhiri di dekat gerbang masuk komplek kami. Di sana, bersebelahan dengan pos satpam, terdapat lapangan bola volly. Pertunjukkan reog diteruskan untuk menghibur semua penonton yang mengelilingi lapangan. cukup ramai. Bahkan di salah satu sisi lapangan adalah tebing yang berbatasan dengan pemukiman penduduk desa sebelah perumahan dipenuhi oleh mereka yang menonton dengan leluasa ke seluruh lapangan. Di sela-sela pertunjukan reog itu pula diumumkan para pemenang berbagai macam lomba dan pertandingan di tingkat RW, mulai dari pertandingan bulu tangkis, bola volly, catur, futsal, lomba mewarnai untuk anak-anak, dan bentuk kompetisi lainnya, yang sudah terselenggara sejak awal Juli lalu. Perlombaan pawai menjadi penutup acara sesorean itu. Setelah semua hadiah di selesai dibagikan, para pemain reog mulai mengusung semua peralatan kembali ke rumah. Semua peserta pawai, anak dan orang tua juga mulai bergerak pulang. Anak-anak senang, meski tak menang ada hadiah makanan dan minumana ringan disediakan oleh panitia penyelenggara di tingkat RT.

Pada sore hari esoknya, 17 Agustus, ada perlombaan di tingkat RT 08 tempat kami tinggal. Semua anak-anak dikumpulkan untuk berbagai macam perlombaan: membawa kelereng dalam sendok, makan pilus dalam sebuah piring, mengambil uang logam yang menempel pada buah semangka, memecah balon yang berisi air dengan menggunakan jarum, memasukkan pensil ke dalam botol dan beberapa permainan lainnya.

Acara perayaan kemerdekaan ini melahirkan berbagai hiburan tahunan dalam masyarakat. Berbagai macam perlombaan dan pertandingan menjadi tontonan menarik, juga menjadi ajang menunjukkan kemampuan pengusaan permainan tertentu. Tapi, ada yang luput kami tonton kali ini, yakni perlombaan panjat pinang. Perlombaan ini hampir selalu ada di setiap daerah. Semakin tahun terlihat semakin menarik saja hadiahnya. Sayang, karena harus mencari semangka kesukaan anak kami, hiburan satu ini jadi terlewati.

Read More......

Ia yang Maha Segala

Suatu ketika, Musa sedang sakit. Lalu ia berdo'a memohon kepada Allah SWT, minta disembuhkan dari sakitnya.

Karena Musa adalah seorang nabi, utusan Allah, maka datanglah kepadanya malaikat Jibril. Malaikat penyampai wahyu itu memberitahu Musa tentang obat untuk menyembuhkan sakitnya.

"Ambillah daun-daunan dari tumbuhan yang ada di dekat rumahmu, lalu rebuslah daun-daun itu dan minumlah air rebusan itu." Demikian jibril memberi tahu tentang obat untuk Musa.



Lalu Musa melakukan apa yang dikatakan oleh malaikat Jibril. Tak lama setelahnya, Musa pun sembuh dari sakit yang ia derita.

Beberapa waktu kemudian Musa kembali mengalami sakit. Ia merasakan gejala sakit yang ia derita sama dengan sakit yang ia alami sebelumnya. Maka, dengan percaya diri Musa pun mulai meracik obat sesuai dengan petunjuk yang dulu pernah diberikan oleh malaikar Jibril.

Sesudah meminum ramuan obat, menunggu beberapa lama, ternyata Musa tak juga sembuh dari sakitnya. Ia pun bertanya-tanya kenapa gerangan ia tak juga kunjung sembuh dari sakit.

Lalu datanglah Jibril memberikan jawaban. Ia katakan kepada Musa, "sesungguhnya sakir yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit adalah Allah SWT. Ia yang maha segalanya, termasuk menyembuhkan segala macam penyakit."

Rupanya, malaikat Jibril menyampaikan teguran Allah kepada Musa. Musa telah lalai, telah abai bahwa sesungguhnya ramuan berupa dedaunan dan semua yang bernama obat adalah perantara dari bantuan kesembuhan yang diberikan Allah.

Dalam dunia yang disebut modern ini, seringkali manusia lupa pada kekuasaan-Nya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, manusia menganggap bahwa dirinya maha tahu segalanya. Seolah ilmu pengetahuan dan teknologi bisa menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi oleh manusia. Orang lupa bahwa ada Ia yang Maha Kuasa. Bahwa manusia ini hanyalah ciptaan-Nya.

Terlalu banyak manusia yang lupa bahwa ia berasal dari-Nya, dari penciptaan-Nya, dan kelak akan kembali lagi kepada-Nya. Cerita tentang Adam adalah hikmah bagi umat manusia, bahwa sesungguhnya hanya Ia yang Maha Kuasa atas segala yang ada di kehidupan ini. Ia yang menciptakan langit dan bumi serta seisinya. Tanpa kehendak-Nya, obat hasil ilmu pengetahuan dan teknologi buatan manusia tak akan pernah bisa mengobati segala penyakit yang ada. Hanya kepada-Nya saja kita memohon pertolongan.

Catatan:
1. Cerita ini saya dapat dari istri saya yang menyimak satu kajian agama Islam selepas subuh di radio Delta FM Jakarta beberapa waktu lalu.
2. Foto Senja di Linau saya dapatkan dari sini, dan © pada Farid Gaban sebagai fotografernya. Pantai Linau terletak di daerah kelahiran saya, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu.

Read More......

Cerita tentang Warung

Namanya Murtini. Saya lupa persis namanya, dan hanya kata itu yang saya ingat untuk namanya, meski tidak yakin bahwa itu nama yang ia sebutkan pada dua pekan lalu. Ya, dua pekan lalu saya mampir di warung nasi yang ia kelola di dekat Gudeg Yu Djum, sebelah utara Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM). Saya mampir ke warungnya setelah sekitar 7 tahun lalu untuk terakhir kali saya makan di sana. Mbak Murtini berusia sekitar 35 tahun.

Saya tinggal di Tawang Sari saat itu, tak jauh dari warung mbak Murtini yang berada di Karangasem. Ada banyak warung di daerah pondokan mahasiswa di sebelah utara kampus "ndeso" itu. Saya salah satu mahasiswa 12 tahun lalu, bisa memilih warung mana saja sekedar untuk variasi makanan sehingga tak bosan. Namun, pilihan warung macam milik mbak Murtini lebih karena murahnya.Bandingkan misalnya dengan warung Bu Tuti, yang menyediakan masakan khas Bengkulu, yang harganya bisa tiga kali lipat. Berapa uang yang harus dikeluarkan untuk makan di warung mbak Murtini saat itu? Seingat saya, makan dengan seribu atau seribu lima ratus perak sudah sangat layak untuk mahasiswa sembilan tahun lalu. Apalagi saat sebelum krisis, makan dengan lauk ayam dan tempe dua potong hanya butuh tak sampai seribu perak.

Ia masih mengingat saya, setidaknya ia masih ingat kalau saya dulu sering makan di warungnya. Saya memiliki seorang teman yang kebetulan mondok di kos-kosan miliknya di bagian belakang warung. Saya bertanya kabarnya, dan ia katakan kalau ia baik-baik saja. Kakaknya yang dulu bersamanya menghidangkan pesanan pembeli ternyata mengalami struk sudah beberapa tahun terakhir, sehingga otomatis tinggal mbak Murtini yang menunggui warung. Ia terlihat lebih gemuk, meski menurut pengakuannya ia belum bersuami. Inilah anggapan yang keliru di masyarakat, bahwa setiap orang yang sudah berkeluarga pasti akan menjadi gemuk. Ia pun mulai bercerita tentang suasana warungnya.

"Sekarang sepi, mas. Sedikit mahasiswa yang makan di warung ini. Jika dulu warung buka sampai malam, namun sekarang pukul lima sore warung sudah saya tutup."

"Dulu orang akan mikir dua kali kalau mau makan di lesehan atau resto yang sekarang makin menjamur. Namun sekarang mahasiswa lebih senang makan di sana daripada di sini."

Cerita mbak Murtini lebih terdengar sebagai keluhan.

Mahalnya biaya kuliah dengan penetapan UGM, IPB, ITB, dan UI sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) telah menjadikan kampus-kampus besar ini hanya dapat diakses oleh anak-anak dari kalangan berduit. UGM sebagai kampus negeri terbesar dan tertua di Yogyakarta (bahkan kampus tertua di Indonesia) pun menjadi sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Dulu mahasiswa UGM kebanyakan adalah anak-anak cerdas namun kebanyakan dari kalangan ekonomi "lemah". Jika ada anak orang kaya yang masuk ke sini, maka mereka akan sedikit banyak mengikuti gaya hidup teman-temannya yang sederhana, ramah, dan mudah bersosialisasi dengan warga setempat. Bahkan setelah lulus pun mereka memiliki idealisme untuk membangun masyarakat di daerah-daerah daripada bergelimang harta dan tahta di kota-kota besar. Sekarang, mahasiswanya berbeda, lebih kaya sekaligus lebih manja dengan fasilitas yang serba ada.

Naiknya biaya pendidikan di UGM mempengaruhi kampus-kampus lain di Yogya. Biaya hidup pun jadi lebih mahal dari sebelumnya. Mungkin benar bahwa kondisi ini mengikuti inflasi setiap tahun terjadi yang membuat nilai uang semakin berkurang dari waktu ke waktu. Selera makan mahasiswa pun jadi berubah, dari yang semula makan makanan sederhana dari warung-warung warga sekitar tempat pondokan menjadi makan makanan yang disediakan oleh resto-resto atau semacam cafe yang sekarang bertumbuhan.

Soal makan ini, tak hanya dari sajian makanan yang berbeda, namun suasana lebih "santai" dengan iringan musik hidup serta tempat tempat yang lebih luas yang tersedia yang tak dimiliki oleh warung-warung sederhana yang dulu jadi idola. Jika dulu koran Kedaulatan Rakyat, Bernas, Jawa Pos atau Kompas menjadi daya tarik warung sebab mahasiswa ingin makan sambil membaca koran. Sekarang, koran-koran serta harga murah tidak menjadi daya tarik yang tinggi untuk makan di warung. Mungkin era berita yang serba digital karena kemajuan teknologi komunikasi dan informasi (ICT), koran-koran itu sudah tidak dibutuhkan lagi. Uang yang banyak membuat harga tinggi tak perlu dikhwatiri.

Cerita mbak Murtini merupakan kegelisahan warung makan-warung makan yang dikelola oleh masyarakat setempat. Kos-kosan yang disewakan memang merupakan pemasukan ekonomi. Namun kos-kos dengan fasilitas yang lebih banyak, suasana lebih nyaman tentunya menjadikan kos-kos dengan fasilitas seadanya hanya mampu menghasilkan uang bagi pemiliknya dengan jumlah pas-pasan. Banyak kos-kosan dengan fasilitas lebih "mewah" sebenarnya merupakan usaha (milik) orang-orang Jakarta. Warung makan adalah pelengkap sumber penghasilan sehari-hari. Warung-warung seperti milik mbak Murtini memang telah mengalami pengurangan penghasilan yang cukup berarti. Seperti di siang saat bertandang ke sana, hanya saya satu-satunya pembeli di jam makan siang itu.

Sudah tiga pekan lebih saya di Yogya dan menyisakan sepekan lagi sebelum kembali mengikuti aktivitas Jakarta yang ramai. Sempat saya amati setiap akhir pekan, warung-warung memang banyak yang berubah. Mereka yang memiliki modal yang cukup akan mengubah penampilan dan juga sajian yang lebih "modern" akan mempertahankan, setidaknya, jumlah pengunjung yang sudah ia miliki. Tapi, ada berapa banyak yang bisa begini?

Warung mbak Murtini sendiri tidak berubah sejak 7 tahun lalu. Sementara, di luar sana, di pinggir-pinggir jalan atau tempat strategis di sekitar kampus telah berdiri kafe atau resto dengan tampilan dan suasana yang lebih "kota" serta ada pula sajian musik hidup yang lebih menggoda para mahasiswa yang kebanyakan dari kota-kota se-Indonesia. Meski harga lebih tinggi dari harga makanan di warung mbak Murtini, tetap saja tempat semacam ini menjadi lebih ramai. Saya perkirakan, warung warga setempat dengan modal seadanya dan tak mampu mengubahnya menjadi lebih "modern" itu akan terus terhimpit dari waktu ke waktu. Mereka akan seperti warga asli Ibu kota, tersingkir oleh para pendatang yang memiliki naluri bisnis yang tinggi. Kekhawatiran saya pun sama seperti pada kondisi orang-orang betawi, kelak di kemudian hari mereka hanya mampu menonton dari jauh, sembari bercerita pada anak-cucu: dulu, di sana, mbah kakung dan mbah putri pernah tinggal dan memiliki warung yang ramai.

Read More......