Saya lahir di Kaur Tengah, kabupaten Kaur, propinsi Bengkulu. Karena itu saya dapat berbahasa Bintuhan, bahasa suku kami di daerah ini.

Ibu saya berasal dari Alas Maras, kabupaten Seluma. Ia dari suku Serawai.

Di rumah, sejak kecil kami menggunakan bahasa campur-campur antara bahasa Serawai dan bahasa Bintuhan.

Sejak kecil, orang tua kami tinggal berpindah-pindah karena pekerjaan bapak sebagai pegawai kecil pemerintah yang mengharuskan begitu. Juga karena bapak ingin kami anak-anaknya bersekolah dengan lebih baik, jadi meninggalkan kaur yang masih pelosok di awal 1980-an.

Kami sempat tinggal di kota Manna, ibukota kabupaten Bengkulu Selatan. Sebelum ada pemekaran, Kaur dan Seluma adalah bagian dari Bengkulu Selatan ini. Bahasa Manna pun berbeda dengan bahasa Serawai dan bahasa Bintuhan. Saya pun sempat menguasai bahasa ini karena tinggal beberapa tahun di sana.

Pertengahan dan akhir 1980-an kami berpindah ke desa Betungan dan Tanjung Jaya, wilayah pinggiran kota Bengkulu yang berbatasan dengan kabupaten Bengkulu Selatan dan kabupaten Rejang Lebong. Penduduk di daerah ini adalah warga suku Lembak, dengan bahasa yang jauh berbeda dengan bahasa daerah lain yang pernah kami tinggali. Saya pun mulai belajar menguasai bahasa Lembak untuk sekitar 3 tahun hidup dan bersekolah disini.

Beberapa sanak saudara kami juga ada yang berasal atau kawin mawin dengan warga dari daerah lain seperti Seginim, Lahat dan sekitarnya yang berbahasa Semende. Kami pun mengerti bahasa ini. Apalagi daerah Sumatera Selatan, dengan bahasa Palembang, kami pun mengerti dan dapat menggunakannya, sebab Bengkulu dulu juga bagian dari Sumsel ini sebelum menjadi propinsi sendiri di penghujung tahun 1960-an.

Awal 90-an, kami mulai tinggal di kota Bengkulu. Karena dekat pasar Minggu saat itu, kami akhirnya terpapar bahasa Minang karena bertetangga yang kebanyakan orang-orang dari Sumatera Barat. Bahasa sehari-sehari dengan tetangga dan teman-teman tetap lebih banyak berbahasa Bengkulu kota yang lebih mirip bahasa Palembang.

Pertengahan tahun 1997 saya merantau ke tanah Jawa untuk kuliah di Yogyakarta. Sejak saat itu bahasa Jawa dan bahasa lain mulai akrab digunakan dan dipakai karena pergaulan dengan banyak teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia.

Saat di Bengkulu, kadang bahasa menjadi persoalan dalam berkomunikasi. Pernah saya berbicara menggunakan bahasa campuran Bengkulu kota dan bahasa Serawai pada sepupu saya dari Kaur. Ia tidak mengerti apa yang sedang saya bicarakan. Setelah sadar, saya mencoba berbahasa Bintuhan sepenuhunya. 😃

Demikian juga saat SMA. Saya ngobrol dengan teman baru yang berasal dari Manna, sementara beberapa kosa kata bahasa Manna yang saya pakai bercampur dengan bahasa Bintuhan. Lalu ia mengingatkan kalau itu keliru. 😬

***

Kemarin saya menelepon seorang saudara dari Bintuhan, meminta bantuannya untuk memperbaiki sesuatu di rumah. Kemudian dia mengirimkan pesan WA, "Dang datang pagi saje," katanya. Saya senang, ternyata ia akan datang pagi itu juga.

Lama saya menunggunya, sampai seharian. "Kok ia tidak datang ya," pikir saya.

Pagi ini kakak saya menelepon mengabari kalau ia sudah di depan rumah. Saya kaget karena sedang dalam perjalanan ke Solo. Saya lupa mengabarinya karena tadi pagi hujan lebat sejak Subuh sampai saya, anak, dan istri meninggalkan rumah pukul 6 tadi. Saya cek lagi pesan WA dari kakak saya ini. Saya baru menyadari saya telah salah memahami pesan darinya kemarin. Dalam bahasa Bintuhan, "pagi" itu artinyan "besok" dalam bahasa Indonesia. Sementara "pagi" dalam bahasa Bintuhan adalah "hayu". Dalam bahasa Bintuhan, untuk mengatakan besok pagi kami menyatakan "hayu pagi."

Kendala bahasa dalam berkomunikasi saya alami lagi karena banyaknya bahasa yang saya pakai di Bengkulu. Bahasa-bahasa itu sudah bercampur di kepala. Sekarang, karena sudah jarang digunakan sebab saya beristrikan orang Jawa Tengah dan sehari-hari berbahasa Indonesia di rumah, bahasa-bahasa yang pernah saya kuasai sejak kecil itu mulai memudar.

Mungkin saya harus lebih sering bertandang ke banyak saudara dan teman untuk menjaga supaya bahasa-bahasa daerah tersebut tetap terjaga. Semoga saja wabah Covid-19 segera berlalu, sehingga mobilitas kita semua dapat lebih leluasa.

Read More......

Oleh: Saherman


Di tahun 1975, Barbara Wertheimer dan Anne Nelson melahirkan sebuah buku berjudul Union Women: A Study of Their Participation in New York City Locals, sebuah buku yang merangkum hasil survey terhadap 108 warga New York, Amerika Serikat, yang tercatat sebagai anggota tujuh serikat buruh pada perusahaan swasta dan lembaga pemerintah. Temuannya adalah hambatan-hambatan yang menyebabkan perempuan sulit untuk aktif terlibat dan menempati posisi pemimpin di organisasi-organisasi buruh ini. 

Kenyataan bahwa satu perempat anggota serikat adalah perempuan tak menyebabkan perempuan berkesempatan untuk memimpin. Peran ganda perempuan di tempat kerja sekaligus di rumah tangganya adalah kendala utama. Mereka kesulitan untuk membayangkan diri mereka sendiri sebagai pemimpin, kurang percaya diri yang terinternalisasi, serta ketiadaan role models di dalam serikat itu sendiri. Dari segi proporsi, lebih banyak perempuan daripada lelaki yang terlibat di kegiatan-kegiatan serikat, pemilik suara yang lebih banyak, menghadiri pertemuan-pertemuan serta kegiatan sosial dan pendidikan, dan mereka pula yang banyak mengajukan keluhan. Kunci utama untuk meningkatkan keterlibatan perempuan di posisi pemimpin menurut kaum perempuan buruh ini sendiri adalah pendidikan, khususnya program-program yang mendorong serta pelatihan untuk pertanggungjawaban serikat buruh. Artinya, kesempatan lebih besar perempuan untuk menjadi pemimpin serikat adalah dengan mendorong dan memberikan pendidikan (atau pelatihan) yang lebih banyak bagi mereka yang berpotensi menjadi pemimpin. 


Menjadi catatan juga adalah, etnisitas dan nilai-nilai budaya turut mempengaruhi sangat sedikitnya perempuan menjadi pemimpin di organisasi serikat buruh. Tidak heran, bahkan di rumah dan komunitasnya sendiri mereka tak memiliki kesempatan untuk berada di depan. Nilai tradisi, budaya, agama, atau semacamnya telah menghalangi mereka untuk menduduki posisi pemimpin, sebuah keumuman secara global (dimana saja, kapan saja, hingga saat ini!).

Sejak semester kedua tahun 2018 lalu saya terlibat dalam proyek Bersama Menuju Keadilan (BUKA) atau Towards Fairness Together yang dijalankan oleh Care International Indonesia (CII) dan Trade Union Right Center (TURC). Proyek ini dimulai di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dimana banyak terdapat pabrik-pabrik garmen yang merupakan penanaman modal asing  untuk menghasilkan produk pakaian merek-merek terkenal di negara maju. Proyek BUKA betujuan mendorong dan meningkatkan kemampuan serikat buruh bernegosiasi dengan pihak perusahaan untuk memperbaiki kondisi kerja di pabrik-pabrik melalui perundingan yang disebut Perjanjian Kerja Bersama (PKB). 

Meski diatur secara tegas pada Undang-Undang No.21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh serta Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memiliki PKB tidaklah semudah yang dibayangkan. Untuk menuju perundingan, sebuah serikat buruh di sebuah perusahaan haruslah memiliki anggota separuh lebih satu dari total mereka yang bekerja disana. Sementara, lebih banyak serikat dengan jumlah anggota kurang dari persyaratan tersebut. Setiap buruh yang masuk diterima bekerja, sedari awal sudah mendapatkan "ancaman" untuk tidak aktif dalam kegiatan dan/atau menjadi anggota serikat jika ingin bekerja lebih lama disana. Sementara, untuk memenuhi standar kelayakan perusahaan ketika menghadapi audit dari pemilik merek dagang yang diproduksi atau lembaga auditor dari luar perusahaan, keberadaan serikat buruh ini dipenuhi perusahaan dengan cara membentuk serikat buruh internal dan tidak independen dari perusahaan itu sendiri. Secara otomatis perusahaan memiliki kendali penuh atas serikat yang terakhir ini.


Perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik garmen ini mencapai proporsi lebih dari 80 persen dari total pekerja yang ada. Masalah-masalah khas perempuan pun banyak yang tak terselesaikan meski itu merupakan hak-hak dasar pekerja yang diatur dalam undang-undang dan regulasi ketenagakerjaan lainnya. Sebut contoh misalnya cuti haid, cuti melahirkan yang cukup, ruang laktasi, bebas dari pelecehan seksual, berhak untuk hamil, atau status sebagai pekerja tetap untuk posisi pekerjaan dengan fungsi utama di dalam aktivitas pabrik. Semua itu adalah masalah yang dihadapi tenaga kerja perempuan yang tak kalah penting diperjuangkan selain upah minimum. Care Internasional menyebut bekerja di pabrik ini sebagai Dignified Work atau pekerjaan yang bermartabat, sehingga kondisi kerja pun harus menjunjung tinggi martabat pekerjanya sebagai manusia. Sementara, TURC menamainya sebagai Kerja Layak.


Tujuan proyek BUKA adalah mendorong serikat buruh memiliki posisi tawar yang kuat ketika melakukan perundingan dengan perusahaan. Caranya adalah dengan memanfaatkan data sebagai landasan fakta dalam perundingan. Data yang bersifat umum, diketahui dan dapat diakses oleh khalayak banyak, dapat dipertanggungjawabkan karena dihimpun dan diolah dengan metode yang tepat, adalah data yang memiliki kekuatan yang lebih sabagai modal bernegosiasi. 

Mengingat industri sektor pakaian (apparel industry) mempekerjakan perempuan lebih dari tiga perempat total pekerja yang ada, maka masalah-masalah di pabrik yang spesifik perempuan harus diperjuangkan penyelesaiannya. Data tentang itu pun tentu harus menjadi bagian penting untuk dibawa ke meja perundingan, termasuk dalam pasal-pasal pengaturannya di PKB. 

Minimnya perempuan menempati posisi kepemimpinan di New York pertengahan tahun 1970-an itu pun sama berlaku di sini, saat ini, di Sukabumi. Karena itu pula proyek BUKA juga mendorong perempuan untuk aktif menjadi pengurus serikat, memiliki posisi pemimpin di dalamnya, bahkan terlibat di dalam proses perundingan antara serikat dan manajemen perusahaan. BUKA diimplementasikan dalam bentuk Sekolah Buruh Perempuan Sukabumi, sebuah pendidikan alternatif untuk meningkatkan kemampuan aktivis buruh perempuan untuk siap menjadi pemimpin di organisasinya, serta memiliki kemampuan untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak perempuan di tempat kerja dengan, bahkan, ikut serta dalam tim serikatnya ketika berunding dengan perusahaan.

Sukabumi, 01 Agustus 2019

Saherman
Field Coordinator of BUKA Project, Care International Indonesia

Read More......

According to Barna (1997), there are at least six stumbling blocks in intercultural communication. First, assumption of similarities. Many people assume that there are many similarities around the world that make communication easier. In fact, while there may be many similarities (or superficial similarities) the values, beliefs or attitudes surrounding the communication process are different from one culture to another. Second, language differences in vocabulary, syntax, idioms, slang, dialects or the connotation and denotation meaning. They require enough understanding of the language so that they can be used appropriately and in their variations in communication. Third, nonverbal misinterpretations. It requires understanding of signs and symbols that are used in communication. Intercultural communication needs a good understanding of context and references of the language that be used by the speaker so the meaning can be distinguished. Fourth, preconceptions and stereotypes. People tend to assume that they know about the other reel of feeling, behaviour, and other circumstances. They predictions likely are prejudice based on the myth of truisms. Fifth, tendency of evaluate, which mean the approval or disapproval of others’ statements and actions instead of searching information of the realities. The last one is high anxiety or tension. It appear when communication occur when the one cannot maintain the normal flow of verbal nonverbal interaction.

I had an experience related to these stumbling blocks. When earthquake occurred in Jakarta 2 years ago, everyone fled out of our three-floor office building. One of my colleagues from Queensland complained that there is no appropriate exit when a fire or other disasters happen in Jakarta and there are many workers in office buildings. For the Indonesians, the complaint is funny since there is no safety standard in many building offices in Jakarta. When the others laughed, the Australian colleague was very shocked with the response that  she thought it was not funny at all.

When having communication with Australian people or with other international students in Canberra, I had to be careful with the way I deliver an idea or to argue with others on discussing topic. This anxiety, however, makes me reluctant to become fluent in speaking and have good communication with others. But later the anxiety gradually decreased when I realised that many international students do not speak perfectly and it is common to do some mistakes in speaking. The  more we realise that we make mistakes the more lessons we have and then improve it.

Some stereotypes about students from particular countries sometimes generate the uncertainty to have a study groups with them. As a result, many students prefer to shape a group with the same country fellow students. In order to improve English skill and intercultural relationship, it is better to have study group with fellows from different countries, since it will build mutual understanding and have network in the future. Therefore, put the stereotypes away will enable the communication to occur appropriately and with more natural learning.  



Reference:
Barna, L. (1997). Stumbling blocks in L. Samovar & Porter (eds) Intercultural communication: A Reader. Belmort: Wadsworth, pp. 370 – 378

Read More......

Saat makan siang tadi saya ngobrol dengan seorang teman seorang relawan dari Australia yang ada di kantor tempat saya bekerja. Bron, begitu ia biasa dipanggil, berasal dari Melbourne dan sudah tinggal di beberapa negara lain sebelum ia menjadi relawan di sini. Sebelumnya ia sempat berkeliling Indonesia untuk mengenali kehidupan di negeri ini, termasuk ke Bengkulu dimana saya lahir dan besar.


Menilai fenomena korupsi di Indonesia, Bron berpendapat hal itu dapat disebabkan karena kesenjangan yang terlalu besar (huge gap) antara orang kaya dan orang miskin. Satu contoh saja, jika di sebuah pemukiman yang rumah-rumah berdekatan satu sama lain, maka akan lebih baik kalau rumah itu ukurannya sama dan tidak ada banyak perbedaan.

"Kalau punya rumah, saya akan melihat rumah orang lain. Jangan sampai rumah saya lebih besar dari rumah orang di sekitar. Kalau sampai berbeda, saya akan merasa tidak nyaman."

Pendapat Bron dan pengalamannya tentang "ukuran" rumah ini tentu jauh berbeda dengan kehidupan orang Indonesia kebanyakan akhir-akhir ini. Jika melihat rumah orang lain lebih besar, maka tetangganya akan berusaha membuat rumahnya juga berukuran besar, bahkan kalau dapat dibuat jauh lebih besar dibanding yang lainnya. Tentulah ini berkaitan erat dengan status sosial ekonomi masing-masing orang. Hasrat untuk lebih dari orang lain memacu seseorang untuk berusaha sedapat mungkin punya harta lebih banyak. Entah dengan cara yang baik seperti bekerja lebih keras, lebih banyak, lebih lama, ataupun dengan cara yang membuat negeri ini justru tambah parah tingkat korupsinya.

"Itulah sebabnya saya suka sistem komunis," kata Bron menambahkan dengan tertawa. 



Bron melihat di dalam sistem komunis, kesenjangan antara si miskin dan si kaya tak terlihat. Dan karena itu pula ia lebih baik dibanding dengan sistem yang ada seperti di Indonesia. 

Masyarakat Indonesia sekarang lebih sering menghargai orang lain karena pemilikan harta-benda. Sudah tak begitu hirau apakah mereka memperolehnya dari kerja keras ataukah dari menyiasati pencurian uang Negara.

Untuk menciptakan kondisi dimana jurang itu tak terlalu besar, ketimpangan sosial-ekonomi tak melahirkan kecemburuan, dan pembangunan lebih terlihat ada  pemerataan, maka sudah semestinya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tepat. Bukan membiarkan setiap orang berlomba tanpa batasan, sikut kiri-kanan, dan pada akhirnya menjadi srigala bagi orang lain. Siapa kuat maka dia menang. Siapa lemah, maka mohon maaf, Anda tak layak hidup di tanah air Indonesia.

Catatan: gambar ilustrasi bersumber dari sini.

Read More......

Orang Kaur Mudik Bersama

Persatuan Warga Kaur (PWK) Palembang dan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) mengajak adik sanak warga Kaur di perantauan untuk mudik bersama ke Kaur dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri 1434H.

Hari Minggu, 11 Agustus 2013 pukul 09.00 Wib atau reraye ke-4 akan ada kumpul-kumpul di Gedung Pendopo TM BINEKA desa Sekunyit Bintuhan. Pukul 19.00 Wib malam hari, akan ada pagelaran kesenian Kaur.

Mari balik ke Kaur. Kita bersilaturrahim sekaligus merayakan Idul Fitri tahun ini di Kaur.

Informasi ini disampaikan oleh Pak Son Iswandy dari PWK Palembang. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi beliau di no telepon genggam 0812 782 0344.

Read More......

Kiblat

Peristiwa ini terjadi tahun 2000 lalu. Ceritanya saya bersama-teman tim pembawa bantuan dari Surat Kabar Kedaulatan Rakyat Yogyakarta membawa sumbangan warga Yogya untuk korban gempa bumi di Bengkulu. Sebagai orang Bengkulu, saya bersama teman-teman dari Bengkulu dipercaya untuk menjadi tim lapangan untuk memastikan semua bantuan tersalurkan ke masyarakat di banyak tempat. Maklum, gempa besar dengan kekuatan 7,3 SR saat itu mengundang banyak pihak untuk memberikan bantuan untuk menolong warga. Kalau asal-asalan, akan ada warga yang menerima bantuan berlimpah sementara tak sedikit mereka yang justru kekurangan bantuan.

Di sela-sela waktu bertugas itu, saya pulang ke rumah orang tua. Saya sembahyang dzuhur di rumah. Sajadah saya bentangkan di ruang belakang. Setelah selesai, rupanya ibunda memperhatikan saya.

"Menghadapnya kok kesana?" tanya ibu.

Saya kaget.

"Seharusnye kemane, Mak?" tanya saya dalam bahasa Kaur.

"Kesitu" kata ibu saya menunjuk ke arah depan rumah.

Tadi saya sembahyang menghadap ke arah kanan rumah. Akhirnya saya sadar kalau tadi saya bersembahyang ke arah Utara. Dengan posisi pulau Sumatera yang berada di bagian Timur kalau dari Tanah Suci Mekkah, seharusnya saya memang menghadap ke arah Barat. Setalah tiga tahun merantau ke Yogya, saya lupa arah kiblat ketika berada di rumah orang tua di sini.

Menurut penjelasan seorang saudara saya yang lulusan Pondok Pesantren Gontor, secara bahasa, kiblat (qiblatun/qiblah) adalah nomina (mashdar) berarti hadapan/tempat menghadap. Ia berakar dari verba qabila yang berarti menghadap.

"Secara khusus (Islam), Kiblat adalah tempat (baca:arah) kepada mana kaum muslimin menghadapkan wajahnya ketika shalat. Sebelum turunnya surat al-Baqarah: 144, Kiblat kaum muslimin adalah Masjidil Aqsha. Setelah turunnya ayat tersebut: berubah ke Masjidil Haram."

Kiblat adalah arah shalat (orang Melayu menyebutnya "sembahyang") yang menuju satu titik yakni Masjidil Haram yang ada di Mekkah. Semua ummat Islam yang melaksanakan Rukun Islam kedua tersebut mengarah kesana. Karena dari posisi Indonesia Kiblat itu adanya di sebelah barat--meski sesungguhnya juga agak ke barat laut sedikit, makanya orang di sini lebih sering menyebut Barat untuk menunjuk ke kiblat saat sembahyang.

Selain arah menghadap saat sembahyang, kiblat juga merupakah arah kepala hewan yang disembeliih dan arah kepala jenazah ketika dimakamkan. Informasi sederhana tentang kiblat ini dapat diperoleh di tautan ini.

Seorang teman yang baru pulang dari sekolah master di Belanda dua tahun lalu bercerita. Teman-temannya dari Suriname di Belanda melakukan sembahyang menghadap ke arah Barat. Ketika ditanya kenapa demikian, mereka menjawab singkat, "Karena dari nenek moyang kami dulu kalau melaksanakan shalat kiblatnya ke arah Barat." Padahal posisi Ka'bah jika di negeri Kincir Angin itu mestinya ke arah Timur.

Kisah teman di Belanda tadi saya ceritakan ke teman-teman saya di Alimat di dalam satu pertemuan. Mereka pun sudah mendapatkan kisah yang sama dari pengalaman berinteraksi dengan orang Suriname. Mereka yang berada di Suriname merupakan keturunan orang-orang Jawa masa penjajaha Belanda. Mereka di bawa ke negeri itu sebagai tenaga budak dan akhirnya beranak pinak di sana. Karena orang Jawa zaman dulu menghadap ke Barat saat shalat, akhirnya anak cucunya ikut demikian. Aneh, tetapi itulah kenyataan.

Saat saya ditegur ibunda usai melaksanakan sembahyang di Bengkulu 13 tahun lalu itu, saya hanya tersenyum-senyum saja. Sembahyangnya tetap sah dalam ajaran Islama. Pertama karena itu dilakukan tanpa sengaja dan karena ketidaktahuan. Kesalahan demikian selalu mendapatkan pengampunan dari Allah SWT. Kedua, di dalam ajaran Islam, kalau dalam kondisi arah Kiblat tak diketahui, maka mereka yang sembahyang mengikuti keyakinannya arah mana Kiblat itu. Dan ibunda saya pun sangat memahami kondisi saya.

"Kemanapun kalian menghadap, di situlah 'Wajah' Allah" (QS. Al-Baqarah:115). Demikianlah yang diajarkan dalam Islam. Dan Allah pun ada dimana-mana.

Read More......

Kerukunan di Klungkung Bali




Saya sekeluarga beruntung dapat berlibur bersama di Bali pada 25 - 29 April 2013 lalu. Bagaimana tidak, di Bali kami menginap di rumah sahabat istri saya Naning semasa sekolah di Solo dulu. Letaknya di Kabupaten Klungkung, agak ke timur (atau tepatnya di Tenggara?) pulau Dewata itu. Ia dan suami beserta anaknya menyambut kami dengan hangat seperti kedatangan keluarga dari jauh. Karena kesibukan saudara kami ini yang berniaga dari pagi hingga petang, maka mereka tak sempat menemani kami berkeliling Bali. Sebagai gantinya, mereka menyediakan sebuah mobil kijang Innova lengkap dengan sopirnya. Ini fasilitas luar biasa untuk pelancong seperti kami.

Namanya Ine. Orangnya cantik dan berkerudung. Tingginya tak kurang dari 160 sentimeter. Ia keturunan Cina Bali dan Bandung. Suaminya Sandi, orang Lombok asli. Mereka memiliki dua orang putra, yang tertua baru setahun ini nyantri di Banyuwangi, serta anak terakhir ada di rumah dan duduk di kelas tiga sekolah dasar. Mereka hangat. Kami merasa seperti sedang mengunjungi keluarga di pulau ini.

Kampung Lebah, kelurahan Semarapura, merupakan pusat kota di Kabupaten Klungkung. Kampung Lebah merupakan salah satu dari enam kampung yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Muslim disini tak hanya pendatang, banyak juga yang merupakan orang Bali asli.Herman, orang yang membawa mobil innova yang kami tumpangi berkeliling Bali adalah salah satu orang Bali asli. Tidak seperti orang Bali yang identik memeluk agama Hindu, mas Herman dan keluarganya bahkan memeluk Islam sejak dulu kala. Kedua anak kami, Zahid dan Fatih, senang bersenda gurau dengannya. Apalagi nama panggilannya sama dengan saya. 


Hari raya nyepi merupakan hari suci bagi umat Hindu di Bali. Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya ini sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak boleh ada aktivitas. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, kecuali rumah sakit. Bandar Udara Internasional pun tutup. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktivitas seperti biasa. Umat Hindu melaksanakan "Catur Brata" Penyepian yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi.

Demikianlah untuk masa baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari tidak ada, suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga (menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan)), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin).

Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru.


Pada hari nyepi, umat Islam tetap melaksanakan aktivitasnya sehari-hari namun membatasi diri supaya tidak mengganggu nyepi umat Hindu. Suara adzan tak dikumandangkan dengan pengeras suara, tidak menyalakan lampu dan alat elektronik yang dapat menimbulkan suara, serta aktivitas lainnya.

Setiap kampung di Bali memiliki tenaga keamanan masing-masing. Namanya pecalang. Ada kesepakatan di antara pecalang di kampung muslim dan umat Hindu. Daripada terjadi bentrok antara pecalang dengan penduduk Muslim yang tidak mematikan lampu atau menjalankan aktivitas yang mengganggu, pecalang dari kampung Muslim sendiri yang melakukan operasi pengawasan rumah-rumah penduduk untuk memastikan bahwa tidak ada aktivitas yang terjadi yang menodai perayaan Nyepi. Jika pecalang Muslim
masih melihat ada lampu yang menyala, alat elektronik yang bersuara, atau aktivitas lainnya, maka pecalang kampung sendiri yang akan menegur warga dan menghentikan aktivitas tersebut. Hal ini dinilai baik supaya tidak ada bentrokan yang berbau agama.

Ada pengecualian bagi warga Muslim di Bali selama Nyepi. Antara lain adalah untuk orang lanjut usia, keluarga yang memiliki bayi, atau ada kematian, yang membutuhkan penerangan dan aktivitas di dalam rumah. Begitu juga dengan ibadah di masjid, Muslim tetap dapat ke masjid namun tidak membuat suara-suara yang "mengganggu". Kesepakatan ini kemudian diketahui dan dipatuhi oleh kedua pemeluk agama yang hidupnya mberdampingan ini.

Pernah ada bentrok fisik antar-warga yang kelihatannya yang berbau agama. Persoalannya sepele, seorang pemuda mabuk setelah meminum minuman keras. Lalu mengganggu pemuda lain yang kebetulah beragama berbeda. Akhirnya timbul perkelahian. Menghadapi ini, warga masing-masing umat memahami akar persoalan sehingga tidak sampai mengakibatkan kerugian yang lebih fatal.

Satu hal yang menarik selama kami berada di Semarapura. Saat sembahyang Subuh di Masjid, saya mengamati sepeda motor diletakkan begitu saja di pinggir jalan yang masih sepi. Bahkan tidak mengunci stangnya. Mobil-mobil pun tidak sedikit yang diparkir di pinggir jalan. Semuanya aman. Tidak ada pencurian kendaraan bermotor. Mas Sandi mengatakan kalau di kampung semuanya saling menjaga keamanan. Tidak ada pencurian, baik di kampung Muslim maupun di kampung yang mayoritas dihuni umat Hindu. Buat saya, ini hal yang luar biasa. Jangan coba-coba kalau mau meletakkan sepeda motor di pinggir jalan di tempat tinggal kami di Bogor, belum lima menit sepeda motor itu pun dapat dipastikan "berpindah tangan".



Jika di waktu subuh suara adzan berkumandang membangunkan warga, maka tepat pukul enam pagi suara alunan alat musik Bali menandai ibadah pagi umat Hindu di sini. Alunan musik yang sama juga terjadi di pukul enam petang. Semua saling tahu. Semua saling menoleransi.

Saya menemui satu istilah baru, yakni Rukun Umat. Mungkin ini semacam Rukun Warga (RW) kalau di pemukiman warga di pulau Jawa. Mungkin karena di perkampungan Muslim, maka istilahnya mejadi Rukun Umat. Seperti RW, Rukun Umat pun ada yang menjadi ketuanya. Segala hal yang berkaitan dengan kewargaan diatur di dalam Rukun Umat. Tentunya supaya kerukunan dapat berlangsung dengan baik.


Perbedaan agama tidak menjadi hambatan masyarakat dalam membangun kehidupan bersama. Hanya saja peristiwa bom Bali yang terjadi pada tahun 2002 dan 2005 lalu sempat membuat hubungan antar umat dua agama disini menjadi tegang. Umat Islam merasa terpojok karena dua kejadian itu.

Sekarang, lambat laun hubungan menjadi harmonis. Aktivitas sehari-hari berjalan lancar. Warga pemeluk dua agama ini menjadi biasa bersosialisasi satu sama lain. Hal yang menonjol di sini adalah warga Muslim mengambil peran di dunia niaga. Praktis aktivitas jual-beli dikuasai kalangan Muslim. Sementara instansi pemerintahan mayoritas diisi oleh umat Hindu. Pada umumnya, kerukunan menjadikan semua aktivitas bejalan lancar. Semoga ini merupakan kondisi yang terus terpelihara, sebab semua orang membutuhkannya.


Read More......

First family tax returns raises flags | The Jakarta Post

Read More......