Ojek Dilarang Masuk

Akhir pekan lalu, saya dan istri membeli beberapa kebutuhan untuk kelahiran putra kedua kami. Saat itu, istri menyebut satu toko yang menurut informasi yang ia dapat merupakan toko yang menjual barang-barang yang sedikit lebih murah dibanding toko-toko lain yang menjual barang yang sama di sekitar sana. Toko itu terletak di sebuah kawasan niaga sebuah perumahan elit di timur Cibubur, Jakarta Timur.

Ketika melewati gerbang perumahan yang dijaga oleh beberapa satpam itu, betapa terkejutnya saya pada satu tanda lingkaran yang dibuat garis miring diamater menutupi gambar orang bersepeda motor di dalamnya. Di bawah gambar tertulis: Ojek dilarang masuk. Tegas sekali larangan itu. Ojek yang merupakan alat transportasi kawasan yang paling praktis dan cepat ternyata dilarang di kawasan itu. Mungkin saja larangan itu berkaitan dengan keamanan bagi penghuni kawasan dengan rumah-rumah besar namun tak sedikit hanya ditempati oleh pekerja rumah tangga (PRT), bahkan ada yang kosong tak berpenghuni. Asumsinya, semua penghuni perumahan memiliki kendaraan pribadi sehingga tak membutuhkan alternatif angkutan. Namun, bagi saya pribadi larangan ini adalah satu bentuk diskriminasi yang seharusnya tak boleh terjadi.

Beberapa kawasan perumahan memang menyediakan angkutan kawasan. Sebut saja perumahan Kota Wisata. Perumahan elit ini menyediakan angkutan itu, namun warga tetap saja memerlukan ojek sebagai alat transportasi alternatif. Selain lebih cepat karena tak perlu berkeliling kawasan namun langsung menuju rumah, juga karena angkutan kawasan datang tidak dalam jeda yang singkat. Ojek akhirnya menjadi satu kebutuhan. Ada demand maka ada supply.

Masalah keamanan, perumahan dengan pengamanan satpam di setiap cluster kawasan tentunya tak begitu mengkhawatirkan. Jika pun tukang ojek sering melintas, sebagai mana tamu yang datang, biasanya dimintai tanda pengenal atau dicatat ciri-cirinya oleh satpam yang ada. Jika memiliki langganan, tentunya ia akan sering keluar-masuk, dan satpam seharusnya mengetahui itu. Sungguh, tak perlu ada kekhawatiran.

Pelarangan ojek untuk masuk ke dalam kawasan menunjukkan satu bentuk tuduhan secara tidak langsung bahwa para pencari nafkah dengan menawarkan jasa mengantar orang dengan sepeda motor ini adalah mereka yang "pasti" melakukan kejahatan. Bisa jadi ini adalah permintaan segelintir warga atau pun memang "fasilitas" kenyamanan yang ditawarkan pengelola perumahan. Namun, siapa yang dapat memastikan kalau mereka adalah pelaku kejahatan?

Melarang ojek masuk kawasan sama niatnya dengan pelarangan terhadap pemulung. Harus diakui, memang ada kejadian di mana pemulung membawa pergi beberapa barang berharga milik warga. Namun, sekali lagi, tak semua pemulung berbuat jahat melakukan pencurian atau kejahatan yang lain. Mereka, para pemulung itu, adalah penyelamat lingkungan. Mereka memungut kardus, bungkus plastik, botol-botol bekas dan barang-barang tak terpakai lagi yang kelak akan jadi barang-barang bermanfaat setelah mengalami proses daur ulang.

Kita sepatutnya berterima kasih pada pemulung. Atas jasa mereka, sampah-sampah yang kita buang tak langsung mengotori dan menyakiti bumi ini. Mereka yang begitu benci pada pemulung karena ketakutan hartanya dicuri belum tentu adalah mereka yang ramah pada bumi, dan membuang sampah pada tempatnya. Mungkin secara sosial status kepemilikan harta mereka yang melarang pemulung masuk lebih tinggi kedudukannya, namun dalam hal kesadaran melestarikan bumi untuk anak-cucu kita nanti juga belum pasti mereka memiliki.

Mengamati pelarangan di mana-mana ini, sepertinya ada upaya untuk melestarikan sekat-sekat antarkelas dalam masyarakat. Sekat itu bisa antara penghuni perumahan "elit" dengan para kelas ekonomi paling bawah seperti para pemulung atau tukang ojek. Bisa juga dalam bentuk yang lain berupa akses untuk mendapatkan layanan publik yang saat ini telah banyak diserahkan pengelolaannya pada pihak swasta. Pihak swasta, yang dengan kerakusan pada akumulasi keuntungan tidak akan mudah memberikan akses kepada mereka yang tidak memberikan keuntungan.

Jika kepentingan publik telah diserahkan pada swasta, maka layanan publik yang masih dijalankan oleh Pemerintah biasanya tetap tidak mampu memberikan layanan maksimal kepada masyarakat. Inilah skenario kapitalisme neoliberal yang menjadikan subsidi pemerintah sebagai duri dalam daging yang harus dilenyapkan. Karena itu, kesepakatan hutang Pemerintah Indonesia dengan IMF dan lembaga moneter lainnya jelas menyebutkan tak boleh ada lagi pemberian subsidi. Pencabutan subsidi adalah kewajiban Pemerintah lainnya di samping menyerahkan pengelolaan kepentingan publik kepada swasta.

Sebut saja sekolah-sekolah di wilayah Jabodetabek yang mulai berstatus internasional atau sekolah unggulan. Jika bukan milik swasta maka ia adalah sekolah-sekolah negeri yang iuran wajibnya tak mungkin dapat terbayar oleh para pemulung atau tukang ojek. Sekolah murah untuk kaum miskin dengan subsidi yang telah terkurangi adalah sekolah yang paling banyak dapat diakses oleh anak-anak tukang ojek dan pemulung.

Rumah sakit pun demikian. Susah sekali untuk menemukan rumah sakit pemerintah yang mau memberikan pelayanan yang baik pada orang-orang miskin. Bahkan yang dirawat dengan menggunakan kartu tanda keluarga miskin pun harus ikhlas untuk dibedakan standar pelayanan minimal dengan mereka yang mampu membayar dengan lebih mahal untuk mendapatkannya.

Di rumah sakit-rumah sakit swasta, untuk mendapatkan pelayanan Anda harus menyetorkan sejumlah uang sebagai deposit untuk menjamin bahwa biaya perawatan dapat dibayar oleh keluarga si sakit. Besar deposit biasanya sebanyak biaya perawatan selama 10 hari. Jika tak dapat membayarkan uang deposit ini, jangan harap Anda akan mendapatkan perhatian yang manusiawi dari para tenaga medis di rumah sakit.

Tak perlu membuat tanda larangan dan menuliskannya dengan huruf-huruf berukuran besar sebagaimana larangan masuk bagi tukang ojek di kawasan perumahan elit di timur Cibubur itu. Fenomena akses ke sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit dengan layanan yang layak jelas menunjukkan larangan nyata bagi sebagian besar masyarakat kita. Meminjam bahasa aktivis HAM dari dari Yogyakarta, Eko Prasetyo: "Orang Miskin Dilarang Sekolah" dan "Orang Miskin Dilarang Sakit."

Catatan:

1. Gambar sampul buku Orang Miskin Dilarang Sakit saya ambilkan dari sini.
2. Istri saya trauma atas kejadian Prita Mulyasari dan beberapa orang lainnya yang dituntut karena mengemukakan pendapat. Karena itu, saya pun tidak mendapat izinnya untuk memotret tanda larangan masuk bagi tukang ojek.

Read More......