Dari Lok Baintan ke Martapura


Pagi-pagi buta aku dan teman-teman berangkat menuju Kampung Kenanga Ulu, Kelurahan Sungai Jingah, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin. Di pinggiran sungai di dekat Museum Wasaka, sebuah museum mengenang perjuangan rakyat Banjarmasin melawan penjajah, telah menunggu perahu klotok yang kami sewa untuk ke Pasar Lok Baintan. Kami menyempatkan diri menunaikan sembahyang subuh di sebuah musholla di pinggir sungai. Mbak Nurhikmah yang mendampingi perjalanan kami selama di Kalimantan Selatan menyarankan untuk berangkat pagi-pagi sekali menuju Lok Baintan, sebab nanti tiba di sana pas betul ketika para pedagang mulai memenuhi lokasi dengan perahu-perahu (orang Banjar menyebutnya Jukung) berisi barang dagangan mereka. Hari itu tanggal 8 Mei 2011.

Pasar Terapung Lok Baintan terletak di desa Sungai Pinang (Lok Baintan), kecamatan Sungai Tabuk, Banjar. Selain di sini, ada satu lagi pasar terapung yang terletak di muara Sungai Kuin/Sungai Barito. Keduanya sama-sama pasar tradisional di atas jukung. Aktifitas jual-beli berlangsung tidak terlalu lama, hanya sekitar tiga hingga empat jam. Barang dagangan berupa hasil produksi pertanian/perkebunan, bahan makanan yang tak tahan lama seperti sayur-sayuran, buah-buahan, makanan tradisional atau kudapan dan kebutuhan dapur rumah tangga lainnya. pada pagi sekitar pukul 6 atau 7 mulai tampak di sepanjang pesisir aliran Sungai Martapura Lok Baintan konvoi perahu menuju lokasi pasar terapung. Mereka berasal dari berbagai anak Sungai Martapura, seperti Sungai Lenge, Sungai Bakung, Sungai Paku Alam, Sungai Saka Bunut, Sungai Madang, Sungai Tanifah, dan Sungai Lok Baintan.


Selain melihat aktivitas jual-beli di pasar terapung, sebenarnya kami ingin "ngobrol" tentang kehidupan masyarakat di sekitarnya dan juga mereka yang menjadi pedagang di pasar terapung yang terkenal itu. Untuk bisa ngobrol dan tidak membuat tersinggung para penjual, kami membeli barang dagangan mereka sehingga tak tampak kalau kami sedang menggali informasi.

Menurut Bu Fatimah, dosen Universitas Lambung Mangkurat yang pernah meneliti kehidupan perempuan pedagang di pasar terapung, kebanyakan pedagang kelas bawah memang berjualan makanan atau bahan makanan yang tak tahan lama. Harapannya setelah kembali dari Lok Baintan barang dagangan tersebut telah habis terjual. Jika tak habis, sebelum pulang ke rumah biasanya ibu-ibu pedagang akan membawa dagangannya masuk ke pemukiman warga yang tinggal di atas sungai untuk berjualan. Ibu-ibu pedagang ini adalah pencari nafkah keluarga yang tangguh. Kadang-kadang, para pedagang melakukan barter sayuran atau hasil bumi lainnya menjadi kebutuhan pokok. Jadi tak mesti dijual dengan uang, apalagi saat hari semakin siang dan barang dagangan belum habis.



Sepulang dari Lok Baintan kami menyusuri sungai untuk melakukan wawancara dengan beberapa warga. Lalu mampir di Warung Soto Banjar Bang Amat yang terletak di tepi Sungai Pengambangan (anak Sungai Martapura). Waktu di Surabaya Oktober 2010 lalu, aku dan seorang teman sempat mencicipi soto Banjar. Kupikir saat itu soto Banjar ini adalah soto yang berasal dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Harus saya akui memang saya bukan orang yang gemar menghabiskan uang untuk mencicipi semua masakan nusantara yang sekarang orang menyebutnya sebagai wisata kuliner :).

Makan Soto Banjar, juga sate ayam, sembari mendengarkan musik tradisional orang Banjar yang disebut Panting. Panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan, merupakan alat musik yang dipetik yang berbentuk seperti gambus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada perkembangannya, Panting dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya seperti babun, gong,dan biola sehingga pemainnya juga terdiri dari beberapa orang.

Setelah dari pasar terapung, kami ke Martapura, Banjar, untuk menemui dan mewawancarai tokoh masyarakat di sana. Salah satu yang kemi temui adalah Abah Anang, seorang Kyai (ulama Banjar) yang sangat berpengaruh. Karena kuatnya pengaruh Abah Anang di masyarakat Banjar, hampir semua calon Presiden bertandang padanya setiap kali musim pemilu di Indonesia. Bahkan Kapolri, Paglima TNI, dan pejabat lembaga-lembaga tinggi Negara hampir semuanya datang padanya. Kalau masyarakat kecil datang untuk berkonsultasi soal keislaman bahkan urusan dapur, kasur dan sumur, maka para pejabat datang padanya untuk minta didoakan supaya langgeng dan (ny)aman kursi kekuasaan mereka. :)

Kami pun mampir membeli buah tangan kain Sasirangan dan juga batu mulia. Sahabat Sasirangan adalah salah satu produsen dan penjual kain (batik) Sasirangan. Di salah satu tokonya di Martapura ada tergerai kain Sasirangan palsu. Buatan dari negeri Cina. Bahan kainnya tampak beda serta dari penampilan sudah tampak kalau ia dibuat secara massal menggunakan mesin. Jelas ditulis pada secarik kertas yang tertempel di kain kalau ini adalah Sasirangan palsu, dan toko ini tidak menjualnya. Bahkan pencapaian budaya nenek moyang dalam bentuk kain batik pun tak dilindungi dengan semestinya oleh Pemerintah. Ada banyak kasus seperti ini, motif-motif kain tenun atau batik di berbagai daerah dengan mudah ditiru oleh negeri tirai bambu itu. Mereka memproduksinya secara berlimpah sehingga harganya jadi murah. Tetapi, tentu saja, adalah barang palsu. Kalau kita mau ikut melestarikan kekayaan budaya negeri sendiri, salah satu wujud kecintaan itu adalah dengan cara membeli barang yang asli... :)

Di Martapura, saya dan teman-teman sempat mampir di Masjid Agung Al Karomah. Dari luar masjid ini tampak indah dan megah. Di dalamnya, usai sembahyang kami sempat leyeh-leyeh. Udara di dalam jelas terasa sejuk. Sementara cahaya matahari begitu menyengat di luar masjid.

Ini merupakan bagian dari perjalan saya di Kalimantan Selatan pada 4 - 13 Mei 2011.

Read More......