Table Manner

Makan di restoran, meski tidak sering, acap saya alami terutama saat mengikuti satu program pelatihan atau pertemuan-pertemuan baik yang diselenggarakan oleh lembaga tempat saya bekerja atau pun menghadiri undangan dari lembaga lain. Terus terang, saya termasuk orang yang tidak begitu faham mengeni etiket makan di restoran, apalagi di hotel berbintang. Pertama, karena saya sendiri makan bersama teman-teman Indonesia yang juga tidak begitu memahami masalah ini. Kedua, masing-masing negara memiliki masing-masing budaya yang juga beragam mengenai etiket atau cara-cara menghadapi satu jamuan makan. Saya pikir asal tidak mengganggu orang lain adalah hal yang lumrah saja. Tapi restoran, apalagi yang banyak orang asing yang merupakan pelanggannya, sepertinya perlu juga saya untuk mengetahui.

Pengertian tabble manner saya dapati berbunyi demikian:

Table manners are the etiquette used when eating. This includes the appropriate use of utensils. Different cultures have different standards for table manners. Many table manners evolved out of practicality. For example, it is generally impolite to put elbows on tables since doing so creates a risk of tipping over bowls and cups. Within different families or groups, there may be less rigorous enforcement of some traditional table manners of their culture while still maintaining others. For example, some families ignore elbows on the table or mixing of foods.


Menemukan penjelasan mengenai table manner, untuk setiap budaya yang berbeda, sungguh saya menjadi geli sendiri. Bagaimana tidak, saya tidak tahu dimana harus meletakkan piring, mangkok, sendok, garpu, pisau, gelas, dan letak semua yang dibutuhkan saat makan kecuali memang sudah ada di meja seperti ketika saya mendatanginya. Saya juga tidak tahu persis makanan mana yang merupakan makan pembuka, makan utama, atau apa menu yang terakhir kali harus saya nikmati dari sajian-sajian yang ada.

Lain ladang, lain belalang. Lain lubuk, lain pula ikannya. Demikian pepatah Melayu. Di kantor, saya biasa makan pakai tangan. Makan siang biasanya berbeda-beda setiap harinya. Selaku orang yang menjalani masa kecil di desa, kebiasaan makan pakai tangan justru mengingatkan saya pada masa-masa indah di desa. Seingat saya, di ruang makan atau pun di anjung (saung) di tengah sawah, selalu tersedia lap atau serbet untuk tangan setelah membasuhnya di dalam pan basuh (bahasa Jawa: kobokan). Kadang, makanan tidak di dalam piring, tetapi di atas daun lebar entah apa namanya di pinggiran sawah di desa saya. Istri saya dari Jawa bercerita kalau makan di ladang makanannya berwadahkan daun jati. Semua peralatan dekat dengan alam sekitar.

Berbeda dengan di restoran, dengan peralatan sebanyak itu, tentunya membutuhkan bahan sabun cuci yang tidak sedikit, membutuhkan air yang juga banyak, serta tenaga yang lebih banyak pula untuk menyajikan dan juga membersihkan peralatan. Dalam hal tenaga, boleh jadi ada peralatan canggih yang dapat membantu. Tetap peralatan itu juga membutuhkan listrik yang dayanya juga banyak. Di restoran, saya dipaksa etiket yang berlaku untuk menggunakan semua itu.

Demikian pula dengan tisu yang dipakai untuk membersihkan tangan setelah makan. Untuk restoran, saya lihat ada lap yang bisa dicuci. Sekali lagi: bisa dicuci seperti, seperti lap tangan orang-orang di desa saya dulu. Tapi orang telah dibudayakan menggunakan tissu setelah makan. Lap tangan bisa dicuci, tissu hanya dipakai sekali.

Cara makan, table manner, tempat makan, jenis makanan, waktu makannya, semua merepresentasikan kelas sosial orang yang menghadapinya. Ini adalah soal prestise. Harga diri. Dan saya, yang terlibat dalam jamuan makan di restoran tidak merasa diri lebih begengsi dari mereka yang makannya di warteg atau warung padang.

Mungkin orang seperti saya termasuk kategori "ndeso" dalam hal makan di restoran. Tapi tak apalah, namanya juga pengalaman. Sungguh, pengalaman adalah guru paling bijak untuk siapa saja yang mau berpikir. Saya jadi ingat, dalam Al Qur'an, sering sekali Yang Maha Kuasa meminta hamba-Nya untuk selalu berpikir. Sungguh, karena berpikir itulah saya mencoba untuk menemukan penjelasan tentang makan di restoran.

Jika Anda mengalami hal yang sama dengan saya, silahak baca artikel penjelasan topik ini disini.

Catatan: foto saya pinjam dari Budi Boga.

Read More......

Hardy Heron di Air Putih

Sabtu lalu, saya mengikuti Hardy Heron Release Paty di Air Putih. Ini merupakan acara peluncuran Sistem Operas Linux Ubuntu versi Terbaru, yakni 8.04, yang kodenya diberi nama Hardy Heron.

Mulanya, sekitar 2 mingu sebelum acara, Wandi dari Air Putih menginformasikan acara ini lewat chatting di Yahoo! Messenger. Dari situ lalu saya ikut menyebarkan informasi ini ke beberapa milis yang saya ikuti. Karena isi pesan Wandi tidak mencantumkan kalau harus mendaftar dulu baru bisa ikut, dan saya dengan penuh percaya diri bisa datang di hari pelaksanaan, akhirnya terkejut juga saat tanya sama Wandi sehari sebelum pelaksanaan. Loh, pake mendaftar dulu ya? Akhirnya kirim imel ke air putih, dan dibalas sama Imron "Roim" Fauzi yang memepersilahkan untuk datang esok hari. Saya mengenal Roim dan Wandi saat Pelatihan ICT di GG House, Desember 2006. Keduanya adalah aktivis Air Putih sejak berdirinya.

Sesuai dengan informasi yang di websitenya, Air Putih melaksanakan Hardy Heron Release Paty pada Sabtu, 26 April 2008. Saya sempat bolak-balik mengitari jalan di depan kantornya. Karena masih pukul 09.30 WIB sementara di jadwal acara mulai pukul 10.00 WIB, maka saya sarapa di sebuh warung di sebelah hotel Harris. Pemilik warung yang saya tanya di mana rumah Jl. Abdullah Syafei'i No.55, ternyata tidak tahu. Ini alamat baru Air Putih, yang sebelumnya saya sempat main ke sana saat masih di Blok S. Akhirnya saya menapaki trotoar ke arah Kampung Melayu. Ketemu juga. Mengisi daftar hadir dan ke ruang acara di lantai 2. Alhamdulillah acara dimulai setelah menunggu semua peserta masuk memenuhi ruangan. Ada 30-an orang yang hadir. Mulai dari pelajar SLTA, aktivis LSM, hingga pekerja di perusahaan, ikut dalam acara ini. Semuanya merasa tertarik ingin tahu dan menjajal Ubuntu versi terbaru.

Sebangku dengan saya adalah Waraqah, yang berbagi pengalaman menggunakan program TurboCASH di bagian akhir rangkaian presentasi. Waraqah bekerja di bagian keuangan Sebuah perusahaan asing di Jakarta. Saat ini buku panduan penggunaan program TurboCASH yang ditulisnya sedang dalam proses peluncuran oleh salah satu grup penerbit besar di Jakarta.

Di bagian awal ada presentasi dari M. Shalahuddien mengenai Free Open Source Software (FOSS). Lalu, Acara dilanjutkan dengan cerita mengenai Ubuntu serta Ubuntu versi terbaru, yang dilanjutkan dengan praktik instalasi yang diselingi dengan tanya jawab yang dipandu oleh Roim dan dibantu teman-teman dari Air Putih lainnya.

Saya berterima kasih sekali pada teman-teman dari Air Putih yang telah menyelenggarakan acara ini. Juga kepada semua teman yang hadir, yang sudah mau berbagi pengalaman, juga bertukar informasi. Senang bisa mengenal Anda semua.

Read More......

Hindari Kantong Plastik

Membuka situs Youtube hari ini, banyak sekali video baru yang dipajang di halaman muka. Rupanya banyak orang yang memperingati Hari Bumi--yang jatuh pada hari ini--dengan memasukkan berbagai video kampanye pentingnya menjaga kelestarian bumi. Salah satu contohnya adalah video berikut, yang mengingatkan kita semua untuk menjauhi penggunaan plastik sebagai tas belanja. Ada baiknya kita semua memperhatikan himbauan ini, mari selamatkan bumi dari plastik yang ratusan tahun baru bisa diurai oleh bumi, dan betapa berbahayanya bahan plastik bagi kehidupan.



Selamat hari bumi. Mari kita peduli.

Artikel terkait:
Pabrik kantong plastik terbesar di China
Beberapa solusi sampah plastik kita
Tas Belanja supermarket

Read More......

Ponsel yang hilang itu...

Peristiwa ini terjadi sepekan yang lalu, Jumat malam, 11 April 2008. Saya pulang dari kantor setelah hujan reda. Naik Transjakarta dengan rute Halimun - Matraman - Kp Melayu - Kp Rambutan, dan turun di halte Cawang-UKI untuk meneruskan perjalanan menuju arah Cileungsi dengan berpindah ke minibus 56.


Naik Transjakarta (lebih diakrabi masyarakat dengan nama Busway) dari halte Halimun dengan penumpang cukup ramai. Maklum, akhir pekan. Sekitar pukul 20 waktu itu. Jadi penumpangnya cukup membludak. Suasana di dalam bis seperti biasa kalau sedang ramei, tangan diatas berpegang pada gantungan karena tidak kebagian tempat duduk. Sampai di Matraman, saya transit menuju Kampung Rambutan. Antrian cukup banyak. Transjakarta yang hendak saya naiki dinyatakan cukup menerima penumpang, harus menunggu kedatangan bis berikutnya.

Saya cukup tenang menunggu bis karena posisi saya tepat di bibir pintu halte yang dengan satu langkah sudah masuk ke dalam bis angkutan massal ini. Saya sama sekali tidak menduga kalau ternyata hendak masuk ke dalam bis, ada gelombang dorongan kuat sekali dari arah belakang. Bersama penumpang lain yang mengantri sejajar dan di belakang, saya terlempar dengan keras ke dalam. Sejumlah penumpang yang akan masuk dan juga yang di dalam bis berteriak "hoi sabar dong!!!". Dalam suasana yang begitu gemuruh dan kondisi di dalam begitu padat, saya mencoba meraih gantungan di atas kepala saya untuk menjaga keseimgangan tubuh. Saya berusaha mendekat ke pintu tengah di sisi kiri bis. Kondisi padat memaksa saya untuk mengangkat tangan ke atas, di gantungan itu. Tangan yang biasanya selalu siaga di kantong kanan menjaga ponsel akhirnya lalai juga pada tugasnya.

Saya merasakan keanehan pada paha sebelah kanan, tepatnya di kantong celana saya. Saya mencoba menggerakkannya, ternyata makin terasa tidak ada apapun di dalam kantong. Bis sudah berhenti di halte Tegalan, lalu menuju Halte selanjutnya. Saya berteriak, "yang mengambil hp saya, hayo kembalikan". Saya ulangi sekali lagi. Suara saya mengagetkan penumpang yang ada. Seorang yang berdiri persis di belakang saya menawarkan diri menghubungi nomor ponsel saya. Sebuah tas sandang hitam ada dipinggang sebelah kiri dengan tali melilit dibahu sebelah kanannya. Saya menyebutkan nomor saya. Tapi 4 digit angka di belakang selalu salah, ia ketik 8252 yang mestinya ...9252. Ia ulangi sampai empat kali, selagi tangan kanan memencet-mencet ponselnya, tangan kirinya terus saja merogoh tasnya. Seorang yang membawa tas yang sejenis, dengan perawakan yang menunjukkan usia yang lebih kurang sama, ikut berbicara, dan saya curiga keduanya sengaja mengalihkan perhatian semua penumpang. Saya mencurigai mereka sebagai pelaku pencurian ini.

Saya kesal, tetapi juga khawatir karena siapapun pelakunya, tentulah mereka mengenali wajah saya. Saya mendekati petugas keamanan bis yang berdiri di pintu tengah sebelah kanan. Saya katakan padanya, "lu periksa orang yang di belakang gue tadi". Lalu ia mengontak keamanan lainnya yang ada di halter terakhir "Kampung Melayu" dengan menggunakan alat komunikasi yang ada pada sopir. Bis menuju halte Pasar Jatinegara. Seorang yang berdiri di dekat pintu, di sebelah petugas keamanan bis, mengatakan kepada saya bahwa kemungkinan besar pencurinya telah keluar di halte sebelumnya. I menyebutkan perawakan pencuri menunjukkan mereka berasal dari Ambon. Lalu penumpang lain, seorang ibu, berbaik hati meminjamkan ponselnya supaya saya bisa menghubungi nomor ponsel saya yang hilang. Saya hubungi nomor ponsel saya. Ada sedikit nada sambung, tapi kemudian mati. Saya rasakan sekilas suara dari ponsel saya di sekitar tempat saya berdiri semula. Saya katakan pada petugas keamanan bahwa ponsel saya masih ada di bis ini. Pelakunya belum keluar.

Mengenai tuduhan seorang penumpang bahwa pelakunya dari salah satu suku bangsa di daerah timur Nusantara, terus terang saya tidak menghiraukannya. Saya anti rasisme. Saya tidak ingin menuduh kelompok tertentu gemar melakukan kejahatan karena perawakan mereka atau stigma pada kelompok mereka. Siapapun, dari suku bangsa manapun, ber-agama apapun, memiliki potensi yang sama untuk melakukan kejahatan. Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang nekad melakukan kejahatan. Saya tidak ingin hilangnya ponsel saya justru memupuk atau bahkan menyemaikan rasisme pada orang lain. "Adil sejak dalam pikiran", begitu kata Pramoedya Ananta Toer. "Berprasangka buruk adalah dosa", demikian Islam mengajarkan pada pemeluknya.

Bis Transjakarta yang saya tumpangi mendekati halte terakhir, Kampung Melayu. Petugas keamanan mengingatkan kepada semua penumpang untuk bersiap diperiksa satu persatu saat keluar dari bis. Petugas keamanan banyak sekali di halte Kampung Melayu. Mereka sudah siap memeriksa. Saya diminta keluar lebih dahulu melalui pintu depan, dan menyaksikan pemeriksaan. Saya tahu semua penumpang menjadi tidak nyaman dengan pemeriksaan ini. Saya sendiri sesungguhnya sudah mengikhlaskan ponsel yang hilang itu. Kepada beberapa penumpang saya sampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan yang mereka alami.

Saat pemeriksaan, saya sendiri tidak hafal ponsel saya jenisnya apa, atau nomor serinya apa. Ketika ditanya petugas, saya hanya mengatakan bahwa ponsel saya mereknya "N" dan ada radionya. Saya tidak begitu peduli pada teknologi komunikasi ini selain hanya melihat fungsinya yang harus sesuai dengan kebutuhan saya berkomunikasi. Bahkan fasilitas radio pada ponsel saya karena sepupu saya yang memilih untuk membelinya, lalu tidak jadi, dan menukarnya dengan ponsel pilihan saya yang sederhana dan tidak berwarna pula, sementara si penjual di kios ponsel di PGC telah menerima uang pembelian. Sampai salah satu penumpang memperlihatkan ponselnya, saya baru mengetahui jenis ponsel saya. "hp saya seperti ini, tapi bukan ini" kata saya pada petugas.

Pemeriksaan selesai. Saya diajak bicara oleh seorang petugas berpakaian batik. Saya pikir ia adalah komandan petugas keamanan Transjakarta jalur ini. Ia, untuk kedua kalinya, meminjam KTP dan mencatat data pribadi serta nomor yang bisa ia gunakan untuk menghubungi saya kalau ada perkembangan kasus ini. Ia lalu menanyakan apakah saya memiliki kecurigaan pada penumpang yang ada di dekat saya. Saya jawab, ya. Saya curiga pada seorang penumpang yang berdiri persis di belakang saya, yang berpura-pura membantu melakukan panggilan ke ponsel saya namun empat digit terakhir selalu salah meski saya dan beberapa penumpang di sekitar saya mengulangi bahwa nomor yang ia ketikkan di ponselnya keliru. Saya pun menyadari, ternyata orang itu tidak terlihat saat pemeriksaan. Aneh sekali, saya baru menyadari ia tak nampak di antrian pemeriksaan. Saya ingat betul kalau ia tidak turun di halte Jatinegara, halte terakhir sebelum pemeriksaan.

Petugas berbaju batik itu mengingatkan, kalau ada orang yang dicurigai seharusnya saya beritahukan pada petugas. Saya jawab bahwa pelakunya tidak mungkin sendirian, ia pasti memiliki teman, dan tentunya mereka sudah mengenali wajah saya. Tentunya mereka akan mencari saya di hari-hari selanjutnya untuk melampiaskan rasa sakit hati karena tidak berhasil mencuri. Lain hal lagi, kalau seandainya orang yang saya curigai sampai diinterogasi sendirian, sementara ponsel saya tidak terdapat di tubuhnya atau bagian dari barang-barang bawaannya, bukan tidak mungkin ia sakit hati, merasa dipermalukan, dan bahkan menjadi dendam pada saya. Terus terang saya tidak ingin peristiwa ini berbuntut pada kekerasan pada diri saya di lain waktu. Petugas hanya mengatakan bahwa keamanan selama masih di jalur busway adalah tanggung jawab mereka.

Saya tanyakan apakah ponsel saya ada di lantai atau tidak, sambil melirik ke bibir halte dan berpikir bukan tidak mungkin ponsel saya dijatuhkan ke sana. "Tidak ada, petugas sudah memeriksa hingga ke bawah kursi penumpang". Lalu saya menyudahi percakapan dengan petugas yang baik itu. Saya sampaikan rasa terima kasih atas kesigapan petugas memeriksa semua penumpang. Setelah menjabat tangannya, saya pamit untuk mengantri Transjakarta jurusan Kampung Melayu - Kampung Rambutan untuk pulang. Pemeriksaan itu berlangsung sekitar 20 menit.

Kepada semua penumpang yang tidak bersalah namun ikut repot karena peristiwa ini, secara pribadi saya mohon maaf. Termasuk pada salah satu penumpang yang saya yakin merasa tidak nyaman ketika tasnya harus dibuka dan mengeluarkan buah-buahan yang dibeli di perjalanan untuk di bawa pulang. Saya juga suka belanja buah di pinggir jalan untuk anak dan istri di rumah kok mas. Maaf ya jadi repot begini.

Untuk semua penumpang Transjakarta, selalu berhati-hati ya. Dompet, ponsel dan barang berharga masukin ke dalam tas aja. Tasnya didekap di dada kayak ransel saya, taruh di depan. Untuk penumpang perempuan, hindari menyandang tas yang tidak ada restleting atau tanpa penutup yang rapat, juga taruh di dekapan. Semoga Anda tidak mengalami peristiwa yang seperti yang menimpa saya.

Catatan:
Foto pinjam dari ibu Lily

Read More......