Oktober lalu, seorang teman aktivis perempuan yang mendampingi petani di pedesaan Yogyakarta dan Jawa Tengah bercerita kalau ada perempuan yang tidak dapat mengakses secara penuh bantuan pertanian dari Pemerintah. Petani pedesaan di sana mengalami diskriminasi karena mereka adalah janda.

Bantuan pertanian berupa pupuk dari pemerintah pusat (Kementerian Pertanian) turun hingga ke masyarakat melalui pemerintah desa. Dalam hal pembangunan pertanian di desa, masyarakat membuat kelompok tani-kelompok tani untuk mendapatkan bantuan. Di dalam kelompok petani, setiap keluarga hanya diwakili oleh satu orang kepala keluarga. Di beberapa desa, perempuan janda yang menjadi pencari nafkah untuk keluarganya tidak dapat dianggap sebagai kepala keluarga. Masyarakat masih menilai bahwa yang boleh menjadi kepala keluarga hanyalah seorang lelaki, seorang suami sekaligus ayah dalam keluarganya. Ini menjadi masalah krusial bagi keluarga yang tidak memiliki suami atau ayah.


Menurut informasi yang disampaikan oleh Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), sebuah NGO yang mendampingi dan memberdayakan perempuan kepala keluarga, ada sekitar 13 - 17 persen rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan (Pekka, 2009). Mereka yang terhitung sebagai perempuan kepala keluarga adalah perempuan yang ditinggal cerai, suaminya sakit hingga tak bisa mencari nafkah, janda ditinggal meninggal, perempuan lajang namun pencari nafkah untuk keluarganya, serta perempuan yang ditinggal suaminya untuk merantau atau hal lain namun lama tak jelas keberadaannya.

Ketika menghadapi kondisi di atas, seorang perempuan mau tak mau harus berjuang menghidupi keluarganya. Mereka bekerja sebagai pencari nafkah untuk kelangsungan hidup diri dan anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya. Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 masih menilai kepala keluarga adalah laki-laki. Budaya masyarakat di Indonesia yang masih bias patriarkhi juga mengabaikan entitas perempuan yang mengambil alih fungsi seorang laki-laki (kepala keluarga) untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarganya. Akibatnya, perempuan kepala keluarga seringkali mendapatkan diskriminasi dan kekerasan dalam keluarga bahkan di dalam masyarakatnya. Tidak diperhitungkan keberadaannya dalam kelompok tani seperti terjadi di salah satu desa di Yogyakarta adalah contohnya.

Di tempat tinggal saya, di pinggiran Jakarta, gang tempat kami tinggal dikenal sebagai gang janda. Sebabnya, dibandingkan dengan gang-gang lain di komplek perumahan ini, gang kami memiliki paling banyak janda (ditinggal mati suami). Mereka harus mencari nafkah untuk biaya sekolah anak-anaknya antara lain dengan berjualan atau membuka warung nasi kecil-kecilan di pagi hari. Pada satu rapat rukun tetangga (RT) tahun lalu, keputusan rapat yang dihadiri oleh kepala keluarga menyatakan kalau perempuan tidak boleh ikut mewakili keluarganya dalam rapat rutin RT setiap bulannya. Padahal, rapat RT seringkali membuat keputusan-keputusan yang menyangkut semua warga. Dengan demikian, jika keluarga janda ini tidak ada yang mewakili dalam rapat, berarti mereka harus menerima begitu saja semua keputusan rapat RT, dan  mereka pun wajib menjalankan keputusan-keputusannya. Terlihat jelas kalau perempuan janda tidak diakui sebagai kepala keluarga serta suaranya tidak dihargai. Padahal, tempat tinggal kami masih terhitung daerah perkotaan.

Tujuan pembangunan milenium yang dirumuskan oleh pemimpin-pemimpin dunia dan diupayakan untuk tercapa pada tahun 2015, pada tujuan pertama memuat "pengentasan kemiskinan dan kelaparan ekstrem" (Eradicate extreme poverty and hunger). Pada tujuan ketiganya disebutkan "mendukung kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan" (Promote gender equality and empower women). Kasus sulitnya perempuan kepala rumah tangga mengakses bantuan pertanian di pedesaan menunjukan dengan jelas rentannya perempuan pada kemiskinan. Sangat mungkin mereka akan menjadi petani miskin karena kebijakan pemerintah di sektor pertanian sendiri selama ini sudah membuat bertani bukan pekerjaan yang membuat sejahtera. Impor beras saat petani di dalam negeri sedang panen dan harga pupuk membubung tinggi saat musim bercocok tanam merupakan dua dari sekian kebijakan pertanian yang memiskinkan. Di tambah lagi, saat adanya program bantuan  untuk para petani, ternyata perempuan tidak dapat mengaksesnya dengan baik karena mereka tidak diakui sebagai kepala keluarga. Sementara, perempuan di wilayah kota (urban) tidak memiliki suara dalam pertemuan di lingkungan mereka. Kondisi ini jelas menunjukan ketimpangan relasi gender yang masih melekat dalam nilai-nilai sosial di masyarakat.

Delapan tujuan pembangunan millenium yang disepakati dan dirumuskan pada Millennium Summit tahun 2000 agaknya akan sulit dicapai Indonesia pada 2015 nanti jika pemerintah masih belum berhasil membuat kebijakan yang baik. Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 perlu direvisi untuk memungkinkan pengakuan perempuan sebagai kepala keluarga. Demikian pula dengan pendidikan bagi masyarakat luas (baik formal dan informal) serta upaya-upaya menyadarkan masyarakat tentang kesetaraan lelaki dan perempuan mutlak harus dilakukan oleh pemerintah selain yang sudah dilakukan oleh NGO perempuan. Kemiskinan di negeri ini lebih banyak dialami dan diderita kaum perempuan, dari pedesaan hingga perkotaan. Menghargai perempuan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah serta menghormati kesetaraan perempuan dan laki-laki hanyalah sebagian kecil upaya untuk mengentaskan kemiskinan sebagaimana menjadi tujuan dari pembangunan millenium.

Read More......