Acara pesta blogger 2007, ajang berkumpul blogger Indonesia berlangsung juga kemarin. Saya salah satu pesertanya. Sejak mula saya sudah berharap dapat teman baru, jumpa blogger-blogger yang selama ini hanya bisa membaca tulisan-tulisan mereka, serta berbagi pengalaman. Semuanya jadi kenyataan.



Usai melakukan registrasi ulang di meja panitia, saya berkenalan dengan Dhan, blogger yang juga nge-blog di blogspot seperti saya. Ia bekerja di bagian IT Telkomsel dan berkantor di daerah Kuningan. Sejak sesi pertama hingga selesai, teman baru asal Malang ini dengan senang hati menyertai saya sepanjang acara. Tidak seperti blogger lain yang datang bersama dengan teman-teman dari satu komunitas blog atau blogger yang telah terlebih dahulu membuat janji ketemu di acara ini, saya dan Dhan adalah bagian dari blogger yang datang sendiri, hanya berbekal keyakinan bakal mendapat teman ngobrol setelah berada di tempat acara.


Saat menunggu acara dimulai, saya juga sempat berkenalan dengan Agung Firdaus dan beberapa lainnya. Begitu juga saat makan siang, saya dan Dhana makan bersama dengan Sukri Sulaiman dan Nawir dari Komunitas Blogger Makassar "Angingmammiri", juga dengan Abdul Kadir dari Bandung dan seorang wartawan majalah Trust yang sedang meliput acara. Perkenalan dengan mereka, juga beberapa lainnya yang saya lupa nama-namanya, berawal dari senyum dan sapa ramah sesama blogger Indonesia. Sungguh keramahan semacam ini yang saya rindukan dan jarang saya dapatkan setelah 3 tahun tinggal di Jakarta ini. Identitas sebagai blogger ternyata menumbuhkan rasa kebersamaan dan melahirkan sikap hangat pada siapa saja yang ditemui.

Saya bertemu dengan Andreas Harsono, seorang jurnalis yang sampai saat ini masih memimpin Pantau, dulu merupakan majalah Jurnalisme Sastrawi yang luar biasa bagus isinya. Saya menyukai tulisan-tulisan Andreas. Blog Andreas adalah salah satu blog yang sering saya kunjungi, bahkan mendapatkan penghargaan dari Maverick, sebuah perusahaan public relations di Jakarta, sebagai blogger-wartawan pilihan mereka tahun 2007. Andreas mengajukan satu pertanyaan bagus: Hal apa yang belum sempat terpikirkan para blogger yang hadir di pertemuan ini, yang akan menyadarkan mereka bahwa sesungguhnya kebebasan nge-blog bukanlah berarti bebas sebebasnya dalam berekspresi?

Saat acara diskusi penutup, saya melihat Satrio Arismunandar di layar besar karena tersorot kamera panitia. Sebenarnya saya ingin berkenalan dan ngobrol langsung dengannya. Dia adalah anggota yang aktif di milis Jurnalisme yang juga saya ikuti.

Usai makan siang, ada diskusi kelompok sesuai dengan kategori yang dibuat oleh panitia. Diskusi ini terbagai dalam Women's Issues, Blog Teknologi, Blog Personal, Blog Selebiti, Current Issues, dan Bridge Blogging. Setiap peserta bergabung pada kelompok diskusi yang mereka minati.

Saya bergabung dalam kelompok yang mendiskusikan blog personal. Blog yang saya miliki saya nilai sebagai blog pribadi yang berisi tulisan-tulisan mengenai hal-hal yang sedang melintas dalam pikiran saya. Pandangan saya ini ternyata sama dengan beberapa teman yang memutuskan untuk bergabung dalam kelompok diskusi ini. Pengalaman beberapa peserta begitu menarik untuk saya.

Anjar Priandoyo, salah satu pemandu diskusi kelompok bercerita tentang tulisanya yang bersifat pribadi namun ada yang sempat membuat heboh teman-teman sekerjanya. Pasalnya, Priandoyo yang seorang auditor ini bercerita tentang istrinya yang mengalami keguguran kandungan. Saat diskusi, istrinya juga hadir dalam kondisi hamil setelah keguguran itu. Semoga kandungan kali ini sehat dan buah hati mereka lahir dalam kondisi sehat.

Pemandu diskusi lainnya, Nila Tanzil. Ia bercerita bagaimana tulisan di blognya membuat berang Pemerintah Malaysia, hanya karena kritiknya pada kinerja lembaga di negeri tetangga itu dinilai membuat buruk wajah negara tetangga itu. Majalah the Star, salah satu leading media di sana memuat kritik Nila hingga ia kemudian dipecat dari status presenter salah satu stasiun TV di sana. Tak hanya itu, Menteri Pariwisata Malaysia mengatakan kebanyakan blogger adalah pembohong, dan blogger perempuan adalah mereka yang tidak bekerja. Nila mendapat banyak dukungan moril dari blogger-blogger Indonesia, bahkan dari Malaysia sendiri. Ia merasakan betul bagaimana dukungan itu begitu menguatkannya dan membuatnya merasa tidak perlu takut untuk menyuarakan kritik, asalkan itu merupakan kebenaran faktual. Tulisan-tulisannya di blog dilirik dan dinilai menarik oleh salah media luar negeri hingga ia mendapatkan pekerjaan baru sebagai kontributor media tersebut.

Dari Batam ada Meity. Kantor tempat ia bekerja mendapatkan pengalaman buruk dengan layanan Telkom. Keluhan-keluhan sudah ia sampaikan namun tidak mendapat tanggapan yang baik dari Telkom. Karena kesal, ia pun menulis di blognya. Di tulisan itu ia menceritakan pengalaman buruk dengan pelayanan Telkom. Dampaknya, Telkom lalu merespon dengan menindaklanjuti apa yang menjadi keluhan Meity. Di lain waktu, ketika ia menelepon ke Telkom dan pegawainya mengetahui itu Meity, makan respon yang diberikan begitu cepatnya. Tulisan Meity yang lain, berupa banyaknya jalan raya yang berlubang yang tidak juga diperbaiki juga ditanggapi oleh Pemerintah Daerah setempat. Hanya dalam hitungan hari, jalanan yang rusak diperbaiki.

Amril bercerita mengenai isi blognya menjadi sinetron dan buku. Tak hanya itu, tulisan mengenai pengalaman 13 tahun pernikahannya belum juga dikaruniai anak telah mendamaikan orang yang akan bercerai. Salah satu pembaca blognya membaca kisah Amril yang baru mendapatkan anak setelah 13 tahun. Si pembaca memberikan tulisan itu kepada saudaranya yang putus asa setelah 8 tahun usia pernikahan, mereka tidak kunjung dikarunia anak. Mereka akhirnya menyadari bahwa perihal satu ini adalah urusan Sang Maha Kuasa.

Kisoratun mengelola blog Peduli. Blog ini merupakan media yang dipakai untuk menumbuhkan kepedulian pembacanya pada korban musibah seperti gempa dan tsunami. Melalui media blog ini, berhasil terkumpul dana tidak kurang dari 1 Milyar. Ia senang bisa menyalurkan dana tersebut untuk mereka yang membutuhkan.

Sama dengan Amril, tulisan-tulisan Ira Lathief menarik penerbit dari Yogyakarta untuk menjadikannya sebuah buku. Ira pernah bekerja sebagai wartawan untuk acara infotainment.

Rovicky, yang mengkhususkan blognya untuk topik geologi serta kalau tidak salah ingat ia bekerja di Malaysia. Ia mengingatkan teman-teman blogger lainnya untuk memfokuskan isi blog, serta melengkapi tulisan dengan data-data yang akurat. Tulisan yang fokus pada topik tertentu menarik pembaca yang menyukai atau mencari informasi mengenai topik tersebut. Data-data diperlukan untuk menunjukkan apa yang ditulis merupakan fakta yang jelas-jelas ada dan seperti yang ditulis oleh Meity, hal tersebut bisa ditindaklanjuti oleh lembaga terkait.

Berkaitan dengan fokus isi blog, Ira dari Komunitas Blogger "Angingmammiri" Makassar bercerita tentang kesenangan travelling yang ia lakukan dan ia tulis di blog. Karena tulisan-tulisannya itu, ia pernah dikontak oleh pembaca blognya dan dimita untuk menjadi pemandu traveller yang ingin mengunjungi daerah atau negara tertentu.

Budi Putra dalam diskusi pembuka yang dipandu pemilik blog Perspektif Baru, Wimar Witoelar, mengatakan yang harus betul-betul diperhatikan pada blog adalah isinya (contents). Meski tampilan dibuat semenarik mungkin, namun tetaplah pembaca blog menginginkan membaca isi blognya. Kalau isinya menarik maka pembaca akan selalu mengunjungi blog tersebut.

Dari diskusi kelompok mengenai blog pribadi, ternyata suara-suara yang termuat di blog-blog itu tidak bisa dianggap remeh. Kritik atau masukan belum tentu dimuat di media massa konvensional. Di blog dan melalui blog, kritik itu bisa sangat berpengaruh dan menjadi didengarkan. Di masa mendatang, blog pastilah akan menjadi kontrol sosial yang tidak bisa dianggap remeh. Di situlah ada suara masyarakat, yang mau tidak mau memang harus didengar meski dari sebuah weblog.

Saat memberikan sambutan pada sesi pembukaan, Menkominfo, Mohammad Nuh, resmi mengumumkan tanggal berlangsungnya acara bertajuk "Suara Baru Indonesia" ini dijadikan sabagai Hari Blogger Nasional. Jadi, 27 Oktober 2007 adalah hari blogger Indonesia.

Read More......

Te'iak

Masyarakat Kaur Tengah dan Kaur Selatan hampir 100 persennya beragama Islam. Orang-orang berpuasa di bulan suci Ramadhan sebagai pemenuhan rukun Islam yang ke-tiga. Pada bulan ini, ada satu tradisi yang berlangsung sejak nenek moyang orang Kaur menganut Islam. Namanya "Te'iak".

Dalam kosa kata bahasa Kaur bagian Tengah dan Selatan tidak terdapat pengucapan huruf "R" sebagaimana orang Batak yang bisa mengucapkan dengan jelas. Yanga ada adalah huruf 'ain dalam bahasa Arab, yakni huruf ke 18 dalam susunan huruf Hijaiyah. Jadi kata Te'iak tidaklah dilafazkan "Teriak" seperti dalam bahasa Indonesia. Meski secara harfiah keduanya memiliki arti yang sama, namun "te'iak" merupakan satu kata untuk menyebut tradisi yang hanya berlangsung di bulan puasa.

Te'iak adalah tradisi membangunkan orang-orang di dusun, yang bertujuan (semacam) meminta penduduk untuk segera bangun dan memasak keperluan makan sahur. Te'iak ini berlangsung dari pukul 02.00 - 03.00 WIB. Dengan memasak pada waktu-waktu itu, maka ketika masakan itu matang, seluruh penghuni rumah yang akan berpuasa bisa menikmatai makanan yang masih dalam kondisi hangat dan enak untuk dinikmati. Itulah kenapa membangunkan masyarakat harus di waktu-waktu itu. Perhitungan memasak makanan hingga menjadi matang sekitar satu jam, sehingga saat bersantap sahur tepat di akhir waktu atau sebelum imsyak (batas untuk menyelesaikan sahur, kira-kira 10 menit sebelum Azdan Subuh). Dalam ajaran Islam, sahur dianjurkan berlangsung menjelang atau mendekati subuh.

Te'iak dilakukan oleh pemuda-pemuda di dusun, yang semuanya belum beristri atau berkeluarga. Para pemuda tidak boleh tidur di rumah orang tua mereka pada bulan Ramadhan, tetapi berkumpul dan tidur di Masjid atau Surau (musholla). Sekitar pukul 02.00 WIB mereka bangun untuk mempersiapkan prosesi Te'iak. Sebenarnya, peralatan yang digunakan adalah gendang (seperti rebana namun dengan ukuran yang lebih besar), yang terdiri gendang yang besar dengan diameter sekitar setengah meter dan rebana kecil dengan diameter sekitar 25 cm. Rebana inilah yang ditabuh dengan irama tertentu yang diiringi oleh Hadra (semacam barzanji), yakni puji-pujian yang menagungkan Sang Maha Kuasa serta Shalawatan kepada baginda Rasullullah SAW. Kira-kira tahun 1980-an awal, peralatan ditambah dengan pelatan yang juga menghasilkan bebunyian seperti kelintang (semacam bonang pada peralatan gamelan Jawa) baik yang bentuknya batangan maupun bulat (seperti gong tapi ukuran yang kecil), serta kentungan dan besi.

Ada tiga tahapan Te'iak yakni melantunkan Hadra, lalu dilanjutkan dengan Nu'un Lagu atau beralih lagu dan diakhiri dengan dengan pantun yang balas berbalas, yang semuanya diiringi oleh gendang dan peralatan lainnya dengan irama tertentu yang khas. Dimulai dari Masjid atau surau, lalu rombongan Te'iak berjalan beriringan ke satu ujung dusun ke ujung dusun yang lain dengan tujuan membangunkan penduduk. Irama Te'iak melantun ke seluruh dusun yang dilalui. setelah sekitar satu jam membangunkan penduduk, maka rombongan Te'iak akan kembali lagi ke masjid atau surau.

Te'iak ini hanya berlangsung sampai pukul 03.00 WIB, tidak boleh melebihi waktu itu. Jika ada Te'iak yang melampaui waktu itu, maka penduduk akan menjadi marah, sebab para pemuda yang Te'iak berarti terlambat membangunkan orang-orang untuk menyiapkan santapan makan sahur.

Saat ini, Te'iak masih berlangsung. Namun, jumlah pemuda yang melaksakannya mulai berkurang. Banyak pemuda sudah merantau mencari nafkah di luar kaur sehingga yang tersisa hanya sedikit. Supaya tetap berlangsung dengan baik, anak-anak yang masih duduk di bangku SLTA dilibatkan dalam melakukan Te'iak. Ketika keliling dusun, masih ada tambahan anak-anak yang keluar dari rumahnya untuk mengikuti rombongan Te'iak yang saat itu sedang melewati rumahnya. Biasanya anak-anak ini adalah anak-anak yang sejak kecil jarang melihat Te'iak karena kebetulan orang tua mereka sendiri merantau bersama keluarga di luar Kaur, dan mudik ke Kaur menjelang hari raya Idul Fitri.

Kaur Selatan dan Kaur Utara terletak di daerah yang dekat dengan laut. Adat istiadat atau praktik budaya serta bahasa daerah adalah sama. Kalau pun ada perbedaan dari segi bahasa, hanya terletak dalam pengucapan suku kata untuk beberapa kosa kata saja. Kaur Tengah memiliki pusat pemerintahan kecamatan yang terletak di Tanjung Iman, serta Kaur Selatan sendiri berpusat di Bintuhan. Biasanya, orang Kaur Tengah dan Kaur Selatan mengenalkan diri kepada orang luar sebagai orang Bintuhan. Mungkin karena pusat aktifitas ekonomi dan pemerintahan sejak zaman dulu memang terletak di sana, sehingga nama Bintuhan lebih dikenal oleh khalayak di luar Kaur. Kedua Kecamatan ini memiliki perbedaan bahasa daerah dengan masyarakat yang berada di Kecamatan Kaur Utara, yang lebih dikenal dengan Padang Guci. Kaur Tengah, Kaur Selatan dan Kaur Utara sebelumnya adalah bagian dari Kabupaten Bengkulu Selatan. Sejak tahun 2005 lalu, Ketiga Kecamatan itu bergabung menjadi satu kabupaten dengan nama Kabupaten Kaur. Dari Ibukota Propinsi Bengkulu jaraknya hampir 200 kilometer ke arah selatan. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Provinsi Lampung di sebelah Selatannya.

Te'iak adalah salah satu tradisi yang ada di daerah Kaur Tengah dan Kaur Selatan yang perlu dilestarikan. Ia adalah kekayaan budaya masyarakat yang bisa jadi akan punah, sebagaimana generasi-generasi terdahulu menyesali anak keturunannya yang sudah tidak lagi bisa berbahasa daerah seperti mereka. Gempuran budaya luar yang masuk melalui proses globalisasi merupakan ancaman yang harus diwaspadai, sebab proses penghilangan budaya itu berlangsung secara perlahan-lahan, seperti proses evolusi yang alamiah saja.

Read More......

Koran Tempo hari ini, Minggu, 30 September 2007, memberitakan mengenai 2 jenazah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Perempuan tiba di bandara Soekarno Hatta pada Sabtu kemarin. Mereka berdua adalah Susmiyati dan Siti Tarwiyah, korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh majikan mereka di Arab Saudi. Foto kedatangan dua peti jenazah itu menghiasi halaman depan salah satu koran nasional tersebut.

Duka yang teramat dalam bagi bangsa Indonesia. Akhir-akhir ini begitu banyak TKI (mayoritas adalah perempuan) yang pulang dalam kondisi mengenaskan, dari luka-luka hingga kehilangan nyawa. Beberapa waktu lalu, yang cukup menghebohkan adalah kondisi Ceriyati, yang mendapat siksaan dari majikannya di negara jiran Malaysia. TKI sendiri kebanyakan bekerja di Timur Tengah (terutama Arab Saudi), Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Korea.

Miris rasanya, saudara sebangsa pergi jauh-jauh menjadi pekerja, di sektor domestik yang jelas-jelas minim jaminan perlindungan di negara-negara tempat bekerja, sering pulang ke tanah air mengalami kondisi telah teraniaya. Jauh-jauh menggapai mimpi di negeri orang, sebab di negeri sendiri untuk bermimpi tentang masa depan nyaris tidak memungkinkan lagi. Berasal dari desa-desa miskin yang tidak mendapat perhatian di tengah gegap gempita pembangunan kota-kota. Sungguh tidak adil kehidupan masyarakat yang ada di tanah air Indonesia.

Pada tulisan ini saya membidik sisi lain dari persoalan kondisi yang dihadapi oleh TKI yang tersiksa. Beberapa teman saya yang pekerja kemanusiaan, serta mereka yang mengunyah begitu saja pemberitaan media massa, sepertinya lupa akan masalah yang sejatinya perlu mendapat perhatian yang lebih, yakni ketidakmampuan Pemerintah Indonesia untuk melindungi Warganya. Jangankan di Negeri orang, di negeri sendiri, kalau tidak memiliki uang yang banyak atau bukan dari kalangan Pejabat maka jangan harap akan mendapat layanan perlindungan yang memuaskan dari semua lembaga pemerintah. Inilah yang saya lihat pada persoalan TKI. Bukan berarti kelalaian Pemerintah Negara tempat bekerja TKI yang juga tidak memberikan perlindungan yang cukup harus diabaikan dari perhatian.

Kecenderungan untuk terus menyalahkan negara tempat bekerja, baik Pemerintah di sana, maupun majikan yang mempekerjakan orang Indonesia, justru membuat Pemerintah merasa lepas dari tanggung jawabnya pada warga negara. Kecenderungan media memfokuskan pemberitaan pada pelaku kekerasan, yakni majikan, serta Pemerintah negara dimana TKI bekerja, jangan-jangan merupakan suatu hal yang disengaja. Jangan-jangan merupakan satu strategi yang dijalankan Pemerintah Indonesia, dan juga media massa yang dipesan oleh Pemerintah, untuk mengarahkan opini masyarakat. Tujuannya, sekali lagi, untuk melepaskan tuntutan pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia karena abai pada keselamatan warganya di negeri orang.

Tulisan menarik dengan judul "Politik Maaf" ditulis oleh budayawan Radhar Panca Dahana di Koran Tempo, Jumat, 7 September 2007. Dahana menulis bagaimana reaksi Pemerintah Indonesia yang tidak mau meminta Pemerintah Malaysia untuk meminta maaf atas insiden penganiayaan terhadap Donald Pieter Luther Colopita, ketua delegasi wasit Karate dari delegasi Indonesia (Koran Tempo, 29 Agustus 2007). Di media, tak kurang dari Anggota DPR, Menteri Pemuda dan Olahraga, bahkan tokoh-tokoh nasional meminta Pemerintah Malaysia meminta maaf kepada indonesia. Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Presiden Yudhoyono hanya mengatakan:

Saya tidak bisa memaksa Pemerintah atau polisi Malaysia untuk minta maaf dalam hal seperti ini. Tapi waktu terjadi bencana asap tahun lalu, dengan jiwa besar saat itu saya minta maaf.


sungguh pernyataan Pemerintah negara besar yang berjiwa kerdil. Dilecehkan oleh negara tetangga kok rela.

Perhatian yang cukup besar yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia (setelah mendapat tekanan dari masyarakat) pada masalah penganiayaan Colopita menyebabkan aktivis pembela HAM dan organisasi Perempuan yang lama menangani isu buruh migran (TKI), Solidaritas Perempuan, melayangkan surat terbuka untuk Pemerintah. Solidaritas Perempuan yang memiliki banyak jaringan yang tersebar di seluruh Indonesia menyayangkan perhatian yang tidak imbang dari Pemerintah antara penganiayaan Colopita dan kasus-kasus penganiayaan TKI yang selama ini terjadi. Apakah karena Colopita bukan seorang perempuan dan bukan TKI yang bekerja di sektor domestik seperti kebanyakan TKI Indonesia?

Saya sepakat dengan protes Solidaritas Perempuan yang membidik masalah dari sisi kemanusiaan. Toh Colopita dan TKI seperti Ceriyati atau Susmiyati dan Siti Tarwiyah adalah manusia yang kemanusiaan mereka telah diinjak-injak. Hanya saja bedanya, karena jenis kelamin dan status pekerjaan. Status pekerjaan TKI yang kebanyakan perempuan adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bahkan di dalam negeri sendiri masih dinilai rendah oleh masyarakat. Lalu, di negara-negara tempat bekerja macam Arab Saudi, kebanyakan TKI laki-laki ditakuti oleh majikannya sendiri. Bisa jadi karena TKI laki-laki dinilai lebih kuat secara fisik sehingga bisa melawan ketika mendapat penganiayaan. Dan karena dinilai lemah dan tidak akan melawan itulah, maka permintaan akan TKI lebih banyak perempuan daripada laki-laki, selain tentu saja, pekerjaan domestik yang distereotipkan sebagai semata pekerjaan perempuan.

Pemberitaan yang begitu menekankan pada subjek Pemerintah dan majikan di negara tempat bekerja juga telah menyebabkan sesat pikir yang melahirkan rasialisme pikiran dan sikap rasis di masyarakat Indonesia. Sungguh sayang, sikap rasis yang bertentangan dengan kemanusiaan dan HAM itu justru tumbuh dan berkembang. Mulanya karena pulau Sipadan dan Ligitan yang resmi disahkan sebagai milik Malaysia oleh hukum internasional. Padahal sesungguhnya ketidakbecusan Pemerintah Indonesia dalam mengurusi wilayah kedaulatan tanah air, serta kelemahan negosiasi pemerintah yang merupakan faktor dominan yang menyebabkan kedua pulau itu lepas menjadi milik negara tetangga. Lalu berlanjut ke masalah penganiayaan majikan Ceriyati, yang warga negara Malaysia. Ceriyati adalah korban kesekian penyiksaan oleh majikan-majikan TKI yang ada di Malaysia. Lalu lahir rasa benci pada bangsa Malaysia. Ada romantisme semangat Dwikora masa Soekarno tahun 60-an, dimana saat itu ada usaha untuk mengganyang Malaysia. Sekali lagi, sungguh jauh dari inti persoalan sesungguhnya: ketidakberesan Pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsi melindungi warga dan wilayah negara.

Rasisme yang tumbuh di masyarakat belakangan ini tidak akan pernah menyebabkan harga diri bangsa menjadi terangkat di mata dunia. Bangsa yang rasis tidak akan pernah menjadi besar dan disegani karena memendam kebencian pada bangsa lain.

Bulan lalu, di sebuah hotel bintang lima di pusat perkantoran Jakarta, saya mengikuti sebuah workshop. Di sana, salah seorang peserta yang pejuang HAM Perempuan melontarkan pernyataan yang luar mengagetkan. "Ternyata di hotel ini aku menemui banyak orang dengan wajah Arab yang menginap. Aku pikir cuma di hotel ***** saja." Teman saya ini mengatakan, merasa jijik melihat wajah-wajah Arab. Yang terbayang di kepalanya, orang-orang Arab yang banyak melakukan kawin kontrak seperti terjadi di daerah Puncak. Mereka hanya memperbudak perempuan Indonesia untuk memenuhi nafsu birahinya.

Sungguh saya terkejut mendengar pernyataan rasis teman saya itu. Lalu pertanyaan saya ajukan, ketika melihat orang Arab kamu berpikir demikian. Lalu ketika melihat wajah-wajah orang Barat (bule) lalu kita merasa mereka adalah bangsa yang begitu mulia, begitu beradab. Tapi siapakah orang-orang yang gemar melakukan sodomi pada anak-anak di Bali, yang melampiaskan birahinya pada perempuan-perempuan Indonesia dan menyebarluaskan penyakit HIV/AIDS di tanah air? Tidak pernah kita berpikir negatif pada mereka yang berkulit terang dan berambut pirang. Sungguh tidak adil pikiran kita. Bahkan ini ada pada pikiran para aktivis dan pekerja HAM. Ketika ada wajah Arab, bahasa Arab, atau tulisan Arab, maka semuanya adalah pelanggaran HAM, harus dihapuskan. Namun, cuap-cuap berbahasa Inggris sembari melupakan kosakata bahasa Indonesia, membaca pemikiran ilmuan Barat, didikte oleh pemerintah Barat tentang cara hidup kita, serta kekayaan alam yang dikuras habis oleh bangsa Barat justru dianggap sebagai rahmat dan nikmat yang harus disyukuri. What a stupid thought.

Cara berpikir menganggap Barat serba terbaik sembari merendahkan bangsa lain bahkan bangsa sendiri tidak lebih dari penyakit inferiority complex yang sudah akut pada diri bangsa ini. Dan ini lebih mewujud di kalangan aktivis-aktivis HAM belakangan ini. Sungguh menyedihkan, kepicikan berpikir itu hadir dalam diri mereka yang mengenyam pendidikan tinggi, dan dengan semangat berkobar-kobar mengusung Demokratisasi dan HAM di tanah air. Lupa bahwa karena ulah mereka pula banyak kearifan lokal yang hilang karena proyek demokratisasi dan HAM itu. Seorang teman dari Makassar bercerita pada saya, sejak Ornop (jangan baca: LSM) membuat program yang melibatkan masyarakat lokal, dan memberikan 'amplop' pada warga setempat karena keterlibatan dalam program 'pemberdayaan' itu, masyarakat setempat menjadi malas untuk memajukan daerahnya kalau tidak ada 'amplopnya'.

Saya selalu berusaha mengenang jasa-jasa pahlawan devisa seperti Susmiyati dan Siti Tarwiyah yang jeazahnya tiba kemarin di tanah air. Mereka ini, juga TKI-TKI lain yang tersebar di berbagai negara, membutuhkan perhatian dari Pemerintah. Sistem perlindungan yang memadai menjadi kebutuhan sejak lama. Namun sejak lama pula kebutuhan itu tidak dipenuhi oleh Pemerintah. Alih-alih memenuhi, justru politik mengalihkan isu melalui media menjadi upaya melestarikan 'budaya lupa' yang idap bangsanya. Padahal, sungguh hal demikian tidak akan pernah meninggikan harga diri bangsa selagi Pemerintah tidak mau menghargai bangsanya sendiri.

Setiap tahun lebih dari 300 ribu orang TKI yang berangkat ke luar negeri untuk bekerja. Tidak kurang dari tujuh puluh persennya adalah perempuan, yang sebagian besar bekerja di dalam rumah tangga. Nyaris tidak ada jaminan perlindungan bagi keselamatan mereka karena bekerja di wilayah domestik. Tapi begitulah cara mereka memperbaiki nasib. Di tanah Indonesia, yang dulu merupakan negara agraris, sekarang tidak lagi memberikan harapan pada warganya. Pemerintah membuat kebijakan yang tidak peduli pada sektor pertanian, juga pada masyarakat desa. Pejuang Demokrasi dan HAM juga tak tahu upaya jitu memperbaiki nasib negeri ini selain berceramah sana sini dan memuliakan bangsa-bangsa kampiun demokrasi. Padahal bangsa-bangsa yang memaksakan penerapan demokrasi itu pula yang berperan besar dalam proyek pemiskinan dan pengerukan kekayaan alam Indonesia. Dari pada miskin di negeri sendiri, lebih baik berjuang di negeri orang. Sungguh perjuangan berat saudara-saudaraku...

Read More......