Empat tahun belakangan aku mulai belajar lebih jauh beberapa aplikasi komputer, mulai dari program perkantoran bikinan perusahaan Bill Gates hingga OpenOffice.org keluaran Sun Microsystem bersama komunitas pengembangnya. Aku juga belajar PageMaker dan Photoshop bikinan Adobe. Ada juga CorelDraw. Tiga aplikasi terakhir aku pelajari sejak tahun 2001, saat aku bergabung di sebuah lembaga pemberdayaan remaja di bawah payung organisasi Muhammadiyah. Di lembaga ini aku sempat membuat majalah dan buletin remaja sehingga mau tidak mau harus belajar aplikasi untuk desain grafis dan layout itu.

Saat jadi mahasiswa 10 tahun lalu, tahun pertama aku masih menggunakan mesin ketik manual untuk mengerjakan paper. Pertama, karena dosen yang mengajar juga tidak bisa menggunakan komputer, yang meski demikian soal kualitas ilmu dan kedisiplinan sebagai ilmuan dia sangat luar biasa. Tentu saja dengan demikian dia juga tidak mewajibkan mahasiswa mengerjakan tugas dengan menggunakan komputer. Bayangkan saja, setiap minggu teman-teman kos harus terganggu oleh suara mesin ketik hingga tengah malam saat aku mengerjakan tuga kuliah. Kedua, secara pribadi komputer bagiku masih barang baru. Aku belum lancar menggunakannya. Hingga satu malam, di sebuah kamar kos temanku yang baik hati, aku diminta untuk menggunakan komputernya.

Komputer temanku ini menggunakan sistem operasi Windows 3.1 dengan program perkantoran waktu ini masih Ms Office 97. Aku mulai belajar mengetik dengan menulis sebuah artikel yang merupakan pengembangan dari paper kuliah. Lucu juga kalau ingat malam itu. Temanku mempersilahkan menggunakan komputernya. “Asal tidak dibanting, komputer ini tidak akan rusak,” begitu kira-kira ia berkomentar. Mungkin agak heran melihatku masih canggung menggunakan mesin yang merupakan pengembangan dari alat hitung itu. Sementara ia mulai mendengkur, aku mengetik terus. Hingga hampir satu jam ternyata ketikanku belum kusimpan menjadi sebuah file. Tiba-tiba saja ketikanku hilang dari layar. Aku kaget setengah mati. Begitu serius mengetik untuk menghasilkan tulisan yang baik, tiba-tiba kerjaku sekian puluh menit yang lalu hilang begitu saja. Aku sendiri merasa tidak enak membangunkan teman yang sedang tidur nyenyak. Mungkin dia marasa kecape'an, pikirku.

Setelah hampir tengah malam, temanku bangun. Lalu kuceritakan persoalanku dengan komputernya. Ia mencoba mengecek, dan entah bagaimana caranya, hasil ketikanku kembali muncul di layar monitor. Aku merasa lega. Selepas kejadian itu aku jadi semakin terbiasa menggunakan komputer. Hingga berbagai aplikasi lain kucoba untuk menguasainya. Entah kemalangan, atau mungkin memang nasibku, dari dulu aku tidak bisa bermain game di komputer. Melihat teman-teman yang begitu asyik bermain, sebenarnya ada rasa ingin bisa mahir seperti mereka. Kalaupun ada game yang berhasil kumainkan, paling-paling game flash sederhana seperti kucing dan anjing saling lempar tulang.

Untuk semakin mengenal komputer, aku sering memperhatikan teman-teman yang suka bongkar pasang komputer, memasang (installing) program tertentu yang baru, bertanya sana sini kalau tidak mengerti, hingga sesekali aku membeli majalah dan buku komputer. Untuk menyesuaikan dengan isi kantong, biasanya aku membeli majalah bekas di loakan. Kalau di Yogya, aku biasa mencarinya di shopping center. Kalau dulu ada juga yang menjualnya di sekitar boulevard kampus UGM. Setelah tinggal di Jakarta aku memburu majalah di seputar kwitang, pasar senen, atau di bawah jalan layang cawang.

Kalau melihat majalah atau beberapa buku komputer yang menumpuk di rumah, istriku suka komentar, “punya segitu banyak majalah komputer kok komputernya gak ada”. Akhirnya, dengan uang tabungan, aku membeli satu unit komputer, satu printer serta voltage stabilizer sekaligus UPS (uninterrupted power supply). Lumayan, dengan komputer rakitan yang harganya 4 jutaan ini, aku jadi bisa mencoba-coba aplikasi baru, entah itu kudapatkan dari internet (open-source tentu saja), CD/DVD bonus majalah-majalah, ataupun kiriman dari temanku yang masih setia berbagi pengetahuannya di bidang teknologi informasi. Temanku ini masih mau bersusah payah mengirimi beberapa CD/DVD untukku dari Yogyakarta. Jadi ingat waktu masih di Yogya, ilmu dengan mudah kudapatkan dari teman-teman, sebab di kota inilah aku banyak mendapat pengetahuan dan keterampilan dengan cara berbagi. Tidak butuh uang banyak. Cukup menyediakan waktu untuk belajar pada teman dan kalau ada ilmu harus mau berbagi pula pada yang lain. Di Jakarta, kesempatan berbagi semacam ini langka sekali. Tidak hanya karena waktu luang yang nyaris tak ada, tetapi mungkin juga karena orang-orang di sini mendapatkan ilmu harus mengeluarkan uang tidak sedikit sehingga merasa rugi kalau harus memberi dengan cuma-cuma.

Dua tahun lalu aku membeli buku cara menggunakan OpenOffice.org. Awalnya aku lihat iklan buku ini di sampul sebuah majalah komputer. Karena stok di toko dan kios majalah sudah habis, terpaksa aku harus memburunya di kantor majalah itu di sebuah penerbitan nasional di kawasan Pal Merah. Waktu itu OpenOffice.org masih dalam versi 1.1.2. Saat pertama menggunakan, terus terang aku masih belum puas. Dari segi tampilannya, masih kalah menarik dengan Ms Office 2003. Namun karena aku mulai menyadari perjuangan teman-teman pengembang program open-source perlu mendapat dukungan, aku merasa terdorong untuk menggunakannya. Sesekali aku masih menggunakan aplikasi bikinan Microsoft, sembari tahap demi tahap mulai menggunakan berbagai aplikasi freeware dan open-source dari internet.

Di kantor aku sudah menggunakan OpenOffice.org setengah tahun lebih. Saat baru menggunakan, kuperhatikan baru aku yang memiliki aplikasi ini di komputer. Suatu hari, saat aku tidak masuk kerja karena sakit, seorang teman menggunakan komputerku untuk mengetik. Ia kaget karena Ms Office yang biasa ia gunakan ternyata tidak ia temukan di komputerku. Ia kebingungan. Pada saat yang lain, seorang teman lain juga menggunakan komputerku. Karena sudah kuberi tahu bahwa aku menggunakan OpenOffice.org, ia lalu mengetik seperti biasa meski masih belum mengakrabi. File hasil pekerjaannya ia pindahkan ke disket untuk dibaca di komputer yang lain. Betapa kagetnya ia melihat file yang berekstensi *.odt tidak bisa dibuka. Sehari kemudian ia mengeluh padaku tentang filenya. Mungkin ia berpikir aku jahat, sengaja memasang aplikasi yang tidak bisa digunakan orang lain, sehingga dengan demikian komputerku tidak ada yang menyentuh saat aku sedang tidak ada di tempat. Sedih juga melihat kondisi ini. Tapi tujuanku sejak awal adalah untuk mengenalkan pada teman-teman bahwa ada aplikasi gratis yang bisa dipakai sehingga tidak perlu tergantung pada Microsoft. Lagi pula bagiku, Microsoft sebenarnya licik dengan menjual mahal produknya ke negara-negara miskin sehingga bangsanya tidak bisa berkembang, sehingga seterunya akan terus terbelakang dalam hal teknologi ini.

Pertengahan 2006, kantorku sudah mulai menerapkan kebijakan untuk menggunakan sistem operasi Linux untuk menggantikan Windows serta beberapa aplikasi open-source di dalamnya. Ini berkaitan dengan razia Microsoft yang sudah menjerat beberapa perusahaan di wilayah segitiga emas Jakarta yang letaknya tidak seberapa jauh dari kantorku di bilangan Menteng. Selain itu kantorku juga mulai mendaftar beberapa aplikasi yang tidak bisa dihindari untuk dibeli, seperti Adobe PageMaker dan Adobe Photoshop untuk mengedit buku dan poster. Untuk aplikasi perkantoran yang standar tentu saja kantor ini perlahan-lahan akan menggunakan spenuhnya OpenOffice.org. Tinggal menunggu waktu. Sampai saat ini kebijakan menggunakan Linux belum berjalan efektif.

Setahuku, hingga sekarang baru ada 3 komputer termasuk yang kupakai, yang menggunakan OpenOffice.org. Tampilan OpenOffice.Org versi 2.0 yang kami pakai sekarang semakin menarik, tidak kalah dengan Ms Office. Ini menjadikan teman-teman tidak akan berat untuk mulai menggunakannya. Untuk membaca surat elektronik (e-mail), sudah ada beberapa yang menggunakan aplikasi selain Ms Outlook, seperti Mozilla Thunderbird dan IncrediMail . Aku merasa senang teman-teman perlahan mulai terbiasa dengan aplikasi 'alternatif'. Aku berharap semua menyadari bahwa di dunia ini ada banyak pilihan selain bikinan microsoft yang terlalu memonopoli.

Aku sendiri masih ingin belajar lebih banyak tentang teknologi informasi...

Read More......

Ini tentang seorang aktifis perempuan yang menyeru kadilan. Beberapa bulan lalu saya berkesempatan mengikuti satu pelatihan keadilan jender. Isinya lebih kurang seputar pengetahuan dasar mengenai gerakan perempuan (feminism), apa itu keadilan jender, serta menyibak tabir ketidakadilan jender dalam setiap sisi kehidupan masyarakat.

Ada waktu khusus yang dijadwalkan untuk berdiskusi mengenai beberapa kasus mengenai realitas ketidakadilan yang lebih banyak diterima pihak perempuan. Dalam diskusi kelompok itu, saya terkejut mendengar ungkapan seorang teman aktifis perempuan. Ia menyatakan bahwa tidak menjadi persoalan jika seorang perempuan menjadi teman selingkuh seorang laki-laki yang sudah memiliki istri. Yang penting baginya, sang istri tidak mengetahui perihal perselingkuhan yang dilakoninya.

Saya hanya geleng-geleng kepala. Perselingkuhan, entah itu dilakukan oleh sang suami maupun istri, merupakan satu bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan pasangan. Jika pasangan si pelaku tahu kenyataan yang terjadi, tentu ia akan sakit hati karena telah dikhianati. Menjadi pasangan hidup, entah sebagai suami atau istri, pasangan hidup tanpa ikatan perkawinan, atau hanya berpacaran, tentu tak satupun yang senang pasangannya berkhianat dengan mencintai orang lain selain dirinya.

Sejauh yang saya pahami, poligami ditentang habis-habisan oleh aktifis pembela hak-hak perempuan karena menyakiti istri tua. Menurut pendapat mereka, tidak satupun istri yang mau dimadu oleh suami. Oleh sebab itu, ketika ada tokoh masyarakat yang beristri lagi, luar biasa tanggapan yang muncul. Alasan penolakan atas poligami pada intinya adalah satu, suami yang menikah lagi akan sangat menyakiti hati istri. Entah itu dengan atau tanpa sepengetahuan istri.

Dalam konteks ini, berselingkuh pada intinya sama saja dengan menikah lagi. Bedanya, berselingkuh tanpa ligitimasi dan menikah dengan leigitimasi terutama oleh agama. Dua-duanya merugikan sang istri dan keluarga. Dengan menikah lagi ataupun berselingkuh, sang suami, sang bapak, tidak lagi sepenuhnya mencurahkan perhatian dan kasih sayang pada istri dan anak-anaknya. Proporsi perhatian pada keluarga pertama dengan demikian berkurang seiring dengan perhatian yang mulai diberikan pada istri muda atau pasangan selingkuhan.

Katakanlah jika sebelum beristri lagi atau sebelum memiliki pasangan selingkuh, seorang suami atau bapak mencurahkan perhatian (waktu, pikiran, tenaga, dan penghasilan ekonomi) untuk keluarga pertamanya. Lalu porsi perhatian itu akan berkurang dengan cukup banyak. Tidak mudah bagi seorang istri tua dan anak-anaknya menerima kenyataan perhatian yang selama ini mereka peroleh ternyata harus dibagi pada orang lain.

Menjadi teman selingkuhan dari seorang laki-laki yang sudah beristri, apalagi bagi seorang yang mengaku dirinya aktifis perempuan, adalah status yang teramat memalukan. Pada satu sisi berjuang untuk keadilan bagi perempuan, menolak praktik-praktik diskriminasi sampai poligami, namun pada sisi lain menjadi “simpanan” laki-laki yang telah beristri merupakan kenyataan yang paradoks. Bertolak belakang dari semangat memperjuangkan keadilan bagi kaum perempuan.

Barangkali perselingkuhan yang dilakukan akan menjadi rahasia dalam sekian waktu. Meski terus ditutup-tutupi, lambat laun tentu akan ketahuan juga. Pernyataan teman saya tadi “asal tidak ketahuan” sesungguhnya cerminan bentuk mentalitas tidak mau bertanggung jawab yang menjadi kecenderungan masyarakat kita.

Saya teringat pada ucapan Abraham Lincoln, “Mungkin kamu bisa mendustai satu orang untuk seluruh waktu; Mungkin kamu bisa mendustai semua orang suatu waktu; Tapi kamu tidak mungkin mendustai semua orang untuk seluruh waktu”.

Read More......

Serunai

Aku selalu teringat sebuah alat musik tiup yang ada di daerah kelahiranku di Bengkulu. Namanya suling serunai. Suling atau seruling ini selalu ada pada perayaan pernikahan atau “pesta kebudayaan“ yang ada di Bengkulu. Setahuku, di setiap kabupaten orang-orang memiliki suling serunai. Suaranya mengiringi alat tetabuhan rebana dan gitar.

Pada saat berlangsungnya sebuah pernikahan, biasanya kedua mempelai dibawa berjalan-jalan melalui jalur yang biasa dilewati oleh masyarakat. Acara yang disebut belarak ini menempuh paling tidak sepanjang jalan raya yang ada dalam area satu kecamatan. Saat kecil aku suka sekali ikut belarak. Kalau dipikir-pikir lucu juga. Mulai dari rumah pengantin, semua orang berkumpul, termasuk kelompok musik tradisional daerah. Pengantin berada di mobil paling depan. Sementara para pemusik dan orang-orang yang ikut belarak membuntuti dari belakang dengan berbagai macam mobil yang biasanya adalah truk atau mobil terbuka.

Sepanjang perjalanan, kelompok musik yang hanya memainkan alat musik ini memainkan perannya. Kalau kuperhatikan, sepertinya musik yang dimainkan di kendaraan belarak agaknya berfungsi sebagai penarik sehingga orang-orang yang ada di rumah-rumah mendekat ke pinggir-pinggir jalan yang dilewati untuk melihat pengantin yang baru saja melangsungkan pernikahan. Acara ini dilakukan pada sore hari, dimana semua orang telah pulang dari sawah dan ladang dan beristirahat di rumah. Yang sangat menonjol dari permainan alat musik tradisional ini adalah suling serunai itu. Suaranya mendayu-dayu mengabarkan bahwa sedang ada dua anak manusia yang sedang berbahagia. Alunan musik seolah memanggil, "kemarilah, lihatlah sepasang muda mudi ini telah menjalin ikatan membentuk rumah tangga, selayaknyalah Anda turut berbahagia seperti mereka".

Empat tahun lalu lalu, atau sekitar lima tahun setelah kepergianku merantau ke Yogya, aku kembali ke Bengkulu. Saat itu aku mengunjungi rumah paman di daerah Padang Jati, atau tidak begitu jauh dari pusat keramaian kota Bengkulu. Entah mengapa suara suling serunai terdengar sayup-sayup di telingaku saat menuju rumah paman. Semakin lama semakin jelaslah serunai itu. Ternyata di dekat rumah paman sedang ada pesta pernikahan. Aku senang sekali dan seperti terobati rinduku pada musik tradisional milik kami di Bengkulu. Alangkah terkejutnya aku, saat kudekati rumah rumah pengantin itu, ternyata musik itu bukan dari tangan-tangan terampil yang memainkan atau meniup berbagai macam alat. Suara musik itu berasal dari sebuah kaset yang diputar pada tape, lalu dihubungkan ke alat pengeras suara.

Sedih rasanya, ternyata kemajuan zaman dan modernisasi telah menenggelamkan eksotisme daerah. Kekayaan budaya bangsa semakin lama semakin memudar. Mungkin seperti pertanian, anak-anak muda sudah tidak mau lagi menggarap sawah sebab hasilnya memang tidak memenuhi kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi. Tapi kesenian tradisional? Ia adalah kebanggaan, orisinal, dan merupakan kekayaan yang dicipta dan dimiliki sejak nenek moyang.

Kalau orang asing memuji dan menghargai eksotika bangsa Indonesia karena kekayaan kebudayaannya, maka kalau bukan kita yang melestarikan dan mengembangkan warisan leluluhur kita ini, maka suatu saat nanti, kita yang akan belajar tentang kebudayaan kita dari mereka, orang asing itu. Bayangkan, untuk memainkan alat musik tiup semacam serunai ini, kita harus belajar pada bangsa lain. Sedihnya...

Jakarta, 05 Januari 2006

Read More......