Namanya Surti. Itu bukanlah nama aslinya. Ia mahasiswa asal Sumatera saat itu. Kuliah di Jogja memberikan pengalaman tersendiri untuknya. Mengikuti kegiatan kampus dan organisasi bersama teman-temannya di Jogja, melakukan bakti sosial pada masyarakat di sekeliling kampus, membuat dirinya mengalami perubahan cukup signifikan. Semula ia adalah gadis pendiam. Susah untuk melihatnya mau bicara kalau orang tak mengajaknya bercakap-cakap secara pribadi. Jadilah ia gadis rantau yang mulai mengenal dunia.

Masa kuliah, sebagai muslimah yang baik, ia tak begitu terpengaruh oleh teman-temannya yang mulai menjalin hubungan khusus dengan teman mahasiwa laki-laki. Ia tahu, sebagai orang yang berlatar belakang keluarga yang cukup agamis, hal semacam ini harus ia hindari.

Memasuki tahun ketiga ia kuliah di Jogja, Surti mulai berkenalan dengan salah satu kelompok kajian mahasiswa. Kelompok ini mencoba mencari pemahaman baru tentang keislaman mereka. Mereka kritis pada teman-teman di kampus yang mulai seperti garis keras, gampang menganggap teman-teman lain sebagai kelompok sesat, tidak syari'ah, atau menilai bahwa pemahaman teman-teman lain terhadap agama Islam banyak yang salah. Surti merasa tidak mendapatkan tempat untuk memiliki pemahaman yang lain di komunitas mahasiswa muslimah kampusnya. Karena itulah, kelompok kajian tempat ia baru bergabung ini memberikan kesan yang cukup dalam untuknya. Ia boleh menggali keagamaan dan keingintahuannya secara lebih leluasa. Ia bisa mendiskusikan apa saja untuk mendalami pemahamannya. Teman-teman barunya ini kemudian ia ketahui sebagai kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai Syiah. Kelompok ini terkenal suka melakukan kajian kritis Keislaman dan isu-isu sosial politik. Murtada Mutahhari dan Ali Syariati merupakan dua tokoh Islam asal Iran yang menjadi idola mereka dalam memahami Islam dan dunia. Dua tokoh merupakan tokoh kritis pada masa revolusi di negeri Timur Tengah tersebut.

Di komunitas baru ini Surti kemudian mengenal seorang pemuda. Satu kampus dengannya, hanya beda fakultas. Pemuda ini terlihat cerdas, kritis dan senang berpolitik di kampus. Pemuda itu pernah pula mencalonkan diri pada satu kesempatan pemilihan Ketua BEM di tingkat universitas. Kebetulan mereka sama-sama berlatar belakang suku Sunda. Meski berasal dari Sumatera, orang tua Surti sebenarnya berasal dari tanah Sunda. Mereka pun akrab. Akhirnya kedekatan mereka cepat diketahui oleh teman-teman sekitarnya. Mungkin karena mereka sudah mulai terlihat bersama ke mana-mana. Penampilan Surti yang mengenakan pakaian muslimah seperti jubah, dengan kerudung yang cukup besar, menimbulkan tanda tanya besar pada teman-temannya tentang terlihatnya mereka berjalan bersama.

Berceritalah Surti pada salah teman dekatnya dulu yang juga sama-sama merantau dari Sumatera untuk melanjutkan pendidikan di Jogja. Surti pun membuka cerita perjalanannya hidupnya.

Surti dan pemuda pujaannya meyakini ajaran syiah yang mereka pelajari belakangan ini. Mereka juga tak ingin menjalani kehidupan sebagaimana mahasiswa lain yang melakukan pacaran. Buat mereka, tak boleh ada hubungan semacam pacaran. Ajaran Islam yang mereka yakini memberikan jalan kemudahan supaya mereka dapat hidup bersama namun tidak berdosa. Mereka sudah menikah menurut keyakinan mereka. Pernikahan ini yang dinamakan Pernikahan Muth'ah.

Pernikahan muth'ah yang mereka jalani, menurut Surti, adalah pernikahan yang mereka lakukan sendiri. Prosesnya, mereka bersepakat menjadi suami istri. Lalu meniatkan diri untuk menjadi pasangan suami istri. Dalam pernikahan ini mereka terikat perjanjian atau kontrak yang mereka sepekati berkaitan dengan sebatas mana hubungan ini mereka jalani. Misalnya, apakah mereka hanya boleh berjalan berudua-duaan saja, atau sampai pada tinggal serumah, melakukan hubungan badan sebagaimana layaknya hubungan suami istri yang dipahami khalayak banyak, beban ekonomi ditanggung ataukah tidak oleh salah satu pihak atau menjadi tanggungan kedua belah pihak, apakah status suami istri ini akan berlangsung dalam jangka waktu tertentu ataukah akan tetap selamanya, dan lain sebagainya. Semua itu harus disepakati bersama.

Surti dan "suaminya" menikah pada satu waktu di tempat kos Surti. Tempat ini adalah sebuah rumah tinggal. Ada beberapa mahasiswi yang tinggal di sini. Mereka tinggal bersama dengan keluarga pemilik rumah. Mereka menyewa kamar-kamar yang seperti paviliun di rumah itu. Di teras rumah ini terdapat beberap kursi dan meja yang memang dijadikan tempat menerima tamu baik tamu keluarga pemilik rumah maupun tamu mahasiswi yang mondok di situ. Di situlah Surti dan pemuda pujaannya itu menikah. Ketika temannya bertanya apakah ada saksi, Surti hanya menjawab: "Allah Maha Tahu segalanya. Ia adalah Tuhan. Tuhan menjadi saksi pernikahan kami..."

Beberapa tahun kemudian pemuda yang menjadi suami Surti lulus dari studinya. Ia kembali ke kampung halamannya di Jawa Barat. Sebagai pemuda yang mulai berpolitik sejak mahasiswa, laki-laki pujaan Surti ini kemudian melanjutkan karir politiknya di sebuah partai politik Islam yang sempat jaya di masa Orde Baru. Di partai ini, demi karir politiknya yang kinclong, ia rela meninggalkan Surti. Pemuda ini lalu memilih menikahi putri salah seorang petinggi partai politik tempatnya bergelut, hingga ia tak lagi merasa memiliki tanggung jawab untuk hidup bersama dengan Surti.

Surti kecewa ditinggal pemudanya. Ia sedih, sakit hati, tapi tak bisa berbuat lain selain menangisi diri. Surti memang tak pernah bercerita batasan hubungan dari pernikahan muth'ah mereka. Tetapi, status sebagai istri muth'ah pun membuatnya tak memiliki hak sama sekali untuk menuntut suaminya supaya tidak meninggalkannya. Ia kecewa selamanya....


Catatan:
1. Tulisan ini merupakan satu dari beberapa tulisan tentang kasus perkawinan untuk masukan revisi UU Perkawinan No.1 tahun 1974
2. Gambar ilustrasi diambil dari sini.

Read More......