Niken dan PRT-nya

Menerima PRT mulanya dari tetanggannya yang mencari pekerjaan dengan mendatangi bapaknya di Purworejo. Akhirnya PRT ini dibawa ke tempat tinggalnya di Batam sejak tahun 2007. Lalu kemudian berlanjut ketika ia dan keluarganya pindah ke Jakarta dan terakhir di Yogyakarta setahun terakhir.

Pekerjaan yang diberikan kepada PRT berupa bersih-bersih rumah, mencuci, dan memasak dan mengantarkan anak ke sekolah. Saat pertama kali di tahun 2007 ia menggaji PRT sejumlah 600 ribu rupiah. Lalu dinaikan hingga menjadi 800 ribu rupiah. Sebenarnya tidak ada pekerjaan yang diwajibkan untuk diselesaikan oleh PRT. Niken juga biasanya menyapu halaman serta membersihkan rumah. Jadi ia memberikan pekerjaan kerumahtanggaan secara fleksibel kepada PRTnya. Suasana kekeluargaan terus dijaga oleh Niken selaku orang tua tunggal dalam keluarga.

Sejak berpisah dengan suaminya kira-kira 6 bulan lalu, Niken bernegosiasi dengan PRT mengenai gaji. Niken menurunkan gaji PRTnya kerena ia merasa tidak mampu untuk membayar sebesar 800rb seperti sebelumnya. Ia menyanggupi 600 rb setiap bulannya. Lalu sejak 4 bulan lalu akhirnya ia kembali bernegosiasi tentang gaji PRTnya ini, sebab ia hanya mampu membayar 400 rb. Untuk ekonomi keluarga, sejak bercerai dengan suaminya Niken menghidupi 2 orang anaknya dari berjualan buku serta menulis cerpen dan novel serta tulisan-tulisan non fiksi yang ia cetak dan distribusikan sendiri maupun bekerjasama dengan pihak ketiga. Meski kesepekatan dengan PRT ia akan menggaji hanya 400rb, namun Niken biasanya membayarkan 500rb.

Semua kebutuhan PRT dipenenuhi oleh Niken. Tak ada perbedaan makan antara keluarga Niken dan PRTnya. Rumah kontrakan yang mereka tempati memiliki 3 kamar tidur. PRTnya sekamar dengan anak-anak Niken. Meski ada kamar sendiri, PRT biasa tidur dengan anak-anak karena akrabnya mereka. Pekerjaan rumah tangga seperti menyapu dan bersih-bersih rumah, Niken ikut melakukan, sehingga sebenarnya PRT lebih ringan pekerjaannya.

PRT Niken biasanya mengantar dan menjemput anak-anak ke sekolah sekitar 7km dari kediaman mereka. Ada sepeda motor yang biasa digunakan oleh PRTnya.

Satu hal yang pernah mengganggu Niken, PRTnya pernah dianggap membahayakan keselamatan mereka. Satu saat, ketika memboncengkan Niken dengan sepeda motor, di traffic light PRTnya asyik mengirimkan SMS. Ini mengganggu Niken. Karena sering terjadi, akhirnya Niken menegur. Bagi Niken, hal semacam itu lebih baik dikomunikasikan. Ia akan menegur PRT kalau ada hal yang dinilainya tidak baik. Mengenai SMS, di rumah tinggal pun PRT sering SMSan dan berpacaran menggunakan HP. Tapi Niken membiarkan saja karena masih dianggap wajar. Masih bisa ditoleransi. Lagi pula ia memaklumi masa lalu PRTnya pernah ditinggal oleh suaminya, dan sekarang bertemu lagi dengan teman masa kecil melalui facebok. Niken sendiri yang mengenalkan facebook (dan internet) kepada PRTnya ini.

Niken seorang penjual buku serta penulis cerpen dan masuk dalam komunitas sastrawan muda yang lahir dari kalangan mahasiswa tahun 2000 awal. Ia memiliki perpustakaan untuk keluarganya. Ia pun ingin perpustakaan tersebut menjadi sumber ilmu buat PRTnya, tak hanya bagi diri dan anak-anaknya.

Yogyakarta, 20 Oktober 2010

Read More......

Anda pernah naik pesawar Lion Air? "Pesawat ini memang suka Lie on air," kata teman lama masa kuliah dulu menanggapi sebuah foto kericuhan yang terjadi pada 2 Juni 2011 malam di terminal 1B bandara Soekarno Hatta. Foto itu saya ambil saat orang-orang ramai berkerumun mengelilingi petugas Lion Air di salah satu Gate di terminal itu. Saya mengunggahnya di facebook beberapa menit setelah kejadian memalukan tersebut. Orang-orang minta bertemu dengan pihak managerial Lion Air karena merasa kasihan juga kalau bawahan-bawahan yang langsung menghadapi para calon penumpang. Kata-kata kasar meluncur. Makian kian tak terkendali. Tapi nyatanya, Lion Air memang sudah terkenal suka ingkar jadwal penerbangan yang mereka buat sendiri.


Saya kebetulan hendak pulang ke Bengkulu hari itu. Kami semua berjumlah 14 orang termasuk anak saya yang belum lagi berusia 2 tahun. Jadwal penerbangan ke Bengkulu sebenarnya pukul 17.04 WIB. Ketika kami datang pada sekitar pukul 16, sampai dengan pukul 17, ruang tunggu sudah tak mampu menampung calon penumpang. Calon penumpang tumpah ruah menunggu di koridor menuju ruang tunggu. Lalu tiba-tiba suasana jadi bertambah ramai oleh kegaduhan para calon penumpang yang penerbangannya ditunda. Yang saya ingat, mereka hendak menuju Medan. Mereka kecewa karena, bisa jadi, jadwal rapat mereka akhirnya harus terganggu dengan penundaan ini. Juga ada janji keluarga atau urusan bisnis lain yang pada akhirnya jadi berantakan karena penundaan ini.

Kegaduhan yang terjadi sore itu berlanjut hingga malam. Penerbangan kami ke Bengkulu juga diumumkan mengalami penundaan 3 jam dan itu pun menimbulkan teriakan "huuu....." dari para calong penumpang. Itu artinya paling cepat kami baru bisa berangkat pada pukul 20.04 WIB. Entah kenapa kok penundaan bisa selama itu. Lalu sekitar sejam dua jam kemudian kegaduhan terjadi lagi dan kali ini merupakan bentuk kemarahan dari penumpang menuju Palembang. Disusul kembali dengan kemarahan dari mereka yang hendak ke Pekanbaru. Menjelang pukul 20 lalu terjadi keributan. Ternyata kembali calon penumpang yang akan menuju Medan. Penumpang yang satu rombongan dengan kami pun mulai berteriak-teriak seperti penumpang-penumpang dengan tujuan kota-kota di Sumatera itu.

Saya merasa capek dengan semua keributan. Sebenarnya sangat marah dan kesal pada pelayanan macam ini. Saya sudah menebak sejak semula bahwa tidak mungkin hanya sekedar persoalan terknis penerbangan. Sangat mungkin karena keinginan maskapai untuk membuat semua kursi di pesawat penuh semua hingga baru akan diberangkatkan. Lagi pula, ini saatnya libur panjang di akhir pekan. Tanggal 2 Juni merupakan hari libur nasional karena peringatan Kenaikan Isa Almasih. Otomatis hari Jumat keesokan harinya menjadi libur bersama yang akan berlanjut hingga hari Ahad. Tiket dengan harga mahal tentu bak musim panen bagi maskapai angkutan udara. Sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan. Saya hanya peduli dengan anak-anak saya yang mulai tak bisa diam karena jemu menunggu. Mereka berlarian kesana kemari. Saya khawatir mereka akan kecapean dan juga hilang ditengah kerumunan orang yang sedang emosi tinggi. Tentu saya tak ingin mereka sampai celaka karena terinjak atau malah terbanting di salah satu sudut karena ketidaksengajaan orang-orang yang sedang kecewa.

Menunggu selama 3 jam ternyata membuat hati saya penat. Sejak selepas lebaran Idul Fitri tahun lalu saya menjalankan tugas penelitian lapangan di berbagai daerah di Indonesia bagian Timur dan Tengah. Eloknya, penerbangan kami selalu menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Saya bangga dengan maskapai ini yang merupakan simbol transportasi udara Nusantara milik pemerintah. Pelayanan baik, meski pernah satu kali kami harus marah pada petugas bandara Sultan Hasanuddin Makassar karena ketidakjelasan Gate untuk keberangkatan. Itupun kami sadari kemudian disebabkan karena ketidakberesan dalam pengelolaan bandara hingga tak ada kepastian tempat parkir pesawat. Hal semacam ini tak hanya terjadi di Makassar, di bandara Soekarno Hatta pun sudah menjadi biasa penumpang harus berpindah dari Gate yang tertera di Boarding Pass ke Gate dimana pesawat yang akan digunakan mendapat tempat parkir. Hal ini merupakan gambaran pengelolaan yang belum sempurna--untuk tidak mengatakan buruk--bandara-bandara yang katanya kelas internasional. Tak hanya itu, saya pikir ini semua cermin pemimpin-pemimpin negeri ini yang juga bisa jadi lebih buruk dalam mengurus Negara.

Hal yang lebih baik saya dapatkan dari layanan Garuda adalah keterlambatan dibayar dengan Executive Lounge yang membuat saya dan teman-teman satu tim yang akan ke Ambon November lalu harus rehat dan menikmati hidangan di ruang tuggu itu. Setidaknya, kami merasa mendapatkan kepastian bahwa pesawat memang tertunda karena keterlambatan pesawat yang datang dari daerah. Kenyamanan ruang tunggu dan hidangan itu sedikit mengobati. Dan yang pasti, meski kursi penumpang tidak semuanya terisi, pesawat dari maskapai ini tetap melakukan penerbangan.

Maskapai lain yang pernah saya dan keluarga tumpangi kadangkala juga mengalami penundaan penerbangan. Hanya saja tidak separah yang dilakukan oleh Lion Air. Kalau Lion Air terkenal suka menunda penerbangan, itu tandanya sudah telalu sering penumpang mengalami ini serta frekuensinya terlalu tinggi. Syukurnya, maskapai ini tidak menguasai penerbangan semua rute dan dengan ongkos relatif murah. Kalau tidak, tentunya kita hanya bisa menggerutu.



Saya teringat kecelakaan Lion Air di bandara Adi Sumarmo pada 30 November 2004 lalu. Peristiwa naas yang menewaskan puluhan orang termasuk pilotnya tersebut dibantah oleh pihak Lion Air sebagai satu kecerobohan dan mengabaikan standar keselamatan. Peristiwa itu membuat saya ngeri. Sebuah koran nasional memuat karikatur di pojok kiri bawah halaman muka dengan tulisan We make people cry. Tulisan tersebut merupakan plesetan dari semboyan We make people fly yang dijual maskapai ini.

Manajemen di darat yang kacau balau bukan tidak mungkin bisa menyebabkan kekacauan dalam penerbangan di udara. Dan jika fatal, sangat mungkin nyawa bisa jadi taruhannya.

Jika Mandala Air, yang menurut seorang teman memiliki layanan terbaik kedua setelah Garuda, telah mengalami tutup buku, saya berharap maskapai-maskapai lain dapat memberikan layanan tak kalah memuaskan bagi para pengguna jasa angkutan udara di Indonesia. Ungkapan teman lama saya pada awal tulisan ini "Lie on air" yang mungkin maksudnya Lion Air suka bohong tentu harus mendapatkan perhatian dari pihak manajemen maskapai ini jika tak mau terus menerus mengalami kemerosotan kepercayaan. Saya kecewa, tapi saya masih berharap Lion Air mau belajar dari kekecewaan penumpang-penumpangnya.

Tambahan informasi, 11 Juli 2011:
Lion Air juga dilaporkan ke Komnas HAM oleh DPP Persatuan Tunanetra Indonesia terkait diskriminasi yang sering mereka terima saat ingin melakukan penerbangan menggunakan maskapai itu. Lihat beritanya di sini.

Read More......