Kembali ke Bengkulu untuk sebuah tugas saya alami pada 1 - 5 Oktober 2012. Sejak beberapa tahu terakhir saya memang berkeliling ke daerah-daerah di Nusantara untuk satu program pengkajian mengenai adat istiadat. Dan baru di awal bulan ini saya berkesempatan menggali adat istiadat yang berlaku di Bengkulu.

Saya dan dua teman lainnya dari Jakarta mewawancarai beberapa tokoh masyarakat, termasuk Ketua Badan Musyawarah Adat (BMA) Kabupaten Seluma dan Kota Bengkulu. Selan itu, kami pun mengumpulkan beberapa dokumen tertulis mengenai adat istiadat yang berlaku di daerah bekas jajahan Inggris ini. Bertemulah kami dengan dua dokumen yang sangat berarti, Koempoelan Oendang - Oendang Adat Lembaga dari Sembilan Onderafdeelingen dalam Gewest Benkoelen dan Adat Kota Bengukulu. Buku pertama merupakan kumpulan Oendang - Oendang Adat di Kota Bengkulu, Seluma, Manna, Kaur, Kroe, Rejang, Lebong, Lais, Muko-Muko, Serta Undang-Undang Simboer Tjahaja Bangkahoeloe. Dokumen ini sangat berharga karena merupakan dokumen tertulis mengenai adat istiadat di daerah yang pernah menjadi bagian propinsi Sumatera Selatan ini. Sementara dokumen kedua berupa Peraturan Daerah Kota Bengkulu Nomor 29 tahun 2003 tentang Pemberlakuan Adat Kota Bengkulu. Sebenarnya dokumen terakhir sudah saya miliki sejak sekitar 3 tahun lalu atas kebaikan hati teman dekat saya yang bekerja di kantor Pemerintah Daerah Kota Bengkulu. Sayangnya buku ini terselip entah dimana diantara tumpukan buku yang masih belum rapih sejak kepindahan domisili saya dan keluarga setahun terkahir.

Dokumen pertama kami dapatkan dari Ketua BMA Kabupaten Seluma, Bapak Syamsir Ardi. Bapak yang biasa dipanggil pak Ujang ini kami temui di kediamannya di desa Talang Saling, Kecamatan Seluma, Kabupaten Talo. Beliau dengan senang hati mengizinkan kami memfotokopi buku yang ia miliki ini serta bercerita banyak hal tentang adat istiadat orang Serawai. Serawai adalah salat satu suku yang ada di Bengkulu yang mendiami daerah Seluma hingga daerah Manna yang dulunya merupakan satu kabupaten, yakni Kabupaten Bengkulu Selatan. Buku kedua kami fotokopi dari buku milik Ketua BMA Kota Bengkulu, Drs. H. S. Effendi, Ms.

Sebelum bertemu dengan Bang Effen—begitu ia biasa dipanggil—saya sempat berkomunikasi dengan Rendiawan, seorang teman kecil yang tinggal di desa Tanjung Jaya. Saya sampaikan kalau sedang mencari peraturan adat di Bengkulu. Tak disangka ia menginformasikan kalau Bang Effen ternyata adalah kakak dari teman kami masa sekolah dasar di desa itu.

Bang Effen saya ceritai kalau kami sudah mendapatkan peraturan-peraturan adat yang dibuat sejak zaman Belanda. Beliau mengatakan kalau ia juga memiliki. Namun demikian ia memiliki beberapa catatan kritis terhadap pembukuan hukum adat itu oleh orang Belanda masa itu. Salah satunya adalah, hukum adat tidak dijatuhkan pada orang yang melanggar adat dalam bentuk uang. Denda berupa uang merupakan adopsi dari hukum di negera mereka di Eropa. Hukum adat di Bengkulu mengenal hukumnya sendiri yang justru memiliki efek jera yang ampuh. Misalnya jambar antara lain ada nasi kunyitnya.

Bang Effen memiliki rencana untuk menulis beberapa buku berkaitan dengan adat istiadat Bengkulu. Waktu ternyata sangatlah malah buatnya saat ini. Saya sendiri berharap ia segera menuliskannya sehingga semakin banyak adat istiadat orang Bengkulu yang terdokumentasikan, tertulis, dan dapat diwariskan ke generasi berikutnya. 

Dua dokumen adat yang sudah saya dapatkan ini penting juga untuk dibaca oleh orang-orang Bengkulu supaya tahu adat istiadatnya. Saya mencoba mendokumentasikan hukum-hukum adat ini dan akan membuatnya dalam bentuk file PDF supaya bisa mengunggahnya di blog ini dan berbagi dengan sanak-sanak dari Bengkulu atau siapapun yang membutuhkan. Ada sekitar 265 halam untuk dokumen pertama, serta 147 halaman untuk dokumen kedua. Cukup membutuhkan waktu dan tenaga untuk memindainya. Semoga ada kesempatan dalam waktu dekat ini.

Read More......