Saat makan siang tadi saya ngobrol dengan seorang teman seorang relawan dari Australia yang ada di kantor tempat saya bekerja. Bron, begitu ia biasa dipanggil, berasal dari Melbourne dan sudah tinggal di beberapa negara lain sebelum ia menjadi relawan di sini. Sebelumnya ia sempat berkeliling Indonesia untuk mengenali kehidupan di negeri ini, termasuk ke Bengkulu dimana saya lahir dan besar.


Menilai fenomena korupsi di Indonesia, Bron berpendapat hal itu dapat disebabkan karena kesenjangan yang terlalu besar (huge gap) antara orang kaya dan orang miskin. Satu contoh saja, jika di sebuah pemukiman yang rumah-rumah berdekatan satu sama lain, maka akan lebih baik kalau rumah itu ukurannya sama dan tidak ada banyak perbedaan.

"Kalau punya rumah, saya akan melihat rumah orang lain. Jangan sampai rumah saya lebih besar dari rumah orang di sekitar. Kalau sampai berbeda, saya akan merasa tidak nyaman."

Pendapat Bron dan pengalamannya tentang "ukuran" rumah ini tentu jauh berbeda dengan kehidupan orang Indonesia kebanyakan akhir-akhir ini. Jika melihat rumah orang lain lebih besar, maka tetangganya akan berusaha membuat rumahnya juga berukuran besar, bahkan kalau dapat dibuat jauh lebih besar dibanding yang lainnya. Tentulah ini berkaitan erat dengan status sosial ekonomi masing-masing orang. Hasrat untuk lebih dari orang lain memacu seseorang untuk berusaha sedapat mungkin punya harta lebih banyak. Entah dengan cara yang baik seperti bekerja lebih keras, lebih banyak, lebih lama, ataupun dengan cara yang membuat negeri ini justru tambah parah tingkat korupsinya.

"Itulah sebabnya saya suka sistem komunis," kata Bron menambahkan dengan tertawa. 



Bron melihat di dalam sistem komunis, kesenjangan antara si miskin dan si kaya tak terlihat. Dan karena itu pula ia lebih baik dibanding dengan sistem yang ada seperti di Indonesia. 

Masyarakat Indonesia sekarang lebih sering menghargai orang lain karena pemilikan harta-benda. Sudah tak begitu hirau apakah mereka memperolehnya dari kerja keras ataukah dari menyiasati pencurian uang Negara.

Untuk menciptakan kondisi dimana jurang itu tak terlalu besar, ketimpangan sosial-ekonomi tak melahirkan kecemburuan, dan pembangunan lebih terlihat ada  pemerataan, maka sudah semestinya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tepat. Bukan membiarkan setiap orang berlomba tanpa batasan, sikut kiri-kanan, dan pada akhirnya menjadi srigala bagi orang lain. Siapa kuat maka dia menang. Siapa lemah, maka mohon maaf, Anda tak layak hidup di tanah air Indonesia.

Catatan: gambar ilustrasi bersumber dari sini.

Read More......