Candra,

Makasih untuk kiriman artikel hasil penelitian violence against woman (VOW) lintas agama. Menurutku, dari dulu, memang kita seharusnya melihat kekerasan terhadap perempuan (KTP) itu sebagai kasus yang bisa terjadi di lingkungan agama apa saja, di kelas sosial apapun, dan juga di batas wilayah mana saja yang ada di muka bumi ini.

Terus terang, aku tidak senang dengan kenyataan bukan di kalangan umat Islam tingkat KTP itu tertinggi melainkan di kalangan Hindu. Buatku, meski sedikit pun di kalangan agamaku, tetap hal itu harus dihilangkan.

Secara pribadi aku sangat menyayangkan masalah KTP dan pelanggaran HAM dan HAM Perempuan, selalu Islam yang dianggap sebagai sumber persoalan. Aneh lo, ketika ngomongin KTP (misal, Perkosaan) dengan semangatnya orang-orang menyebut Kyai, Ustadz, atau pesantren. Sementara Karen, seorang Kristen Amerika yang dulu konsultan Gugus Kerja Aceh (GKA) dengan santainya menyebut "Gereja, Romo, dan kesusteran" sebagai pelaku dan ranah KTP, sesuatu yang sangat ditakuti oleh aktivis HAM dan HAM Perempuan untuk menyebutnya. Dari sini, sementara ini, aku berkesimpulan bahwa aktivis HAM dan HAM Perempuan di tanah air bermental picik. Kalau mengikuti perkataan Pramoedya Ananta Toer: tidak adil sejak dalam pikiran.

Entahlah, mungkin ini hanya kegelisahanku saja melihat fenomena sekelilingku yang memperjuangkan HAM dan HAM Perempuan. Tak hanya di KP, tapi banyak di mitra-mitra kita. Aku sendiri kok tetap melihat musuh bersama semua golongan (kelas sosial dan agama apapun) itu adalah KAPITALISME. Sebab, kemiskinan adalah masalah paling besar yang melahirkan banyak masalah sosial termasuk KTP. Dan kemiskinan itu terjadi karena proses pemiskinan secara sistematis yang pelakunya adalah KAPITALIS dukungan Pemerintah Amerika itu.

Beberapa hari lalu aku baca berita mengenai Pengakuan penasihat Bush yang mengatakan bahwa penyerangan Irak murni masalah minyak. Pengakuan semacam mungkin adalah John Perkins dalam bukunya The Confession of The Economic Hit Man. Gila gak tuh? Bahkan tewasnya banyak perempuan dan anak-anak yang merupakan pelanggaran HAM di Irak dan Afganistan) tidak mendapatkan respon yang cukup dari aktivis HAM di Indonesia. Jangan bilang kalo itu karena Funding kita kebanyakan dari Amerika loh... Basi kalo alasannya itu. Menurutku, lebih karena mental aktivis di sini aja.

Hanya Curhat ya,
Herman

-----------

Herman,

Wah kok aku setuju banget dengan pendapat dan pemikiranmu, soalnya aku juga memikirkan hal yang sama selama ini, itulah masalahnya kenapa aku begitu tertarik dengan masalah perda diskriminatif sebab aku yakin itu politisasi agama, bukan agamanya yang salah. Tetapi masalahnya temen2 dan banyak dari komisioner kita tuh udah phobia ama Islam apalagi Islam fundamentalis, tapi mereka gak lihat fundamentalis jadi begitu karena apa... ya gitu deh persis yang kamu bilang.

By the way artikel tersebut aku peroleh dari blognya suamiku (sahabatperempuan.wordpress.com) dia lagi coba ngumpulin segala hal yang terkait upaya perlindungan Hak Perempuan dalam kacamata yang lebih fair gitu...kalau Herman ada bahan boleh deh dikirim ke kita sebagai upaya campaign juga.

Salam

-----------


Study: domestic violence more common among Hindu families

By TwoCircles.net staff reporter

Bangalore: The incidence of domestic violence is higher for Hindu women than Muslim or Christian women, during pregnancy, according to a study published in the latest issue of Journal of Affective Disorders.

The study of 203 Bangalore women of different faiths was conducted by National Institute of Mental Health and Neuro Sciences. The study involved interviewing each woman to find out about violence against them when they were pregnant.

Physical, psychological and sexual coercion by force was identified as violence that is detrimental to the physical and mental health of pregnant women. Therefore a study into factors that lead to this violence can help in protecting women against domestic violence.

Various factors like age, education, income, religion, number of people in the household were considered in this study and except for religion, there were no significant differences in any of these sociodemographic variables among the abused and non-abused women. Study found that abuse was more common among Hindu families than Muslim or Christian families. 19% of Hindu women reported violence as opposed to 8% of other faith, a significant difference. No explanation was offered by the researchers which surprised them as well.

Alcohol use by husbands was also common in families where women were abused.

Read More......

Bahasa Iklan

Memperhatikan papan iklan di pinggir jalan di Jakarta, saya jadi sedikit tertarik untuk menuliskan. Lupakan dulu masalah sampah visual yang sungguh sangat mengganggu psikologi massa yang matanya diserbu iklan di ruang-ruang publik itu. Entah benar, entah salah, saya tidak tahu. Iklan operator telepon seluler itu berbunyi sangat menarik. Salah satu iklan dari nomor "Jagung" mengatakan tarif telepon hanya Rp 1 perdetik. Atau, telepon ke 51 negara hanya Rp 16 perdetik. Lain lagi promosi nomor "Belimbing", tarif menelepon hanya Rp 10 perdetik selama 24 jam.

Inilah permainan bahasa. Kata teman saya yang seorang konsultan komunikasi, Hendri B Satrio, bahasa bisa memiliki efek luar biasa pada setiap orang. Tentu saja bahasa iklan harus betul-betul membuat orang mau memberikan perhatian padanya. Bayangkan kalau tarif telepon yang ditawarkan oleh si "Belimbing" di sebutkan "Rp 600 permenit", bukan "Rp 10 perdetik". Tentu orang yang membaca iklan itu akan menggerutu, "ah... mahal". Di sinilah letak permainan itu. Orang melihat atau membaca iklan tersebut dengan sekilas, makanya dibuat dengan kalimat-kalimat pendek namun mudah diingat. Iklan memanfaatkan psikologi masyarakat yang sekarang mulai instan, tidak mau berpikir lama. Pengiklan? Tentu saja ingin iklan mereka bisa mempengaruhi orang untuk mengikuti arahan mereka. Kalau iklannya komersial, jelas supaya orang mau membeli. Iklan layanan sosial, bisa jadi mengajak orang untuk ikut terlibat dalam satu aktifitas tertentu, semisal supaya orang tua mau membawa anaknya ke posyandu terdekat untuk mendapatkan imunisasi.

Dalam masyarakat konsumtif yang mulai massif, iklan adalah alat utama para pedagang. Dengan iklan, orang digiring untuk membutuhkan sesuatu yang sesungguhnya tidak menjadi kebutuhan. Bujuk rayu adalah rohnya iklan. Tapi tidak bagi pembeli yang rasional. Bagi saya, membeli sesuatu karena kebutuhan, bukan karena keinginan. Kalau sudah karena keinginan, lalu menjadi kebutuhan, sesungguhnya keinginan dan kebutuhan itu yang diciptakan oleh iklan. Dampak lebih lanjut bisa melahirkan persoalan sosial kalau sudah tidak terkendali, terutama pada masyarakat menengah ke bawah di negeri ini yang terus menerus kehilangan subsidi.

Kembali ke soal permainan bahasa. Adik saya yang 5 tahun lalu masih duduk di bangku SMU mengajak saya ngobrol tentang ini. Uang sejumlah 500 ribu rupiah itu terdengar biasa saja di telinga. Tapi kalau menyebutnya setengah juta rupiah akan terasa lain. Ini berlaku untuk 500 juta rupiah dengan setengah miliar rupiah. Ini tentang rasa. Iklan mengelolanya.

Satu kali, penjual makanan menjajakan dagangannya dengan menunggang "Kuda Jepang", dan membunyikan suara ajakan untuk membelinya. Dengan sasarannya anak-anak, suara itu keluar dari mikrofon kecil di atas motornya dengan khas suara anak-anak pula: "Cuma Gopek kok". Uang 500 rupiah dianggap terlalu kecil untuk membeli makanan itu.

Sekarang, mari menjadi pembeli yang rasional.

Read More......

Member of NYTimes.com

Tadi Pagi saya mencari informasi dan artikel tentang buku yang ditulis oleh John Perkins yang berjudul Confessions of an Economic Hit Man. Buku ini terbit pada tahun 2004 dan merupakan salah satu buku paling laris versi The New York Times. Tidak sengaja, saya menemukan tautan satu artikel yang membahas buku Perkins di The New York Times online. Setelah mengkliknya, ternyata mengharuskan untuk menjadi anggota.

Keanggotaan NYTimes.com bersifat gratis. Siapa saja boleh kalau mau. Menjadi anggota membuat kita bisa mengakses artikel-artikel di website ini secara instan. Menurut saya, website satu ini cukup layak untuk menjadi salah satu sumber berita, meski tentu saja, tidak bisa langsung diakses penuh seperti halnya The New Yorker yang menjadi rekomendasi Andreas Harsono pada blognya. Juga, ia bukanlah satu-satunya sumber informasi yang harus kita jadikan rujukan. Bagi saya pribadi, ini hanyalah faktor kebetulan, ketika saya mencari satu topik artikel dan menemukan media ini menyediakannya. Di samping itu, ada teman yang memasang tautan di blognya yang saya pikir tentulah ia begitu menarik sehingga layak untuk direkomendasikan bagi pembaca blognya.

Untuk mendaftar, masuklah ke alamat http://www.nytimes.com/gst/regi.html. Seperti halnya membuat akun imel, silahkan mengisi formulir yang tersedia di sana. Setelah formulir terisi dengan benar, maka Anda sudah bisa mengakses websitenya. Jangan lupa, gunakan selalu user ID dan Password yang Anda buat saat pendaftaran ketika hendak mengakses NYTimes.com ini.

Mengenai surat kabar atau jurnal online yang harus melalui proses pendaftaran anggota untuk bisa mengakses, jumlahnya tidak sedikit. Bahkan diantara mereka mengharuskan kita untuk membayar. Jadi, seperti kita membeli koran, majalah atau jurnal di toko buku, namun yang sedang kita hadapi ada dalam bentuk online. Kalau pun mau mencetaknya, kita harus mengunduh (download) atau mengkopi isinya dan memindahkan ke program pengolah kata kata semacam Openoffice.org.

Untuk di Indonesia, saya boleh berbagi informasi sedikit di sini. Kalau pernah membaca majalah Pantau yang terbit pada 1999 - 2002, tentu akan ingat dia sebagai satu majalah jurnalisme sastrawi pertama di Indonesia. Saya sangat menyukainya. Membaca majalah ini, yang isinya adalah berita panjang lebar namun dengan gaya penulisan khas seperti cerpen, saya menemukan satu majalah berita yang asyik untuk dibaca. Meski seperti cerpen, bukan berarti sumber berita atau realitas yang diberitakan menjadi rekaan. Kata Andreas Harsono, Jurnalisme Sastrawi ini bukan hanya permainan bahasa yang mendayu-dayu. Isinya tetap menggunakan standar penulisan jurnalisme. Majalah ini lalu tutup usia setelah kehabisan dana untuk menerbitkannya. Yayasan Pantau sendiri masih ada sampai sekarang. Anda dapat mengakses tulisan-tulisan yang pernah ada di majalah dan juga tulisan-tulisan baru dengan mengklik ini. Tentu saja, seperti The Newyork Times versi online, Anda harus mendaftar untuk mendapatkan sebuah akun. Gratis.

Read More......