Bahasa Iklan

Memperhatikan papan iklan di pinggir jalan di Jakarta, saya jadi sedikit tertarik untuk menuliskan. Lupakan dulu masalah sampah visual yang sungguh sangat mengganggu psikologi massa yang matanya diserbu iklan di ruang-ruang publik itu. Entah benar, entah salah, saya tidak tahu. Iklan operator telepon seluler itu berbunyi sangat menarik. Salah satu iklan dari nomor "Jagung" mengatakan tarif telepon hanya Rp 1 perdetik. Atau, telepon ke 51 negara hanya Rp 16 perdetik. Lain lagi promosi nomor "Belimbing", tarif menelepon hanya Rp 10 perdetik selama 24 jam.

Inilah permainan bahasa. Kata teman saya yang seorang konsultan komunikasi, Hendri B Satrio, bahasa bisa memiliki efek luar biasa pada setiap orang. Tentu saja bahasa iklan harus betul-betul membuat orang mau memberikan perhatian padanya. Bayangkan kalau tarif telepon yang ditawarkan oleh si "Belimbing" di sebutkan "Rp 600 permenit", bukan "Rp 10 perdetik". Tentu orang yang membaca iklan itu akan menggerutu, "ah... mahal". Di sinilah letak permainan itu. Orang melihat atau membaca iklan tersebut dengan sekilas, makanya dibuat dengan kalimat-kalimat pendek namun mudah diingat. Iklan memanfaatkan psikologi masyarakat yang sekarang mulai instan, tidak mau berpikir lama. Pengiklan? Tentu saja ingin iklan mereka bisa mempengaruhi orang untuk mengikuti arahan mereka. Kalau iklannya komersial, jelas supaya orang mau membeli. Iklan layanan sosial, bisa jadi mengajak orang untuk ikut terlibat dalam satu aktifitas tertentu, semisal supaya orang tua mau membawa anaknya ke posyandu terdekat untuk mendapatkan imunisasi.

Dalam masyarakat konsumtif yang mulai massif, iklan adalah alat utama para pedagang. Dengan iklan, orang digiring untuk membutuhkan sesuatu yang sesungguhnya tidak menjadi kebutuhan. Bujuk rayu adalah rohnya iklan. Tapi tidak bagi pembeli yang rasional. Bagi saya, membeli sesuatu karena kebutuhan, bukan karena keinginan. Kalau sudah karena keinginan, lalu menjadi kebutuhan, sesungguhnya keinginan dan kebutuhan itu yang diciptakan oleh iklan. Dampak lebih lanjut bisa melahirkan persoalan sosial kalau sudah tidak terkendali, terutama pada masyarakat menengah ke bawah di negeri ini yang terus menerus kehilangan subsidi.

Kembali ke soal permainan bahasa. Adik saya yang 5 tahun lalu masih duduk di bangku SMU mengajak saya ngobrol tentang ini. Uang sejumlah 500 ribu rupiah itu terdengar biasa saja di telinga. Tapi kalau menyebutnya setengah juta rupiah akan terasa lain. Ini berlaku untuk 500 juta rupiah dengan setengah miliar rupiah. Ini tentang rasa. Iklan mengelolanya.

Satu kali, penjual makanan menjajakan dagangannya dengan menunggang "Kuda Jepang", dan membunyikan suara ajakan untuk membelinya. Dengan sasarannya anak-anak, suara itu keluar dari mikrofon kecil di atas motornya dengan khas suara anak-anak pula: "Cuma Gopek kok". Uang 500 rupiah dianggap terlalu kecil untuk membeli makanan itu.

Sekarang, mari menjadi pembeli yang rasional.

3 comments

  1. Anonymous  

    September 20, 2007 at 5:30 PM

    Bagi konsumen rasional dan konsumen berduit, iklan tidak terlalu mengganggu. Pembeli rasional memilih barang yang dibutuhkan dan pembeli berduit seringkali tidak berpikir apa yang dibeli, toh uangnya tetep tersisa. Yang repot adalah yang tergiur iklan tapi tak sanggup beli, bahkan sampai bermimpi-mimpi. Bagi golongan ini, iklan tak lebih dari benda yang selalu menyayat rasa.

  2. SIDI ISWADI  

    October 3, 2007 at 2:04 PM

    jcfjpcZaman terus berubah, waktu senantiasa terus berlalu, yang mana saat ini kita berada pada era yang konon katanya adalah era millenium, era digital, era hedonisme, dan era masyarakat dengan segala kecanggihannya.. dalam palsafah pemasaran iklan adalah sebuah hal yang sangat penting dan perlu, iklan merupakan suatu penyampaian akan sesuatu kepada khalayak ramai, tanpa adanya iklan orang tidak akan tahu bahwa shampo "C" untuk anti ketombe, shampo "S" untuk rambut indah... dan lain sebaginya. iklan memang diciptakan dengan tujuan untuk mengajak, menyampaikan dan menakuti... bahasa iklan yang dipilih adalah memang bahasa-bahasa yang sedapat mungkin akan selalu diingat dan diusahakan bahasa yang sederhana, gampang dicerna oleh masyarakat dan diusahakan untuk menjadi jargon,,,,, jadi menurut saya bahasa apapun yang dipakai oleh para marketer (dalam hal ini pembuat iklan) adalah sah-sah saja karena tujuan mereka adalah untuk menjual apa yang mereka iklankan,, inilah salah satu kesinambungan dari bagian marketing manajemen.. jadi pada hakekatnya saya sependapat bahwa sebagai masyarakat modern dan dinamis agar mebeli dengan berpikir secara logika dan rasional dengan mendahulukan kebutuhan (Need)bukan keinginan (want).. karena pada dasarnya menurut Maslow bahwa manusia itu akan memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu baru kemudian akan memenuhi keinginannya....

  3. Yacob  

    November 2, 2007 at 2:03 PM

    Ada lagi tawaran dari operator nomor "Semangka". Tarif 0 rupiah. Padahal, pada kenyataannya, kita baru dapet bonus freetalk kalo sudah menggunakan pulsa sebesar Rp5.000. Bonus freetalk toh akan hangus pada esok harinya. Jadi gak bisa diakumulasi dan harus digunakan hari itu juga. Mau dapet bonus lagi? Yah beli lagi dong... Kuras kantong sampai kering adalah ideologi iklan.

Post a Comment