Ini tentang seorang aktifis perempuan yang menyeru kadilan. Beberapa bulan lalu saya berkesempatan mengikuti satu pelatihan keadilan jender. Isinya lebih kurang seputar pengetahuan dasar mengenai gerakan perempuan (feminism), apa itu keadilan jender, serta menyibak tabir ketidakadilan jender dalam setiap sisi kehidupan masyarakat.

Ada waktu khusus yang dijadwalkan untuk berdiskusi mengenai beberapa kasus mengenai realitas ketidakadilan yang lebih banyak diterima pihak perempuan. Dalam diskusi kelompok itu, saya terkejut mendengar ungkapan seorang teman aktifis perempuan. Ia menyatakan bahwa tidak menjadi persoalan jika seorang perempuan menjadi teman selingkuh seorang laki-laki yang sudah memiliki istri. Yang penting baginya, sang istri tidak mengetahui perihal perselingkuhan yang dilakoninya.

Saya hanya geleng-geleng kepala. Perselingkuhan, entah itu dilakukan oleh sang suami maupun istri, merupakan satu bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan pasangan. Jika pasangan si pelaku tahu kenyataan yang terjadi, tentu ia akan sakit hati karena telah dikhianati. Menjadi pasangan hidup, entah sebagai suami atau istri, pasangan hidup tanpa ikatan perkawinan, atau hanya berpacaran, tentu tak satupun yang senang pasangannya berkhianat dengan mencintai orang lain selain dirinya.

Sejauh yang saya pahami, poligami ditentang habis-habisan oleh aktifis pembela hak-hak perempuan karena menyakiti istri tua. Menurut pendapat mereka, tidak satupun istri yang mau dimadu oleh suami. Oleh sebab itu, ketika ada tokoh masyarakat yang beristri lagi, luar biasa tanggapan yang muncul. Alasan penolakan atas poligami pada intinya adalah satu, suami yang menikah lagi akan sangat menyakiti hati istri. Entah itu dengan atau tanpa sepengetahuan istri.

Dalam konteks ini, berselingkuh pada intinya sama saja dengan menikah lagi. Bedanya, berselingkuh tanpa ligitimasi dan menikah dengan leigitimasi terutama oleh agama. Dua-duanya merugikan sang istri dan keluarga. Dengan menikah lagi ataupun berselingkuh, sang suami, sang bapak, tidak lagi sepenuhnya mencurahkan perhatian dan kasih sayang pada istri dan anak-anaknya. Proporsi perhatian pada keluarga pertama dengan demikian berkurang seiring dengan perhatian yang mulai diberikan pada istri muda atau pasangan selingkuhan.

Katakanlah jika sebelum beristri lagi atau sebelum memiliki pasangan selingkuh, seorang suami atau bapak mencurahkan perhatian (waktu, pikiran, tenaga, dan penghasilan ekonomi) untuk keluarga pertamanya. Lalu porsi perhatian itu akan berkurang dengan cukup banyak. Tidak mudah bagi seorang istri tua dan anak-anaknya menerima kenyataan perhatian yang selama ini mereka peroleh ternyata harus dibagi pada orang lain.

Menjadi teman selingkuhan dari seorang laki-laki yang sudah beristri, apalagi bagi seorang yang mengaku dirinya aktifis perempuan, adalah status yang teramat memalukan. Pada satu sisi berjuang untuk keadilan bagi perempuan, menolak praktik-praktik diskriminasi sampai poligami, namun pada sisi lain menjadi “simpanan” laki-laki yang telah beristri merupakan kenyataan yang paradoks. Bertolak belakang dari semangat memperjuangkan keadilan bagi kaum perempuan.

Barangkali perselingkuhan yang dilakukan akan menjadi rahasia dalam sekian waktu. Meski terus ditutup-tutupi, lambat laun tentu akan ketahuan juga. Pernyataan teman saya tadi “asal tidak ketahuan” sesungguhnya cerminan bentuk mentalitas tidak mau bertanggung jawab yang menjadi kecenderungan masyarakat kita.

Saya teringat pada ucapan Abraham Lincoln, “Mungkin kamu bisa mendustai satu orang untuk seluruh waktu; Mungkin kamu bisa mendustai semua orang suatu waktu; Tapi kamu tidak mungkin mendustai semua orang untuk seluruh waktu”.

0 comments

Post a Comment