Cerita tentang Warung

Namanya Murtini. Saya lupa persis namanya, dan hanya kata itu yang saya ingat untuk namanya, meski tidak yakin bahwa itu nama yang ia sebutkan pada dua pekan lalu. Ya, dua pekan lalu saya mampir di warung nasi yang ia kelola di dekat Gudeg Yu Djum, sebelah utara Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM). Saya mampir ke warungnya setelah sekitar 7 tahun lalu untuk terakhir kali saya makan di sana. Mbak Murtini berusia sekitar 35 tahun.

Saya tinggal di Tawang Sari saat itu, tak jauh dari warung mbak Murtini yang berada di Karangasem. Ada banyak warung di daerah pondokan mahasiswa di sebelah utara kampus "ndeso" itu. Saya salah satu mahasiswa 12 tahun lalu, bisa memilih warung mana saja sekedar untuk variasi makanan sehingga tak bosan. Namun, pilihan warung macam milik mbak Murtini lebih karena murahnya.Bandingkan misalnya dengan warung Bu Tuti, yang menyediakan masakan khas Bengkulu, yang harganya bisa tiga kali lipat. Berapa uang yang harus dikeluarkan untuk makan di warung mbak Murtini saat itu? Seingat saya, makan dengan seribu atau seribu lima ratus perak sudah sangat layak untuk mahasiswa sembilan tahun lalu. Apalagi saat sebelum krisis, makan dengan lauk ayam dan tempe dua potong hanya butuh tak sampai seribu perak.

Ia masih mengingat saya, setidaknya ia masih ingat kalau saya dulu sering makan di warungnya. Saya memiliki seorang teman yang kebetulan mondok di kos-kosan miliknya di bagian belakang warung. Saya bertanya kabarnya, dan ia katakan kalau ia baik-baik saja. Kakaknya yang dulu bersamanya menghidangkan pesanan pembeli ternyata mengalami struk sudah beberapa tahun terakhir, sehingga otomatis tinggal mbak Murtini yang menunggui warung. Ia terlihat lebih gemuk, meski menurut pengakuannya ia belum bersuami. Inilah anggapan yang keliru di masyarakat, bahwa setiap orang yang sudah berkeluarga pasti akan menjadi gemuk. Ia pun mulai bercerita tentang suasana warungnya.

"Sekarang sepi, mas. Sedikit mahasiswa yang makan di warung ini. Jika dulu warung buka sampai malam, namun sekarang pukul lima sore warung sudah saya tutup."

"Dulu orang akan mikir dua kali kalau mau makan di lesehan atau resto yang sekarang makin menjamur. Namun sekarang mahasiswa lebih senang makan di sana daripada di sini."

Cerita mbak Murtini lebih terdengar sebagai keluhan.

Mahalnya biaya kuliah dengan penetapan UGM, IPB, ITB, dan UI sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) telah menjadikan kampus-kampus besar ini hanya dapat diakses oleh anak-anak dari kalangan berduit. UGM sebagai kampus negeri terbesar dan tertua di Yogyakarta (bahkan kampus tertua di Indonesia) pun menjadi sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Dulu mahasiswa UGM kebanyakan adalah anak-anak cerdas namun kebanyakan dari kalangan ekonomi "lemah". Jika ada anak orang kaya yang masuk ke sini, maka mereka akan sedikit banyak mengikuti gaya hidup teman-temannya yang sederhana, ramah, dan mudah bersosialisasi dengan warga setempat. Bahkan setelah lulus pun mereka memiliki idealisme untuk membangun masyarakat di daerah-daerah daripada bergelimang harta dan tahta di kota-kota besar. Sekarang, mahasiswanya berbeda, lebih kaya sekaligus lebih manja dengan fasilitas yang serba ada.

Naiknya biaya pendidikan di UGM mempengaruhi kampus-kampus lain di Yogya. Biaya hidup pun jadi lebih mahal dari sebelumnya. Mungkin benar bahwa kondisi ini mengikuti inflasi setiap tahun terjadi yang membuat nilai uang semakin berkurang dari waktu ke waktu. Selera makan mahasiswa pun jadi berubah, dari yang semula makan makanan sederhana dari warung-warung warga sekitar tempat pondokan menjadi makan makanan yang disediakan oleh resto-resto atau semacam cafe yang sekarang bertumbuhan.

Soal makan ini, tak hanya dari sajian makanan yang berbeda, namun suasana lebih "santai" dengan iringan musik hidup serta tempat tempat yang lebih luas yang tersedia yang tak dimiliki oleh warung-warung sederhana yang dulu jadi idola. Jika dulu koran Kedaulatan Rakyat, Bernas, Jawa Pos atau Kompas menjadi daya tarik warung sebab mahasiswa ingin makan sambil membaca koran. Sekarang, koran-koran serta harga murah tidak menjadi daya tarik yang tinggi untuk makan di warung. Mungkin era berita yang serba digital karena kemajuan teknologi komunikasi dan informasi (ICT), koran-koran itu sudah tidak dibutuhkan lagi. Uang yang banyak membuat harga tinggi tak perlu dikhwatiri.

Cerita mbak Murtini merupakan kegelisahan warung makan-warung makan yang dikelola oleh masyarakat setempat. Kos-kosan yang disewakan memang merupakan pemasukan ekonomi. Namun kos-kos dengan fasilitas yang lebih banyak, suasana lebih nyaman tentunya menjadikan kos-kos dengan fasilitas seadanya hanya mampu menghasilkan uang bagi pemiliknya dengan jumlah pas-pasan. Banyak kos-kosan dengan fasilitas lebih "mewah" sebenarnya merupakan usaha (milik) orang-orang Jakarta. Warung makan adalah pelengkap sumber penghasilan sehari-hari. Warung-warung seperti milik mbak Murtini memang telah mengalami pengurangan penghasilan yang cukup berarti. Seperti di siang saat bertandang ke sana, hanya saya satu-satunya pembeli di jam makan siang itu.

Sudah tiga pekan lebih saya di Yogya dan menyisakan sepekan lagi sebelum kembali mengikuti aktivitas Jakarta yang ramai. Sempat saya amati setiap akhir pekan, warung-warung memang banyak yang berubah. Mereka yang memiliki modal yang cukup akan mengubah penampilan dan juga sajian yang lebih "modern" akan mempertahankan, setidaknya, jumlah pengunjung yang sudah ia miliki. Tapi, ada berapa banyak yang bisa begini?

Warung mbak Murtini sendiri tidak berubah sejak 7 tahun lalu. Sementara, di luar sana, di pinggir-pinggir jalan atau tempat strategis di sekitar kampus telah berdiri kafe atau resto dengan tampilan dan suasana yang lebih "kota" serta ada pula sajian musik hidup yang lebih menggoda para mahasiswa yang kebanyakan dari kota-kota se-Indonesia. Meski harga lebih tinggi dari harga makanan di warung mbak Murtini, tetap saja tempat semacam ini menjadi lebih ramai. Saya perkirakan, warung warga setempat dengan modal seadanya dan tak mampu mengubahnya menjadi lebih "modern" itu akan terus terhimpit dari waktu ke waktu. Mereka akan seperti warga asli Ibu kota, tersingkir oleh para pendatang yang memiliki naluri bisnis yang tinggi. Kekhawatiran saya pun sama seperti pada kondisi orang-orang betawi, kelak di kemudian hari mereka hanya mampu menonton dari jauh, sembari bercerita pada anak-cucu: dulu, di sana, mbah kakung dan mbah putri pernah tinggal dan memiliki warung yang ramai.

0 comments

Post a Comment