Berita dari Cawang

Berita duka saya terima pagi ini. Syahrul Gondrong, salah satu ojek langganan saya mengabarkan kalau Budi, tukang ojek langganan saya yang lain, sedang istirahat. Budi ditabrak mikrolet di daerah Mangga Dua. Kemungkinan itu terjadi saat dia pulang ke rumah orang tuanya. Kecelakaan tersebut terjadi sekitar dua minggu lalu. Saya hanya berkata dalam hati, "pantesan cukup lama saya tidak melihatnya".

Budi adalah tukang ojek langganan saya yang pertama. Dia biasa menunggu calon penumpangnya di bawah jembatan penyeberangan di depan kampus UKI Cawang. Posisinya di tangga jembatan sebelah selatan yang ada pohon yang agak rimbun daunnya. Saya mulai menggunakan jasanya sekitar satu setengah tahun lalu. Pada awalnya, sepeda motor Vega R yang digunakannya masih mulus. Warnanya oranye, persis seperti sepeda motor adik saya. Belakangan sepeda motor itu berubah warna menjadi ungu gelap. Suaranya pun jadi cempreng. Saya harus memperhatikan tukang ojek yang berjejer di depan kampus UKI itu untuk menemukan Budi. Kalau dulu, motor dengan merek dan warna demikian sudah pasti milik Budi. Jadi dari kejauhan mata saya tidak susah mencari-cari.

Kalau Budi tidak ada, saya memilih Gondrong, yang biasa nongkrong di tangga sebelah Barat. Sempat juga menggunakan Roni, adik Budi yang sekarang--menurut cerita Gondrong--beralih menjadi sopir taksi. Ada dua orang lagi tukang ojek yang saya gunakan sebagai alternatif. Mereka paham kalau saya biasa dengan Budi dan Gondrong. Keduanya harus mengalah kalau saya lebih memilih naik motornya Budi atau Gondrong. Default ojek saya adalah Budi, setelah itu Gondrong, dan kalau keduanya tidak ada saya akan memilih yang lain.

Entah kenapa, baik di depan UKI maupun di Nagrak, semua tukang ojek langganan adalah orang-orang yang agak pendiam. Jarang sekali mereka mau memulai mengajak saya ngobrol selama perjalanan. Paling-paling Pak Hasri, tukang ojek yang biasa mengantar saya dari Nagrak ke rumah, yang mau memulai pembicaraan.

Budi, Gondrong, dan juga Roni adalah tukang ojek yang tidak suka mengejar-ngejar calon penumpang yang baru saja akan turun dari angkot, bis, atau metromini. Berbeda dengan tukang ojek lain yang suka mengejar-ngejar calon penumpang sehingga lebih sering membahayakan penumpang yang mau turun dari kendaraannya. Selain itu, tukang ojek langganan saya ini biasa tersenyum tipis meski mata mereka cukup tajam melirik calon penumpang. Mungkin karena sifat saya yang juga agak pendiam menyebabkan saya merasa cocok dengan mereka.

Budi biasa melarikan motornya dengan kencang. Dari depan UKI ke kantor saya di Menteng hanya ditempuh dengan waktu rata-rata 15 menit. Dengan yang lain bisa memakan waktu 20-30 menit. Gondrong sendiri mengatakan tidak tahu siapa yang salah dalam peristiwa kecelakaan itu: Budi atau Mikrolet. "Budi membawa motornya seperti kesetanan" kata Gondrong. Dalam hati saya mengiyakan. Namun,kalau waktu sudah mepet sekali dengan jam masuk kerja, justru saya menginginkan Budi yang mengantar saya.

Teman-teman sesama tukang ojek di Cawang mengumpulkan uang untuk pengobatan Budi. "Ada 23 jahitan di kakinya", cerita Gondrong. Saya tanya berapa ongkos pengobatan Budi. Gondrong tidak bisa menjawab. Yang jelas teman-temannya berusaha mengumpulkan uang untuk membantu. Setelah mendapat kecelakaan itu, Budi tinggal di rumah Ibunya di daerah Mangga Dua. Tidak ada yang tahu di mana sebenarnya Budi tinggal. Menurut Gondrong, selama ini teman-temannya hanya tahu kalau Budi biasa istirahat malam di kolong jembatan atau jalan layang di sekitar Cawang. Mungkin ia tidak memiliki tempat tinggal. Saya sedih mendengarnya. Ternyata orang yang nyaris setiap hari mengantarkan saya ke tempat kerja tidak memiliki tempat tinggal yang tetap.

Tukang ojek di Cawang tahu peristiwa nahas itu dari Roni, adik Budi. Roni sempat beberapa bulan di Cawang. Rupanya solidaritas para tukang ojek ini masih kuat. Organisasi perkumpulan tukang ojek Cawang yang mereka buat ternyata sangat bermanfaat. Paling tidak mereka masih memiliki rasa senasib sepenanggungan. Urunan uang bisa dilakukan. Mereka masih mau bahu membahu membantu teman yang mendapat musibah. Hal ini tentu kebalikan dari masyarakat kelas menengah Jakarta yang sering tidak mau tahu kondisi orang-orang di sekitarnya. Saya kagum pada mereka.

Sepanjang perjalanan tadi pagi, saya hanya mendengarkan cerita-cerita si Gondrong. Selain tentang Budi, ada juga tentang kemacetan yang menyebabkan kami selalu menggunakan jalan pintas di daerah Tebet. Namun karena sudah semakin banyak orang yang tahu jalan ini, maka jalan yang semula alternatif yang cukup lancar, sekarang mulai ramai dan cenderung padat. Sesampai di kantor, saya menitipkan sejumlah uang untuk Budi. Saya bisa merasakan beratnya mendapat musibah. Saya hanya ingin membantu. Tentu sebatas yang saya mampu.

1 comments

  1. Anonymous  

    February 6, 2009 at 12:09 PM

    "Hal ini tentu kebalikan dari masyarakat kelas menengah Jakarta yang sering tidak mau tahu kondisi orang-orang di sekitarnya."
    kebanyakan orang terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. tidak ada waktu untuk memperhatikan orang lain.
    Pada akhirnya mereka sadar bahwa yang mereka kejar itu hanya kehampaan.
    Dan mereka akan mati tanpa memberikan kesan berarti...


    btw, mas gimana cara buat read all entry itu?

    ^^

    -olivia-

Post a Comment