Perpustakaan Publik

Ini kisah perpustakaan. Saya teringat pada perpustakaan Mohammad Hatta di Yogyakarta. Saat ini telah tutup. Mengenaskan memang, sebab ia berisi buku-buku sang Proklamator sejak bersekolah di Belanda. Salah satu hal yang sangat saya kagumi dari sosok ini setelah membaca Memoir Mohammad Hatta adalah kegilaannya untuk membaca (menambah ilmu).

Tahun 2000 lalu, saya sempat bertemu dengan kepala Perpustakaan itu. Namanya (kalau tidak salah ingat) Ibrahim. Ia orang Bengkulu asli dan saya menjumpainya pada pertemuan sesepuh orang Bengkulu di Yogyakarta pasca gempa di Bengkulu tahun itu. Saat itu sudah mulai ada tanda-tanda perpustakaan Hatta akan tutup dengan alasan tidak memiliki anggaran. Meski tak sering, saya pernah menikmati beberapa buku tua disana.

Berita yang cukup membuat hati ini lega adalah, perpustakaan yang sama di Bukit Tinggi, tempat kelahiran sang pemalu ini, telah diperbaiki dengan bantuan dana dari Pemerintah.

Perpusatakaan daerah Bengkulu adalah tempat saya lebih banyak menghabiskan waktu luang kalau sedang mudik libur kuliah. Di sini, buku-buku yang sudah selesai saya baca di perpustakaan kampus ndeso tempat saya sempat menuntut ilmu ternyata masih rapih. Di bagian belakang buku, tempat pencatatan peminjaman ternyata masih ada yang kosong alias belum pernah dipinjam. Hal aneh buat saya saat itu. Padahal sejak sekolah SMU di dekat perpustakaan itu, saya sudah biasa hampir mampir untuk meminjam buku sepulang sekolah. Saya pikir, bisa jadi karena yang saya bidik adalah buku-buku sosial humaniora, yang isi dan ketebalannya membuat orang agak emoh untuk menyentuhnya. Orang lebih senang membaca tulisan pendek atau kutipan-kutipan sederhana dari media massa.

Semasa tujuh tahun hidup di Yogya, saya mendapati kondisi sangat kondusif untuk membaca, berdiskusi, dan berorganisasi baik di kampus maupun di masyarakat. Kesukaan pada membaca ternyata membuat saya sadar bahwa pengetahuan saya akan lebih banyak terasah dan bertambah. Interaksi dengan teman dan masyarakat membuat saya bisa melihat realitas yang tertulis di buku dan juga mengerti realitas sebenarnya di masyarakat yang berbeda atau telah berbeda dengan apa yang tertulis di buku.

Kamar kos-kosan yang hanya berukuran dua kali dua setengah meter terasa penuh dengan buku. Meski demikian, teman sebelah kamar saya yang lebih gila membaca ternyata memiliki buku yang memenuhi raknya hingga hampir menyentuh plafon kamar dan hampir memenuhi semua sisi tembok kamar. Saya pikir, ia memang sudah seperti Goenawan Mohamad yang menurut cerita yang saya dengar mengoleksi bacaan yang sudah nyaris tak beroleh tempat.

Perkembangan yang sangat menggembirakan adalah ada banyak komunitas yang melahirkan perpustakaan. Tak hanya itu, perpustakaan yang diperuntukkan bagi lingkungan sekitar itu pun menjadi tempat untuk menghasilkan penulis-penulis cilik, penulis muda belia, baik yang berpendidikan maupun hanya mendapatkan pendidikan dari komunitas yang peduli pada mereka. Rumah Cahaya dan Rumah Dunia adalah dua diantara yang ada.

Merujuk manfaat yang telah diberikan oleh perpustakaan komunitas itu, sejak lama saya dan istri sudah membuat rencana untuk membuka akses pada perpustakaan keluarga bagi lingkungan sekitar kami. Tidak banyak memang, sebab koleksi pustaka sewaktu di Yogya telah kami pindah ke Boyolali. Meski belum terlaksana sesuai dengan konsep awal, paling tidak ada satu dua yang meminjam. Perlu strategi juga untuk mengelolanya bagi publik, sebab waktu kerja telah menghabiskan hari-hari di luar rumah. Rencana untuk membuka rumah baca yang lebih khusus, dengan melibatkan ibu-ibu RT yang tidak bekerja, dan komunitas pengajian teman-teman kami, menjadi PR yang belum terlaksana. Mudah-mudahan bisa terwujud segera.

Saat ini, seperti tulisan Hikmat Budiman berikut, zaman berubah. Dan yang mungkin lupa dituliskannya adalah, orang lebih senang menghabiskan waktu luangnya ke pusat-pusat belanja sebagai bentuk prestise kelas menengah Indonesia. Perpustakaan? Jauh rasanya dari ingin berkunjung. Apalagi untuk menyisihkan uangnya untuk membantu biaya operasional bagi perpustakaan-perpustakaan publik yang sekarat namun kaya akan dokumentasi masa lalu yang amat penting untuk dipelajari demi "menyelamatkan" masa depan.

2 comments

  1. Anonymous  

    November 6, 2008 at 6:25 PM

    Kalau Perpustakaan sebagus Mall, pasti banyak yang datang deh. Sekedar tambahan, maraknya bisnis coffee shop di Yogya memberikan tambahan bagi pengunjungnya dengan beberapa perpus mini. Jika pemilik Kafe orang yang "berselera tinggi", menikmati koleksi buku di kafe sambil minum kopi menjadi kenikmatan tersendiri.

  2. Anonymous  

    November 10, 2008 at 3:46 PM

    Di beberapa kota memang telah banyak tumbuh coffee shop dengan fasilitas perpustakaan mini. Bahkan ditambah akses internet WiFi gratis pula. Senang sekali kalau bisa terus ke sini.

    Ada lebih banyak orang yang tidak dapat mengakses perpustakaan di coffee shop itu. Mereka ini yang harus kita pikirkan. Di Banda Neira, pada masa pengasingan, Hatta memberikan ilmunya pada warga sekitar. Kita tentunya juga bisa, salah satunya dengan mempersilahkan mereka mengakses perpustakaan kita.

Post a Comment