Bekenalan dengan Pilot

Sepanjang perjalanan dari bandara Soekarno-Hatta hingga ke Bengkulu, anak pertamaku ini tidak bisa berhenti bicara. Banyak tanya dan banyak komentar. Hal semacam ini sering membuatku kelabakan kalau tak siap untuk meladeni semua muntahan pertanyaan dan komentarnya tentang apapun. Ibarat senapan serbu tentara a la film Rambo di tahun 80-an: tak henti-henti. Ia ingin tahu, di tengah hujan lebat kenapa pesawat yang meluncur cepat untuk take off seperti mengeluarkan asap yang begitu banyak di belakangnya. Atau, kenapa kami harus naik bis menuju pesawat yang sedang parkir agak jauh dari tempat boarding? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Zahid memang aktif nogoceh sejak ia mulai bisa bicara pada usia setahun. Aku ingat, pada saat baru pindah kontrakan yang kami tempati sekarang, tetangga se-RT banyak yang memperhatikan kami berdialog. Mungkin aneh bagi mereka ada anak setahunan sudah banyak berdialog seperti orang dewasa. Pernah saat baru beberapa hari menempati rumah tinggal ini, seorang tetangga memperhatikan dari loteng rumahnya. Kami yang sedang jalan-jalan pagi tak menyadari kalau ada yang memperhatikan.

Di pesawat sepanjang penerbangan menuju Bengkulu, pertanyaan-pertanyaan dan komentar Zahid menarik perhatian pramugari. Aku sendiri harus menjelaskan banyak hal untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan. Sebenarnya, Zahid sudah dua kali pulang ke Bengkulu. Pertama saat ia masih berusia setahun pada Agustus 2006. Kedua, saat lebaran tahun 2007 ketika usianya menginjak dua tahun. Ia tidur saat di pesawat hingga ia pun belum pernah mengamati awan, langit dan segala hal di pesawat saat sedang terbang. Mudik kali ini membuatnya memiliki kesempatan untuk mengetahui banyak hal saat berada di langit.

Saat landing di bandara Fatmawati Bengkulu, aku sengaja mengajak Zahid beranjak dari tempat duduk kami supaya bisa menjelaskan tentang tempat pilot bekerja serta menyapa pramugari yang bertugas di pewasat. Mendekati pintu keluar di bagian depan, kusampaikan ke salah satu pramugari kalau Zahid ingin tahu tempat pilot 'menyetir' pesawat. Tak dinyana, pramugari justru langsung menghubungi pilot dan mengenalkan Zahid padanya. Zahid masuk ke kokpit di mana pilot berada. Pilotnya yang bernama Kapten Agus justru senang berkenalan dengan Zahid.

"Mau foto gak?" tanya pilot itu sambil membuat gerakan seperti sedang memotret ke arahku. Dengan nada sedikit menyesal kusampaikan kalau sedang tak membawa kamera.

"Sayang banget, belum tentu loh pilotnya mau berbaik hati begini...." kata pramugarinya.

Yup, aku memahami bagaimana pilot tentunya akan menghindari hal semacam perkenalan dengan anak kecil yang banyak ingin tahu macam Zahid ini. Tentunya langka pilot yang mau meluangkan waktu kerjanya. Kesempatan langka yang diperoleh Zahid ini sangat mungkin karena si pramugari mengamati Zahid yang terus bicara sejak awal naik pesawat. Karena keingintahuan Zahid untuk tahu kokpit yang jadi tempat pilot bekerja, maka pramugari langsung mengenalkannya kepada pilotnya.

Aku memahami cerita pramugari itu kalau jarang sekali pilot mau berkenalan, berdialog, dan mau berfoto dengan anak kecil seperti Zahid. Tapi, apa boleh buat, perkenalan Zahid dan pilot Mandala Air itu tak dapat diabadikan dengan foto. Demi kepraktisan barang bawaan, kamera digital tak kubawa.

"Ada kamera Bucik Neng, jadi kamera kita tak pelu dibawa" kata istriku saat menyiapkan segala sesuatu sebelum berangkat menuju bandara.

Setibanya di rumah Nenek dan Datuk, aku ceritakan pada Bucik Neng tentang pengalaman Zahid tadi. Juga menelpon ibunya di rumah di Bogor. Semuanya merasa 'eman' kenapa perkenalan Zahid dengan pilot serta kesempatan masuk ke kokpit tidak difoto. Ya... jadi pelajaran saja, lain kali mesti bawa kamera untuk mengabadikan pengalaman anak.

Sangat mungkin, pengalaman masa kecil memiliki arti yang luar biasa bagi anak kita pada masa mereka telah dewasa. Tak terkecuali pengalaman Zahid saat ikut aku pulang ke Bengkulu pada 24 - 26 Januari 2010 lalu.

0 comments

Post a Comment