Mau nangis rasanya, membaca berita di Koran Tempo Jumat lalu tentang antrian orang sampai memacetkan jalanan di seputar Senayan City. Orang-orang mengantri untuk membeli sandal dengan harga 300 ribu dan berlian seharga jutaan hingga milyar rupiah. Mereka berdesakan di ruang-ruang mall berpengatur udara yang sejuk.

Tahun lalu, saya menyaksikan sendiri ibu-ibu mengantri berjam-jam hingga pingsan di daerah Jatinegara hanya untuk mendapatkan beberapa liter minyak tanah supaya tetap bisa memasak dengan kompor mereka. Sesuatu yang sungguh paradoks dalam negara bangsa bernama Indonesia.

Fenomena kelas menengah semacam ini pernah disebut oleh teman saya sebagai "menertawai kemiskinan". Sepertinya mereka bangga untuk berbeda dengan orang-orang sebangsanya. Tak peduli, yang penting bisa berbeda selera dengan yang lain, serta harus terlihat lebih tinggi secara sosial dan ekonomi. Ini menyangkut soal prestise. Di kehidupan yang serba semu, prestise adalah tujuan. "Gengsi kami harus lebih tinggi," kira-kira demikian yang jadi semboyan.

Sungguh, saya merasa hidup dalam negeri yang nyaris tak lagi memiliki rasa senasib sepenanggungan. Sering saya mencoba keluar dari kerangka berpikir ini, menjauhkan diri dari realitas sekeliling, dan cukup memikirkan perut sendiri dan keluarga. Tapi kok gak bisa ya?

Keterangan:
Tulisan yang sama pernah dimuat di Politikana
© foto pada Tempo.

Read More......