Mencari Teman Lama

Bermula dari satu postingan di blog Budi Rahardjo, saya menemukan cara untuk mencari jejak-jejak teman lama yang tertinggal di dunia maya. Pak BR ini memprediksi, kelak suatu saat, perusahaan yang akan menyeleksi pegawai baru yang mereka butuhkan dengan mudah melacak siapa si calon pegawainya. Caranya? Dengan mencari informasi di internet. Istilah kerennya sekarang "di-google aja!".

Saya membuktikannya dengan mencari teman satu pondokan ketika masih mukim di Yogya beberapa tahun lalu. Nugraha Firdaus, teman saya ini, pada saat saya mencarinya di internet beberapa bulan lalu, sedang berada di Jambi. Nugraha bekerja untuk salah satu Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang menangani masalah kehutanan di Jambi. Nama Nugraha ada di website Ornop (jangan baca: LSM) itu. Dari sanalah saya menemukan akun imelnya yang merupakan fasilitas dari website tersebut. Saya menghubungi lewat imel, lalu kemudian ia membalas imel saya. Selanjutnya kami kembali bisa berkomunikasi kembali setelah sekitar hampir 3 tahun. Pernah Nugraha menghubungi saya melalui nomor ponsel saya yang ia punya. Sayangnya, hampir dua tahun ini nomor itu sudah berganti, hingga ia tak berhasil mengabari bahwa ia hendak melangsungkan pernikahannya beberapa bulan lalu.

Kali lain, saya mencari informasi tentang Dwi Satya Ardyanto. Dwi adalah teman lama pula ketika sama-sama berkegiatan dalam satu organisasi mahasiswa di kampus Bulaksumur Yogyakarta. Sebenarnya kami berbeda fakultas dan juga jurusan, juga angkatan. Aktifitas dalam satu organisasi telah membuat kami sempat beberapa saat berinteraksi dengan intens. Anak pejabat tinggi Bank Indonesia, namun berkelakuan seperti orang kebanyakan, bahkan cenderung kelihatan lugu saat itu. Mungkin inilah yang membuat teman-teman di sepergaulan menyukainya. Setahun lalu saya sempat bertemu dengannya di bilangan Menteng, tepatnya di jalan Teuku Umar. Rupanya tempat kerja kami tidak begitu berjauhan. Hanya saja kesibukan masing-masing serta pengalaman berbeda selama beberapa tahun tidak berinteraksi, membuat suasana pertemuan kami terasa lain. Setelah saling memberikan nomor seluler, melontarkan kata-kata tak seberapa, hanya sekitar lima menit saja, lalu kami pun berpisah. Sempat sekali berkomunikasi lewat telepon setelah pertemuan itu, lalu kamipun tak pernah bertemu lagi.

Pada pertemuan itu, saya mengetahui kalau Dwi baru pulang dari Swedia. Ia baru menyelesaikan pendidikan strata dua di fakultas hukum University of Lund. Sekitar 3 bulan lalu saya melacak jejak Dwi di dunia maya setelah tidak berhasil menghubungi nomor ponselnya. Saya menemukan satu website yang memajang fotonya serta menuliskan keterangan foto di situ. Rupanya, selama di Swedia Dwi aktif mempelajari ilmu beladiri Kempo Karate. Website resmi olahraga ini memajang Foto Dwi di sana. Dari upaya mencari jejak maya itu pula, saya pun mendapatkan file Thesis Dwi di University of Lund. Ada beberapa blog yang memasang nama Dwi di blogroll-nya. Blogger yang memasang nama itu merupakan teman-teman Dwi ketika masih sekolah di Jakarta. Akhirnya saya temukan juga blog Dwi. Saya mengisi komentar di blognya, sempat pula menulis imel ke alamat imel yang tercantum pada blog itu. Komentar tidak dijawab. Pun imel tidak dibalas. Hingga sekarang saya belum berhasil berkomunikasi kembali dengannya. Saya perhatikan, Dwi memposting tulisan di blognya untuk terakhir kali pada 3 April 2007.

Iseng-iseng, saya pun mencoba melacak informasi salah satu teman sekolah dulu. Irawan Kusuma, teman saya, sedari kecil senang bermain musik. Seingat saya, masa sekolah dulu Irawan sudah menunjukkan kepandaiannya memainkan alat musik Organ. Di rumah tinggal orang tuanya pun, Irawan sudah memiliki kelompok musik yang biasa mengisi acara-acara hiburan di Kota Bengkulu.

Saya ketikkan nama Irawan Kusuma di mesin pencari dunia maya. Akhirnya, saya menemukan satu website kelompok musik. Dari sana saya ketahui Irawan bersama teman-teman lintas negara membentuk sebuah kelompok musik Evolution. Saat ini mereka sedang aktif "ngamen" di negeri tirai bambu. Sebenarnya Irawan masih kerap memposting imel di mailing list alumni sekolah kami dulu. Saya salah satu moderator di situ. Keingintahuan saya tentang aktifitas Irawan membuat saya mencoba melacak jejaknya di dunia maya.

Dari pengalaman saya melacak jejak beberapa teman lama, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan jika hendak melacak seseorang di dunia maya, antara lain:

Pertama, orang yang kita cari aktif menggunakan fasilitas internet. Minimal ia memiliki imel dan bergabung dalam di sebuah mailing list. Kadang kala sebuah mailing list menyimpan arsip imel dari anggotanya yang dinilai bagus untuk di buka (dipublikasikan) sehingga mesin pencari berhasil menemukannya.

Kedua, di era teknologi jejaring sosial seperti blog dan mailing list sekarang ini, biasanya orang yang terlibat di dalamnya mau tidak mau membuka dirinya (entah sengaja atau tidak) untuk diketahui oleh setiap orang melalui mesin pencari. Blog atau weblog sendiri sekarang sedang menjadi tren, yang merupakan teknologi untuk memiliki sebuah website pribadi dan sebagai wadah untuk berekspresi. Dengan memiliki blog, sebenarnya seseorang telah membuat dirinya dikenal oleh banyak orang.

Ketiga, intensitas seseorang menggunakan internet semakin menjadikan jejaknya lebih mudah untuk diketahui. Entah itu berupa blogging, berkirim imel, ataupun mengisi formulir-formulir tertentu secara online.

Hal-hal tersebut di atas mempengaruhi seberapa banyak jejak akan terlihat. Dan itu mempengaruhi sejauh mana kemungkinan kita bisa menghubungi atau sebanyak apa informasi yang berhasil kita dapatkan.

Dari pengalaman ini, saya yakin ada banyak orang yang telah menggunakan cara seperti yang saya lakukan untuk kepentingannya masing-masing. Kalau Anda belum pernah, tidak ada salahnya untuk mencoba. Sekedar untuk tahap awal, silahkan ketik nama lengkap saya SAHERMAN. Setelah memerintahkan mesin pencari untuk bekerja, kelak Anda akan mengetahui, jejak saya yang banyak muncul ada pada weblog Serunai yang saya miliki ini. Selamat mencoba.

Read More......

Mengkonsumsi Berita

Satu dari sekian prinsip penulisan berita media massa yang harus dipegang: cover both side. Saya memahaminya begini, kalau memberitakan satu hal yang berkaitan dengan pihak tertentu, maka tidak hanya satu pihak saja yang dimuat pendapatnya, tapi juga pendapat pihak-pihak yang terkait juga harus ikut disertakan pandangannya. Meski demikian, dalam pemberitaan ini pun ada pembingkaian, sehingga meski sudah mememenuhi syarat cover both side itu pun sebuah berita masih bisa mengarahkan pembaca untuk menyimpulkan setelah menerima berita itu dari media.

Satu contoh mengenai pemberitaan ini ada pada diri Yusril Ihza Mahendra. Dari blog mantan Menteri di tiga kabinet ini, Yusril menjelaskan panjang lebar mengenai tuduhan banyak pihak terhadapnya dalam kasus "uang milik Tomy Soeharto". Dia diopinikan, diberitakan, digambarkan sebagai terdakwa yang harus mendapat hukuman yang berat berkaitan kebijakannya membantu menampung kiriman uang miliki Tomy dan teman-temannya dari Bank Paribas di London. Karena kasus ini menyangkut orang Cendana, maka Yusril pun menjadi bulan-bulanan media tanpa ia mendapat kesempatan untuk menjelaskan dengan cukup duduk persoalan yang sebenarnya.

Hal semacam ini juga terjadi pada kasus lain. Media begitu kuasa dalam membentuk opini masyarakat. Media itu sendiri tak luput dari kepentingan penguasa, entah pemilik modal media massa itu sendiri, orang kuat yang begitu kuasa dalam mengendalikan si pemilik media, atau orang-orang yang selama ini memang berupaya menjadikan media sebagai alat untuk memojokkan pihak-pihak tertentu.

Kebijakan George W. Bush yang memaksa semua orang di seluruh dunia ikut serta dalam upaya memerangi terorisme adalah contoh lainnya. Media massa begitu mudahnya memojokkan satu pihak dan mengangkat pihak lain. Akibatnya, pihak yang menjadi korban tidak memiliki porsi yang cukup untuk diberitakan dari sisi lain. Dalam hal pembingkaiannya, seolah-olah si "korban" adalah pihak yang tidak lain dan tidak bukan adalah kelompok teroris. Semua berita yang berkaitan dengan si "korban" selalu berkait dengan masalah teroris. Lalu berita-berita yang dikonsumsi masyarakat menjadi tidak imbang.

Saya ingin mengatakan, betapa tidak adilnya hal tersebut di atas. Lalu bagaimana sikap kita selaku masyarakat yang harusnya menyadari tentang kemungkinan tidak berimbangnya berita-berita yang kita konsumsi? Saya pribadi selama ini selalu berusaha untuk mencari alternatif sumber berita yang lain yang materi beritanya sama. Untuk itulah, saya berusaha untuk membaca lebih banyak media, entah cetak (koran dan majalah) maupun elektronik (mailing list, website berita online, dan juga radio). Medianya pun tidak hanya dari kelompok yang dinilai pro namun juga kontra. Untuk media massa cetak misalnya, saya berusaha untuk membaca Tempo, Koran Tempo, Republika, Kompas, Media Indonesia, Koran Sindo, bahkan majalah Sabili. Saya memiliki akses ke media-media itu, baik di rumah maupun di kantor.

Pengelompokan media karena kecenderungan dalam pemberitaan suatu hal tertentu memang tidak bisa dihindarkan. Namun alangkah malangnya kalau kita hanya memamah biak informasi dari sumber yang hanya pro atau kontra saja dalam pemberitaanya. Bukankah untuk bisa memahami satu hal itu kita perlu melihatnya dari banyak sisi?

Read More......