Mengkonsumsi Berita

Satu dari sekian prinsip penulisan berita media massa yang harus dipegang: cover both side. Saya memahaminya begini, kalau memberitakan satu hal yang berkaitan dengan pihak tertentu, maka tidak hanya satu pihak saja yang dimuat pendapatnya, tapi juga pendapat pihak-pihak yang terkait juga harus ikut disertakan pandangannya. Meski demikian, dalam pemberitaan ini pun ada pembingkaian, sehingga meski sudah mememenuhi syarat cover both side itu pun sebuah berita masih bisa mengarahkan pembaca untuk menyimpulkan setelah menerima berita itu dari media.

Satu contoh mengenai pemberitaan ini ada pada diri Yusril Ihza Mahendra. Dari blog mantan Menteri di tiga kabinet ini, Yusril menjelaskan panjang lebar mengenai tuduhan banyak pihak terhadapnya dalam kasus "uang milik Tomy Soeharto". Dia diopinikan, diberitakan, digambarkan sebagai terdakwa yang harus mendapat hukuman yang berat berkaitan kebijakannya membantu menampung kiriman uang miliki Tomy dan teman-temannya dari Bank Paribas di London. Karena kasus ini menyangkut orang Cendana, maka Yusril pun menjadi bulan-bulanan media tanpa ia mendapat kesempatan untuk menjelaskan dengan cukup duduk persoalan yang sebenarnya.

Hal semacam ini juga terjadi pada kasus lain. Media begitu kuasa dalam membentuk opini masyarakat. Media itu sendiri tak luput dari kepentingan penguasa, entah pemilik modal media massa itu sendiri, orang kuat yang begitu kuasa dalam mengendalikan si pemilik media, atau orang-orang yang selama ini memang berupaya menjadikan media sebagai alat untuk memojokkan pihak-pihak tertentu.

Kebijakan George W. Bush yang memaksa semua orang di seluruh dunia ikut serta dalam upaya memerangi terorisme adalah contoh lainnya. Media massa begitu mudahnya memojokkan satu pihak dan mengangkat pihak lain. Akibatnya, pihak yang menjadi korban tidak memiliki porsi yang cukup untuk diberitakan dari sisi lain. Dalam hal pembingkaiannya, seolah-olah si "korban" adalah pihak yang tidak lain dan tidak bukan adalah kelompok teroris. Semua berita yang berkaitan dengan si "korban" selalu berkait dengan masalah teroris. Lalu berita-berita yang dikonsumsi masyarakat menjadi tidak imbang.

Saya ingin mengatakan, betapa tidak adilnya hal tersebut di atas. Lalu bagaimana sikap kita selaku masyarakat yang harusnya menyadari tentang kemungkinan tidak berimbangnya berita-berita yang kita konsumsi? Saya pribadi selama ini selalu berusaha untuk mencari alternatif sumber berita yang lain yang materi beritanya sama. Untuk itulah, saya berusaha untuk membaca lebih banyak media, entah cetak (koran dan majalah) maupun elektronik (mailing list, website berita online, dan juga radio). Medianya pun tidak hanya dari kelompok yang dinilai pro namun juga kontra. Untuk media massa cetak misalnya, saya berusaha untuk membaca Tempo, Koran Tempo, Republika, Kompas, Media Indonesia, Koran Sindo, bahkan majalah Sabili. Saya memiliki akses ke media-media itu, baik di rumah maupun di kantor.

Pengelompokan media karena kecenderungan dalam pemberitaan suatu hal tertentu memang tidak bisa dihindarkan. Namun alangkah malangnya kalau kita hanya memamah biak informasi dari sumber yang hanya pro atau kontra saja dalam pemberitaanya. Bukankah untuk bisa memahami satu hal itu kita perlu melihatnya dari banyak sisi?

0 comments

Post a Comment