Menjemput Kematian

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS Ali Imran: 185)

Jumat, 22 Juni 2007. Saya pulang ke rumah lebih cepat dari jam kantor seharusnya. Istri meminta saya untuk pulang pukul 16, supaya tidak kena macet, dan bisa tiba di rumah pada saat waktu shalat Maghrib. Teman kami yang dulu pernah mengontrak rumah di depan tempat tinggal kami, ingin bersama kami menghadiri undangan syukuran tetangga di ujung jalan rumah yang kami tempati sekarang. Kalau saya pulang pukul 16, kemungkinan besar tidak akan menghadapi kemacetan Jakarta. Apalagi hari Jumat sore, banyak pekerja di Jakarta akan pulang ke rumah mereka di Karawang, Bogor, Cianjur, Sukabumi, Kuningan dan sekitarnya. Menurut informasi yang pernah saya baca di majalah Femina tahun lalu, jumlah Penduduk Jakarta sebenarnya hanya 9 juta jiwa. Namun pada hari-hari kerja penduduk yang memadati Ibukota Negara ini mencapai 12 juta orang. Berarti ada sekitar 3 juta orang yang berstatus komuter.

Perjalanan pulang ke rumah sama lamanya dengan perjalanan berangkat ke kantor, yakni memakan waktu 2 jam. Kalau hari Jumat, karena kemacetan, perjalan bisa mencapai 3 jam. Karena ingin memenuhi undangan tetangga itu, maka mau tidak mau saya harus pulang lebih cepat. Rencana pulang tepat pada pukul 16 sore, tetapi karena ada yang harus saya selesaikan, serta tidak juga kalau tiba-tiba saya pulang lebih dulu dari teman-teman sekerja lainnya, akhirnya saya pulang pukul 16.30. Tiba di rumah sudah pukul sekitar 18.30.

Tiba di rumah rupanya teman kami belum datang. Yang ada kabar dari istri bahwa Ibunya Pak Rozak, tetangga kami yang sedang punya hajatan itu, meninggal pada waktu Subuh tadi pagi. Meski hanya berjarak sekitar 8 rumah, istri saya belum ke sana untuk memenuhi undangan syukuran anak pak Rozak yang baru saja disunat, karena rasa tidak enak kalau ke sana hanya sendiri tanpa suami. Tetanggapun sudah mengetahui kalau saya biasa pulang malam. Siang tadi istri bertanya pada tetangga sebelah, kenapa panggung sudah dipasang namun tidak ada suara nyanyian atau musik yang sudah Pak Rozak sekeluarga rencanakan. Ternyata keluarga yang empunya hajatan sedang berduka. Karena undangan sudah menyebar kemana-mana, tidak hanya di komplek perumahan kami namun juga ke teman-teman kerjanya di kantor, akhirnya syukuran tetap diselenggarakan.

Sajian jamuan tetap dihidangkan sejak pagi. Istri pak Rozak adalah pengusaha warung makan yang cukup besar, tentu sajiannya pun cukup banyak dan bervariasi. Sepertinya sebagian besar undangan yang tidak tinggal di dekat kami belum mengetahui bahwa sesungguhnya pak Rozak sedang berduka. Pak Rozak dan istrinya pun berusaha untuk menyambut tamu-tamunya dengan senyum ramah. Saya, istri, dan Pak Ali serta Abla Neneng teman kami itu tiba di rumah pak Rozak sekitar pukul 19.15. Bertemu dengan tuan rumah, menyatakan ikut berduka cita, serta mendengarkan cerita tentang peristiwa kematian ibunya. Seringkali kesedihan yang menimpa seseorang sedikit terkurangi dengan cara bercerita. Karena itu pulalah kami berusaha mendengarkan cerita itu. Kami tahu, kalau bukan karena sudah mengundang banyak orang ke rumah, tentunya tuan rumah sudah ikut mengantar pulang jenazah almarhumah ke Madura. Memuliakan tamu adalah sebuah kewajiban bagi umat Islam.

Setelah berbincang, lalu kami pun menikmati hidangan yang ada. Setelah mengobrol banyak hal, mulai dari keinginan pak Ali dan Abla Neneng untuk tetap memiliki momongan meski usia sudah mendekati kepala empat hingga modus korupsi penyelenggara Negara, tentang pekerjaan kami masing-masing, bahkan perkembangan isu hangat yang terjadi di tanah air. Pukul 20 lebih, kami melihat pak Rozak sudah berganti baju dari batik ke kaos berkerah dan memegang tas. Pak Rozak sudah siap berangkat ke bandara. Hanya sendiri. Ia akan ke Surabaya dengan pesawat pada pukul 22 untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Madura. Sudah terlihat raut sedihnya, ibu kandung meninggal, dan ia akan segera melepasnya ke tempat peristirahatan terakhir karena memenuhi panggilan-Nya.

Usia ibu pak Rozak sudah 70 tahun. Bagi kebanyakan orang, pada usia tersebut wajar seseorang meninggal dunia. Sudah tua. Ya, karena usia sudah tua. Memang pada usia itu sudah saatnya orang meninggal dunia. Namun, tidak banyak orang menyadari bahwa orang bisa meniggal dunia pada usia berapa saja. Jika masa hidup di dunia sudah sampai pada batasnya, orang pun akan meninggalkannya. Setiap orang bisa meninggal pada usia beberapa bulan, 23 tahun, atau pada usia 101 tahun. Meninggal bisa karena sakit, karena kecelakaan, bahkan dalam kondisi sehat dan segar. Kalau memang sudah saatnya ajal itu tidak akan pernah mundur waktunya. Tidak ada yang bisa mengetahui kapan ia meninggalkan kehidupan dunia yang fana ini.

Demikianlah Allah SWT, sang khalik, menciptakan manusia. Manusia harus beribadah, berbuat kebaikan. Khidupan dunia hanya sementara. Hanya mampir minum kata salah seoran wali penyebar Islam di tanah Jawa yang sembilan itu. Dalam Islam, kehidupan itu tidak hanya di dunia. Ada kehidupan yang kekal di akhirat. Di kehidupan yang kekal itu, orang bisa menjalaninya dengan baik, mengalami bahagia, dan di tempatkan di Syurga. Bagi manusia yang di kehidupan dunia hanya melakukan kejahatan, memiliki seburuk-buruk sifat dan perbuatan, maka ia akan mengalami kesengsaraan di kehidupan akhirat, menderita dengan segala siksa-Nya, dan berada di Neraka.

Banyak orang yang tidak percaya mengenai adanya kehidupan di akhirat, kehidupan setelah di dunia. Namun, ada juga yang berpikir dengan logika yang cukup menarik, "Kalau saja orang jahat dan menyengsarakan orang lain serta membuat kerusakan di muka bumi ini tidak mendapat pembalasan atas perbuatannya itu, alangkah enaknya hidup mereka. Lalu orang berlomba-lomba berbuat kejahatan untuk memenuhi segala keinginannya selama hidup di dunai". Sungguh kehidupan ini tidak adil pada semua umat manusia. Yang kuat menjadi pemenangnya. Yang lemah akan selalu sengsara. Nah, kehidupan akhirat mendapatkan keberadaannya dalam logika orang yang berpikir demikian. Tentulah, di akhirat kelak, mereka yang zalim akan mendapatkan pembalasan atas kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan.

Agama mengajarkan manusia untuk berbuat kebaikan. Islam menjelaskan penciptaan manusia semata untuk beribadah kepada-Nya. Beribadah berarti berbuat kebaikan. Bahkan kebaikan itu, kalau kita mau berpikir sehat, amatlah mudah. Tersenyum kepada orang yang berpapasan dengan kita sudah termasuk ibadah. Dengan berbuat kebaikan, kita menyiapkan bekal untuk menjalani kehidupan di akhirat.

Begitu dekatnya kematian pada diri kita, bahkan kita tidak tahu kapan kita akan mati. Mungkin beberapa menit lagi, satu jam lagi, beberapa hari lagi. Atau mungkin nanti, saat kita tidur malam ternyata kita sudah tidak bisa lagi bangun melihat kehidupuan di dunia ini. Jadi tunggu apalagi, mari berbuat amal kebaikan. Tinggalkan semua yang dilarang oleh-Nya dan kerjakan apa saja yang diperintah-Nya. Dengan demikianlah kita menyiapkan diri menjemput kematian, menyongsong kehidupan yang lebih abadi di akhirat nanti.

1 comments

  1. Anonymous  

    June 28, 2007 at 10:42 AM

    Kematian, begitu dekat tapi kita tak siap. Terima kasih atas renungan Anda.

Post a Comment