Kiblat

Peristiwa ini terjadi tahun 2000 lalu. Ceritanya saya bersama-teman tim pembawa bantuan dari Surat Kabar Kedaulatan Rakyat Yogyakarta membawa sumbangan warga Yogya untuk korban gempa bumi di Bengkulu. Sebagai orang Bengkulu, saya bersama teman-teman dari Bengkulu dipercaya untuk menjadi tim lapangan untuk memastikan semua bantuan tersalurkan ke masyarakat di banyak tempat. Maklum, gempa besar dengan kekuatan 7,3 SR saat itu mengundang banyak pihak untuk memberikan bantuan untuk menolong warga. Kalau asal-asalan, akan ada warga yang menerima bantuan berlimpah sementara tak sedikit mereka yang justru kekurangan bantuan.

Di sela-sela waktu bertugas itu, saya pulang ke rumah orang tua. Saya sembahyang dzuhur di rumah. Sajadah saya bentangkan di ruang belakang. Setelah selesai, rupanya ibunda memperhatikan saya.

"Menghadapnya kok kesana?" tanya ibu.

Saya kaget.

"Seharusnye kemane, Mak?" tanya saya dalam bahasa Kaur.

"Kesitu" kata ibu saya menunjuk ke arah depan rumah.

Tadi saya sembahyang menghadap ke arah kanan rumah. Akhirnya saya sadar kalau tadi saya bersembahyang ke arah Utara. Dengan posisi pulau Sumatera yang berada di bagian Timur kalau dari Tanah Suci Mekkah, seharusnya saya memang menghadap ke arah Barat. Setalah tiga tahun merantau ke Yogya, saya lupa arah kiblat ketika berada di rumah orang tua di sini.

Menurut penjelasan seorang saudara saya yang lulusan Pondok Pesantren Gontor, secara bahasa, kiblat (qiblatun/qiblah) adalah nomina (mashdar) berarti hadapan/tempat menghadap. Ia berakar dari verba qabila yang berarti menghadap.

"Secara khusus (Islam), Kiblat adalah tempat (baca:arah) kepada mana kaum muslimin menghadapkan wajahnya ketika shalat. Sebelum turunnya surat al-Baqarah: 144, Kiblat kaum muslimin adalah Masjidil Aqsha. Setelah turunnya ayat tersebut: berubah ke Masjidil Haram."

Kiblat adalah arah shalat (orang Melayu menyebutnya "sembahyang") yang menuju satu titik yakni Masjidil Haram yang ada di Mekkah. Semua ummat Islam yang melaksanakan Rukun Islam kedua tersebut mengarah kesana. Karena dari posisi Indonesia Kiblat itu adanya di sebelah barat--meski sesungguhnya juga agak ke barat laut sedikit, makanya orang di sini lebih sering menyebut Barat untuk menunjuk ke kiblat saat sembahyang.

Selain arah menghadap saat sembahyang, kiblat juga merupakah arah kepala hewan yang disembeliih dan arah kepala jenazah ketika dimakamkan. Informasi sederhana tentang kiblat ini dapat diperoleh di tautan ini.

Seorang teman yang baru pulang dari sekolah master di Belanda dua tahun lalu bercerita. Teman-temannya dari Suriname di Belanda melakukan sembahyang menghadap ke arah Barat. Ketika ditanya kenapa demikian, mereka menjawab singkat, "Karena dari nenek moyang kami dulu kalau melaksanakan shalat kiblatnya ke arah Barat." Padahal posisi Ka'bah jika di negeri Kincir Angin itu mestinya ke arah Timur.

Kisah teman di Belanda tadi saya ceritakan ke teman-teman saya di Alimat di dalam satu pertemuan. Mereka pun sudah mendapatkan kisah yang sama dari pengalaman berinteraksi dengan orang Suriname. Mereka yang berada di Suriname merupakan keturunan orang-orang Jawa masa penjajaha Belanda. Mereka di bawa ke negeri itu sebagai tenaga budak dan akhirnya beranak pinak di sana. Karena orang Jawa zaman dulu menghadap ke Barat saat shalat, akhirnya anak cucunya ikut demikian. Aneh, tetapi itulah kenyataan.

Saat saya ditegur ibunda usai melaksanakan sembahyang di Bengkulu 13 tahun lalu itu, saya hanya tersenyum-senyum saja. Sembahyangnya tetap sah dalam ajaran Islama. Pertama karena itu dilakukan tanpa sengaja dan karena ketidaktahuan. Kesalahan demikian selalu mendapatkan pengampunan dari Allah SWT. Kedua, di dalam ajaran Islam, kalau dalam kondisi arah Kiblat tak diketahui, maka mereka yang sembahyang mengikuti keyakinannya arah mana Kiblat itu. Dan ibunda saya pun sangat memahami kondisi saya.

"Kemanapun kalian menghadap, di situlah 'Wajah' Allah" (QS. Al-Baqarah:115). Demikianlah yang diajarkan dalam Islam. Dan Allah pun ada dimana-mana.

0 comments

Post a Comment