12 Tahun Pasca Putih Abu-abu

Kemacetan jalan-jalan di Jakarta, pekerjaan yang menumpuk, suasana relasi yang cenderung saling tidak peduli pada orang di kanan-kiri, rasanya merupakan salah satu kepenatan sendiri untuk aku. Tinggal di Bogor dan bekerja di Jakarta bukan hal yang mudah. Ditambah lagi secara ekonomi masih terhitung pas-pasan dan terus bepikir bagaimana caranya untuk hidup tenang dan bahagia dalam kondisi apa pun. Kalau perlu menertawakan diri sendiri menjadi satu cara menuju ke sana.

Hari-hari belakangan ini aku merasa bahagia. Di tengah-tengah kepenatan menghadapi situasi tersebut, ternyata berkumpul dengan teman-teman lama merupakan satu jeda untuk refreshing. Bulan Ramadhan lalu, aku mengikuti reuni sekaligus berbuka puasa bersama dengan teman-teman semasa SMA. Lalu hari Ahad lalu, 11 Oktober, teman-teman seangkatan dari JIP Fisipol UGM mengajak berkumpul bagi semua alumni 1997 di Jakarta. Tadi malam ngobrol dengan Wahid Arsyad, teman dekat masa-masa kuliah yang kebetulan sedang berada di Jakarta serta tak sempat ikut reunian di blok M dengan teman-teman kuliah pada Ahad lalu. Sebelumnya, 8 Oktober, aku bertemu dengan Ochy teman masa kecil di Bengkulu. Insya Allah akhir pekan ini aku pun akan bertemu Rendi, sama seperti Ochy, teman dekat masa-masa sekolah di SDN 66 desa Tanjung Jaya, Bengkulu.

Reuni dengan teman-teman SMA menarik perhatian aku. Undangan dikirim oleh Fitri Herlita, teman waktu di kelas 2C, lewat pesan di facebook. Meminjam istilah anak-anak sekarang, judulnya menggigit banget: 12 Tahun Pasca Abu-abu. Belasan yang hadir, baik mereka yang pernah sekelas (dalam arti dalam satu ruang kelas), maupun tidak. Bahkan lucunya, Henny Perwitasari yang tidak pernah sekelas denganku tidak tahu nama sehingga harus bertanya pada teman lainnya. Demikian pun dengan aku sendiri, hanya ingat wajahnya namun tak tahu siapa namanya. Di SMAN 4 (sekarang SMUN 5) Bengkulu, ada 6 ruang kelas secara paralel, untuk semua level kelas 1 hingga kelas 2. Selanjutnya, di kelas 3 kami dibagi menjadi 2 jurusan, jurusan IPS terdapat 3 kelas dan demikian pula untuk jurusan IPA. Tak seperti sebelumnya, jurusan Budaya atau Bahasa ditiadakan pada periode kami. Reunian ini mempertemukan kami setelah 12 tahun terpisah karena melanjutkan pendidikan di berbagai kota dan seterusnya memasuki dunia kerja di Jakarta dan sekitarnya. Buka puasa bersama berlangsung di restoran Tawan, Pacific Place jalan Sudirman pada 3 September lalu.


Ahad lalu, 11 Oktober adalah pertemuan dengan teman-teman kuliah. Tidak tahu pasti ada berapa alumni seangkatan yang ada di Jakarta. Yang jelas, juga melalui facebook Makhrus telah menghubungi beberapa teman sepekan sebelumnya untuk melakukan pertemuan ini. Yang hadir hanya 6 orang. Ada Desianto yang masih betah jadi PNS di Gedung DPR/MPR Senayan, juga Pramaarta yang tempat kerjanya sama dengan Desianto namun berstatus staf ahli, Sari yang bekerja di Bank DKI, Ayu yang bekerja di BNI, Harunti di Depdagri, Makhrus yang bekerja di perusahaan IT dan aku sendiri yang menjadi "pekerja sosial". Bertemu teman-teman Yogya memberikan kesan sendiri. Entahlah, aku merasa sepertinya kami bertemu dengan penuh bahagia, bercerita tentang masa-masa kuliah, tentang Yogya, tentang teman-teman yang tak dapat ikut serta, serta hal-hal lainnya. Berbeda dengan reunian lain yang pernah aku ikuti, suasana bertemu dengan teman-teman kali ini terasa sederhana tapi menyenangkan. Barangkali karena kami produk Yogya :))

Wahid Arsyad adalah salah satu teman dekatku semasa di Yogya. Saat ini ia tinggal di Lampung sebagai PNS guru di sekolah Depag, serta juga nyambi memelihara Muhammadiyah di sana dengan menjadi kepala sekolah, ketua Pemuda Muhammadiyah, dan beberapa hari terakhir ini berada di Jakarta untuk mengikuti pembekalan sebelum melakukan survey sebuah proyek lembaga internasional yang banyak memberikan hutang untuk Indonesia. Arsyad dikenal sebagai mahasiswa Musholla (katanya Sari loh...) sama seperti Saleh yang sekarang kembali ke kampung halamannya di Surakarta. Ia menempuah pendidikan di fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga selain di Fisipol UGM. Itu pula yang menyebabkan ia dapat menjadi pegawai di Departemen Agama. Tadi malam kami bercerita tentang banyak hal hingga larut malam di hotel Sahid Jaya Jakarta. Sama seperti dulu, ia masih tetap kritis namun mengakui kalau kekurangan banyak informasi setelah berpindah ke daerah. Tapi aku masih suka berdiskusi dengan teman satu ini.

Ochy adalah salah satu temanku masa-masa di SD. Saat ini bekerja untuk sebuah perusahaan pertambangan di Bengkulu. Kami bercerita tentang kawan-kawan lama serta tentang diri kami masing-masing. Miris juga mendengar kisah teman-teman kecil dulu yang ternyata menghadapi kesulitan ekonomi sehingga pendidikan tinggi mereka harus putus di tengah jalan karena memilih bekerja sebab tak ada biaya. Ada juga cerita tentang cita-cita ingin melanjutkan studi di luar Bengkulu namun terpaksa menerima kehendak orang tua untuk memilih pendidikan keguruan dan di UNIB supaya kelak menjadi PNS sebagaimana kehendak kebanyakan orang tua di Bengkulu. Entahlah, aku pikir tak hanya di daerah kelahiran aku itu, banyak orang menjadikan PNS sebagai cita-cita final dan rela mengeluarkan uang puluhan juta rupiah untuk status PNS.

Ochy, menurut cerita Yeni Yunidarti yang kutelepon sehari setelah mendapatkan nomor kontaknya, berpenampilan sedikit tomboy. Cerita itu sedikit berbeda jika kubandingkan dengan foto-foto Ochy yang banyak terdapat di facebook. Saat kami bertemu ia memang terlihat penuh keberanian serta percaya diri tinggi. Ochy bekerja untuk sebuah perusahaan asing yang cukup menjamin kebutuhan hidupnya sehari-hari. Karena kepercayaan dan kedekatan dengan Bos (yang juga perempuan sukses seperti terkesan dari cerita yang kutangkap), Ochy memiliki kebebasan untuk bertamasya ke seluruh Indonesia jika sudah penat dengan pekerjaan. Dari Ochy pula aku memahami Bengkulu saat ini dari konstelasi politik elit-elit di daerah.

Insya Allah akhir pekan ini aku akan bertemu Rendi. Sesuai dengan janji aku pada Ochy, aku ingin mengajak Rendi untuk merencanakan berkumpul dengan teman-teman kami dulu. Mungkin akhir tahun ini, atau bisa jadi lebaran idul fitri tahun depan. aku dan rendi cukup dekat dan berpisah kira-kira 5 tahun lalu. Rendi menamatkan kuliah di jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Kakak dan saudara-saudara sepupunya menempuh pendidikan di UGM. Mereka menyewa sebuah rumah di sebelah utara kampus biru itu. Rumah itu pula yang setelah gempa hebat di Bengkulu tahun 2000 menjadi sekretariat Forum Silaturrahmi Mahasiswa Muslim Bengkulu di Yogyakarta. Aku sering main ke sekretariat itu. Aku dan Rendi sudah berjanji bertemu akhir pekan ini.

Bertemu dengan teman lama, bercerita tentang masa-masa lampau serta berbagi kabar masing-masing pada saat ini merupakan satu cara untuk melepaskan beban. Mengenang masa lalu betul-betul menyenangkan. Untuk aku, ini merupakan cara mengisi jeda untuk melanjutkan perjalanan ke masa depan. Mungkin itu pula yang menyebabkan orang rela mengeluarkan uang jutaan rupiah hanya untuk bersama-sama mengikut konser kelompok musik yang tenar di masa mereka muda. Atau, yang sekarang lagi tren ada komunitas 80-an, yang membuat blog untuk berbagi cerita, serta mengikuti secara rutin acara di salah satu televisi swasta bertajuk "Zona 80". Sebenarnya, sekitar 6 tahun lalu aku pun senang mendengarkan acara the seventies hits yang diasuh oleh Helmi Yahya di sebuah jaringan stasiun radio ibukota setiap pekannya. Meski masuk dalam kategori generasi 90-an, lagu-lagu itu cukup akrab menemaniku belajar saat itu.

Bagi beberapa orang, reuni bisa jadi merupakan saat dimana orang yang "sukses" ingin menunjukkan kesuksesannya pada teman-teman lama. Ini yang sempat diungkap seorang seniorku yang menjadi Anggota DPR-RI mewakili propinsi DI Yogyakarta beberapa tahun silam, ketika aku mengabari ada reunian alumni organisasi tempat kami pernah memupuk aktivisme mahasiswa. Ia ogah untuk ikutan karena ia anggap sebagai sesuatu yang sia-sia dan hanya memunculkan rasa sombong. Buat aku sendiri, perjumpaan dengan teman-teman lama ibarat berkaca diri sudah berbuat apa saja dalam hidup ini sejak perpisahan dengan mereka. Juga, upaya mengobati rasa kangen yang bisa menjadi sumber energi baru.

Membangun dan memelihara relasi bisa jadi memang merupakan langkah seorang politisi untuk membangun dan memelihara kekuatan dukungan. Buatku, cukuplah ini sebagai upaya mengeratkan tali silaturrahmi. Dan, sungguh ini bukanlah sesuatu yang "sia-sia"....

3 comments

  1. NEW for HOPE  

    November 21, 2009 at 1:23 PM

    wahhh.....saya pengen juga kumpul2 dengan teman-teman yang dulu pernah jadi teman se SMU 5
    :P
    tapi kpn yaa........
    saya minder bgt kl ketemu, soalnya teman2 saya udah pada jadi "orang" saya masih berkutat dan masih menjadi "anak buah orang"...

    btw, good luck dech yaa...
    salam buat semua, Insya Allah kl gusti Allah kasi jalan kita pasti bertemu, dan mungkin bertemu agak sedikit aneh dan bertanya2....iki sopo-iki sopo ???
    hehehe.....

  2. Saherman  

    November 23, 2009 at 11:36 AM

    Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya.

    Tapi, ini siapakah? Hanya bisa menebak-nebak siapa diantara alumni SMUN 5 yang memiliki bahasa silaturrahim begini ini. Barangkali Nata. Tapi, whoever you are, thank you so much for dropping by.

  3. Unknown  

    November 25, 2015 at 9:53 PM

    memang mantep kl ketemu n reuni temen lama, apalagi kl dah puluhan tahun, pgn rasanya berkumpul kembali. nostalgila...

    ilmugeologitambang

Post a Comment