Kehidupan orang di kota-kota besar macam Jakarta seringkali melalaikan kebutuhan manusia untuk bersosialisasi, bahkan menjalin persaudaraan dengan orang-orang di sekeliling tempat tinggalnya. Berangkat pagi dan baru pulang setelah malam hari. Pada akhir pekan Sabtu-Minggu, orang-orang pun sibuk dengan urusan sendiri tetapi masih dengan orang-orang di luar lingkungan terdekat tempat tinggalnya. Kebanyakan orang--mudahan-mudahan penilaian saya salah--berlomba memburu prestise dalam bentuk prestasi yang bersifat material. Lupa bahwa diri ini hidup di tengah-tengah masyarakat, yang bahkan di lingkungan paling dekat, yakni mereka yang ada di sekeliling rumah kita. Bahasa Indonesia menamakannya "tetangga".

Penting sekali menjaga silaturrahim, persaudaraan, terutama dengan tetangga. Mereka adalah orang-orang terdekat dengan kita. Paling dekat dengan rumah tinggal kita. Ketika kita sakit, anggota keluarga kita mendapat musibah, bahkan ada yang meninggal, merekalah yang pertama kali datang menjenguk kita. Hal semacam ini biasa terjadi di kampung atau pedesaan. Tapi bukan tidak mungkin suasana ini bisa terjadi di sekitar kita yang meskipun bukan di tengah kota tetapi sudah terjangkiti penyakit individualisme masyarakat perkotaan.

Bagaimana menjaga silaturrahim dengan tetangga? Ini adalah pertanyaan yang dilontarkan seorang ustadz dalam satu forum pengajian. Modalnya tidak mahal kok. Kalau Anda suka membuat kolak, apapun bahannya, modal yang dibutuhkan untuk membuatnya tidak sampai lebih dari 20 ribu rupiah. Kalau yang sederhana saja untuk keluarga kecil seperti di keluarga saya, membuat kolak membutuhkan biaya tidak lebih dari 10 ribu rupiah. Kolak itu, selain untuk keluarga kita, pisahkan satu ada dua mangkok untuk tetangga. Sedikit memang, tetapi dengan ketulusan hati memberikannya dengan tetangga sebelah kiri-kanan atau di hadapan rumah, kolak sedikit itu merupakah wujud rasa persaudaraan yang luar biasa dampaknya. Selain kolak, bisa pula makanan ringan lainnya, tetapi masih buatan sendiri. Juga bisa dengan berbagi buah pepaya, jambu, rambutan di samping rumah, yang ketika matang dibagi-bagikan dengan tetangga. Berbagi seperti ini tidak dilakukan setiap hari, bisa hanya sekedar cara untuk bertanya bagaimana kabar tetangga.

Saya merasakan betul dampak berbagi makanan kecil dengan tetangga. Sering ketika istri mengantarkan makanan untuk tetangga, piring atau nampan wadah makanan itu ditahan oleh tetangga karena mereka ingin mengembalikannya dengan diisi makanan dari mereka. Sesering itu pula istri saya berusaha supaya wadah itu langsung kembali setelah isinya diserahkan. Tidak baik memberikan sesuatu kepada orang lain dengan berharap mereka akan membalas hal serupa. Kami hanya ingin melestarikan kebiasaan berbagi rezeki yang biasa terjadi saat masih tinggal di desa. Alhamdulillah, akhirnya kebiasaan ini mulai terjadi lagi--kami yakin dulunya hal ini biasa dilakukan oleh tetangga kami--dan ini semakin mengakrabkan lingkungan kami.

Ada suatu hadist, yang kurang lebih berbunyi "Kalau kamu masak, perbanyaklah kuahnya untuk bisa dibagi dengan tetangga". Maksud dari hadist ini adalah supaya kita mau berbagi rezeki dengan tetangga.

Saya ingat ulasan seorang ahlti tafsir Al-Quran yang cukup ternama di tanah air. Ada empat macam persaudaraan dalam ajaran Islam. Pertama, adalah persaudaraan karena seiman, sesama pemeluk Islam, yakni ukhuwah Islamiyah. Kedua, persaudaraan karena ikatan darah atau ikatan keluarga. Ketiga, persaudaraan karena sebangsa. Terakhir, adalah persaudaraan sesama manusia. Semua jalinan persaudaraan itu harus berjalan seimbang sebagaimana Islam selalu menekankan "keseimbangan"dalam menjalani hidup. Yang demikian itu lebih mendekatkan diri pada "taqwa". Persaudaraan yang paling tinggi kedudukannya adalah persaudaraan karena ikatan keimanan.

Selain dengan berbagi tersebut, cara lain untuk menjaga hubungan dengan tetangga bisa dengan ikut bergotong royong membersihkan lingkungan, ikut pertemuan rutin RT, atau ikut ngobrol ketika bertemu dengan tetangga lainnya yang sedang ngobrol. Waktu tidak boleh selalu dinilai dengan uang. Berangkat pagi dan baru pulang menjelang malam merupakan kendala luar biasa untuk bersosialisasi dengan tetangga. Saya merasakan itu semua. Alhamdulillah masih bisa bertegur sapa di akhir pekan.

Saat mukim di Yogyakarta, kakak saya yang baru datang dari Bogor pernah mengingatkan supaya saya tidak sering menutup kamar kos-kosan tempat saya tinggal. Secara psikologis, sering menutup kamar adalah gejala menutup diri dari pergaulan dengan orang-orang sekitar. Di kota-kota atau perumahan elit, justru rumah dikelilingin pagar yang begitu tinggi. Sampai-sampai tetangga tidak tahu kalau terjadi pencurian di rumah sebelah.

Suatu hari, tahun lalu, ada penghuni perumahan elit di sebelah timur Cibubur, Jakarta Timur yang anggota keluarganya meninggal. Tidak satu pun tetangga kiri-kanannya yang tahu kejadian itu. Dari mulai memandikan, menyalati, hingga menguburkan, semuanya dilakukan oleh orang-orang "bayaran". Saya tidak bisa membayangkan bisa hidup dalam suasana demikian.

2 comments

  1. Anonymous  

    May 20, 2008 at 2:27 PM

    hi.. me PR3.. link me and buzz me.. i ll link u back.. i have one more site.. http://abisheks.blogspot.com.. please link this also..

  2. Anonymous  

    May 21, 2008 at 3:46 PM

    kita dah kenal mas. cuma sy ganti template aja. tuh link mas ada di saya. atau maksud mas kita pernah ketemu?

Post a Comment