Filosofi Hidup Orang Bengkulu

Orang Bengkulu asli, terutama di kota Bengkulu, memiliki filosopi hidup yang unik. Sederhana tapi juga menarik, serta mengandung pandangan hidup yang dalam. Beginilah bunyinya:

Ikan sejerek
Bere secupak
Rokok Gudang Garam sebatang

Madar...

Ikan sejerekmaksudnya adalah ikan hasil tangkapan (biasanya memancing di sungai, rawa, atau di laut), diikat dengan tali wi (rotan) yang masih kecil (seukuran lidi kelapa). Ikan pertama diikat dengan salah satu ujung wi dari lubang insang dan keluar dari mulutnya. Ikan-ikan lainnya disusun dengan cara memasukkan ujung wi satu lagi dari lubang insang menembus ke mulutnya. Lalu sejerek ikan itu terlihat susunan ikan yang dibawa dengan seutas tali wi. Jerek ini sebenarnya tidak hanya menggunakan wi, namun bisa juga dengan sebuah lidinau (aren), dahan kecil semak-semak yang ditemui atau lainnya yang bisa menjerek ikan.


Bere adalah beras. Huruf epertama diucapkan seperti melafazkan kata "belajar" atau "senjata". Huruf ekedua berbunyi seperti kita mengucapkan kata "ekologi" atau "pepes".

Cupak adalah ukuran yang setara dengan satu setengah liter. Secupak berarti satu setengah liter.

Dahulu, Gudang Garam merupakan salah satu merek dagang rokok yang diakrabi oleh kelompok masyarakat yang perokok. Untuk itulah ia menjadi salah satu merek yang diinginkan untuk dinikmati oleh kelompok masyarakat itu.

Madarberarti istirahat. Dalam bahasa Kaur atau Bintuhan berarti tulik. Atau tidur. Tapi madarini memiliki makna beristirahat, melepas lelah, namun betul-betul melepaskan beban hidup setelah seharian menjalani dan menikmati.

Bagi saya, filosopi hidup ini menggambarkan kesederhanaan orang Bengkulu dalam menjalani hidup. Hidup selalu mengambil segala sesuatu dari alam secukupnya, tidak melebihi dari ukuran yang menjadi kebutuhan. Ikan sejerek menggambarkan orang mengambil kekayaan alam berupa ikan hanya sekedar untuk makan sekeluarga. Sejerek ikan jamak hanya sekitar lima sampai belasan ikan ukuran sedang (tak lebih besar dari telapak tangan orang dewasa).

Untuk ukuran keluarga batih, bere secupak cukup untuk makan dua tiga hari. Maka bere sebanyak itu cukuplah untuk menjalani hidup.

Bagi perokok, makna sebatang rokok bisa merupakan ungkapan bahwa dengan hanya merokok sebatang dalam sehari sudah terasa cukup. Tidak perlu menjadi perokok berat yang menghabiskan tidak kurang dari satu bungkus setiap harinya.

Setelah mendapatkan ikan sejerek, bere secupak, dan sebatang rokok, rasanya sudah cukup pencarian rezeki hari ini. Sehingga, selanjutnya adalah madar, beristirahat, atau memanfaatkan waktu untuk bercengkrama dengan orang di sekelilingnya.

Betapa sederhananya hidup. Tidak perlu ngotot bekerja membanting tulang mati-matian serta mengeksploitasi kekayaan alam tanpa henti dan tanpa hati nurani, namun demikian hidup ini bisa begitu indah dijalani. Apa yang diperoleh segera dinikmati. Jika memang ada lebihnya, maka itu bisa disimpan untuk beberapa hari kedepan. Dengan demikian pengelolaan penghasilan juga ada, memisahkan yang untuk dinikmati hari ini serta ada pula yang perlu disimpan (saving ). Tidak ada perilaku eksploitatif di dalamnya. Tidak pula ada keserakahan. Sangat sederhana bukan?

Mungkin sebagian besar orang akan menilai orang Bengkulu yang masih memegang filosofi hidup di atas adalah manusia-manusia primitif. Bertentangan dengan kehidupan orang moderen yang serba akumulatif dalam pencapaian (terutama dalam materi), selalu memacu percepatan, serta habiskan yang ada kalau perlu sampai tandas. Persaingan adalah satu sumber energi yang luar biasa dalam upaya memperoleh sebanyak-banyaknya. Tidak peduli kanan kiri, yang ada hanya memikirkan diri sendiri. Tak ada waktu untuk membangun relasi secara lebih intim, yang ada adalah relasi kepentingan dimana orang selalu politis dalam mengembangkan pergaulan terutama untuk kepentingan ekonomi.

Wajar saja ketika angka tekanan hidup (stres) masyarakat yang disebut moderen jauh lebih tinggi daripada mereka yang dinilai berada pada arah pendulum mendekati primitif. Masyarakat moderen terasosiasikan pada kota dan masyarakat primitif terasosiasikan pada masyarakat desa. Sayangnya,keserakahan orang kota dan moderen itu telah menimbulkan dampak buruk pula pada masyarakat primitif dan desa. Pembangunan vila-vila di pegunungan telah menyebabkan banjir dan longsor, kebijakan menekan harga beras di pasaran untuk orang kota telah menyebabkan petani tak mampu memetik keuntungan bertani karena harga produksi lebih tinggi daripada harga jual, ataupun gaya hidup orang kota yang dipaksa ditiru oleh orang-orang desa lewat tayangan-tayangan televisi yang menyerbu dari ruang-ruang keluarga.

Ah... filosofi hidup itu, masih adakah yang kukuh teguh menjalankannya?


Keterangan:
Orang Bengkulu kota, terutama di pesisir pantai, mengucapkan hurup r dengan sumber suara dari pangkal tenggorokan. Orang-orang di sini menyebutnya r berkarat. Untuk lebih jelasnya, silahkan unduh (download) file contoh lafalnya disini.

2 comments

  1. Roli Maulidiansyah  

    August 23, 2008 at 1:02 AM

    salam kenal

  2. Anonymous  

    August 25, 2008 at 11:02 AM

    Salam kenal juga Roli.

    Terima kasih sudah berkunjung.

Post a Comment