Tukang ojek langganan



Sudah lebih 6 bulan terakhir saya naik ojek kalau ke kantor. Tidak langsung dari rumah, hanya dari depan kampus UKI Cawang menuju jalan Latuharhari di Menteng. Memang memakan uang transport lebih mahal ketimbang menggunakan bisa kota. Namun, waktu tempuh ojek dari Cawang ke Menteng lebih cepat, yakni 25 menit berbanding 50-an menit jika naik bis kota. Jadi, ongkos lebih mahal berbanding lurus dengan waktu perjalanan yang lebih cepat. Cara ini saya tempuh, juga sebagai konsekuensi saya berangkat dari rumah agak siangan, karena keinginan untuk bermain dengan anak di pagi hari.

Sebelumnya, sebagai seorang commuter, saya biasanya naik bis kota menuju kantor. Berdiri dan berdesakan dengan penumpang lain sewaktu tidak mendapatkan tempat duduk merupakan pengalaman mengesankan. Maklum, seperti lagu Bis Kota yang dinyanyikan God Bless, kami sama-sama orang tak punya. Berangkat dari rumah biasanya pukul 07.30 wib atau lebih. Lalu 2 kali naik angkutan menuju Cawang. Biasanya tiba di Depan kampus UKI Cawang sudah pukul 08.30 wib. Waktu masuk kerja pukul 09.00 wib, sehingga saya mau tidak mau harus menggunakan jasa ojek untuk mencapai kantor.

Sampai saat ini, saya ingat-ingat, ternyata saya sudah memiliki 4 orang tukang ojek secara tetap. Awalnya hanya 2 orang. Jika tidak ada satu, maka saya akan naik yang satunya lagi. Karena penertiban lalu-lintas di kawasan Cawang, sering angkutan yang saya tumpangi berhenti tidak lagi persis di tempat ngetem tukang ojek langganan saya. Karena buru-buru atau dua tukang ojek itu sedang tidak ada di tempat, akhirnya saya menggunakan tukang ojek lain, yang ternyata juga mau mengantarkan saya dengan ongkos yang sama nilainya.

Karena sudah hampir tiap hari mengantarkan, 4 orang tukang ojek itu terlihat menunggu. Biasanya tukang ojek yang lebih baru menjadi langganan akan mengalah jika tukang ojek langganan yang lebih lama mendekati saya. Biasanya pula saat tiba di Cawang, saya langsung mencari tukang ojek yang sudah lebih lama menjadi langganan saya. Rupanya masing-masing mereka sudah saling tahu sehingga yang lebih baru berlangganan mengantar saya akan mengalah pada yang lebih lama. Minggu lalu, saya hanya melihat satu tukang ojek saya. Dari dalam mobil angkutan saya sudah memberi kode supaya dia mendekat ke angkutan yang sudah mau berhenti di depan halte. Ketika turun dari angkutan, ternyata tukang ojek yang sudah lebih lama berlangganan mendekati saya pula. Akhirnya kedua tukang ojek itu berada di sisi kiri dan kanan saya, saling tatap lalu tertawa bersama. Lalu saya pun bertanya, "saya naik yang mana nih?". Tukang ojek yang lebih baru menjawab, "terserah". Terasa sekali kalau ia mengalah karena tukang ojek satunya lagi memang sudah lebih lama berlangganan pada saya.

Saya salut dengan para tukang ojek di depan UKI ini. Sekarang, meski belum semuanya ikut, sudah ada persatuan atau paguyuban yang mereka bentuk sendiri. Meski berkelompok-kelompok dengan jarak sekitar sepuluh meteran, mereka saling kenal. Karena itu masing-masing sudah tahu siapa berlangganan pada tukang ojek yang mana. Bahkan berapa ongkosnya pun saling tahu. Saya menyebut ini sebagai etika tukang ojek, yang saya pikir bisa jadi contoh baik bagi siapa saja. Mereka saling menghargai, tidak mau merebut penumpang yang sudah jadi langganan temannya.

Semua tukang ojek langganan saya di Cawang ini adalah orang-orang yang baik, ramah, serta mau diajak bercerita sepanjang perjalanan. Selain itu, saya tidak perlu lagi menawar ongkos setiap kali akan menggunakan jasa mereka. Ini sebagian hal-hal menyenangkan bagi saya sebagai penumpangnya.

Di tengah kemacetan Jakarta yang hingga saat ini masih belum teratasi oleh kehadiran busway, ojek merupakan alternatif transportasi yang masih dipilih banyak orang. Saya salah satunya. Sayang sekali, dari dulu pemerintah selalu berat untuk berpihak pada "kelompok marjinal". Pemerintah memang hanya mau melayani orang kaya dan berduit di negeri ini. Segera dibuat peraturan daerah DKI: sepeda motor dilarang melewati jalan-jalan utama jakarta. Oalah... Nasibmu tukang ojek.

Read More......

Saya dan anak kami sehari-hari



Setiap hari saya berangkat kerja agak siang, kira-kira pukul setengah delapan. Tidak seperti teman-teman commuter lainnya yang berangkat ke tempat kerja pada pukul enam atau lebih pagi, saya sengaja berangkat "agak siangan". Alasannya sederhana namun penting. Setiap hari saya tiba di rumah sudah malam, sekitar pukul dua puluh atau dua puluh satu. Sering pada jam-jam itu anak saya sudah tidur pulas sehingga saya tidak memiliki waktu bermain dengannya selain pada hari Sabtu dan Minggu. Karena saya tidak ingin kehilangan kesempatan bermain dan mencurahkan kasih sayang pada anak, maka saya harus menyediakan waktu di pagi hari untuknya.

Zahid, anak laki-laki kami, bangun tidur sekitar pukul lima pagi. Pukul setengah enam sampai setengah tujuh saya dan dia akan berjalan-jalan di sekitar komplek perumahan tempat kami tinggal. Melewati jalan-jalan di komplek rumah, kami akan menemui beberapa lampu penerangan jalan masih hidup. Anak saya akan segera meminta saya untuk menggendong supaya ia bisa menjangkau saklar lampu itu dan mematikannya. Aktifitas mematikan lampu ini terasa sangat menyenangkan baginya.

Jika kami menemui ayam, kucing, sepeda motor, mobil dan benda lainnya, Zahid akan menyebutkan nama mereka satu-satu. Ini melatih ingatannya akan benda-benda yang ia temui. Jika ada sesuatu yang ia belum tahu, maka saya akan menyebutkan nama benda-benda itu. Tak hanya hewan dan benda-benda, jika bertemu tetangga Zahid akan memanggi sesuai sapaannya untuk mereka, Bude, Pakde, Mas, Mbak, atau bahkan jika ia tahu namanya, maka ia akan menyapa, Kak Dinda, Kak Aisyah, Mbak Nia, Mas Teguh.

Beberapa jalan yang kami lalui, di sisinya terdapat selokan kecil dan satu yang besar sebagai selokan utama yang membelah area perumahan. Jika semalam hujan agak lebat, air di selokan utama telihat lebih banyak dan mengalir deras. Zahid akan menunjuk ke situ sambil mengatakan "dalam, hi...". Ini menandakan bahwa ia sendiri takut mendekat ke situ karena selokannya dalam, berbahaya kalau ia sampai jatuh ke dalamnya. Jika di pinggir selokan di depan rumah penduduk terdapat semacam tempat duduk santai, disemen dengan rapi dan tampaknya memang sengaja untuk tempat bersantai, maka Zahid akan duduk di situ. Lalu ia akan mengatakan pada saya, "Ayah, duduk sini". Saya akan mengikuti keinginannya. Biasanya tidak sampai satu menit duduk di situ, ia akan berdiri dan mengajak saya berjalan-jalan lagi.

Setiap hari kosa kata yang diperoleh Zahid selalu bertambah. Mungkin karena ia memperhatikan teman-teman bermainnya di sekitar rumah yang rata-rata sudah sekolah di SD. Anak-anak tetangga kami senang sekali mengajak Zahid bermain. Lucu juga, Zahid yang masih 18 bulan sudah punya banyak teman yang lebih besar. Selain itu, saya dan istri menyediakan mainan dan buku-buku cerita bergambar untuk Zahid di rumah. Karena Zahid belum bisa membaca dan hanya melihat saja, tidak heran kalau anak-anak tetangga yang membaca di rumah kami. Sesekali Zahid pun memegang buku, mengamati gambar-gambar di situ, dan menyebutkan benda apa saja di dalamnya. Dengan banyaknya anak-anak yang datang ke rumah, maka Zahid pun akan merasa senang punya banyak teman. Saya dan istri berencana menjadikan rumah tinggal kami ini sebagai rumah baca, sehingga anak-anak di sekitar kami akan memanfaatkan waktu luangnya bersama buku-buku.

Jalan-jalan pagi bersama Zahid biasanya hingga pukul setengah tujuh. Kemudian saya mengeluarkan sepeda motor untuk dipanaskan sebab istri akan memakainya ke tempat kerja. Setelah sekitar sepuluh sampai lima belas menit, saya mengendarainya untuk berkeliling lagi bersama Zahid. Ini memakan waktu lebih kurang lima belas menit. Setelah itu saya dan Zahid pulang. Biasanya istri sudah menunggu di depan rumah. Lalu dengan sepeda motor itu istri saya berangkat ke tempat kerja. Kadang Zahid ngambek sebab Ibunya akan berangkat kerja. Biasanya dia tidak mau bersalaman dan mencium tangan ibunya. Kalau betul-betul kecewa, Zahid akan menangis. Saya mencoba menyabarkannya dan mengatakan kalau Ibunya akan pulang sore hari, sehingga Zahid bisa bermain dengan Ibu.

Begitulah pembagian waktu saya dan istri untuk bersama anak kami. Di pagi hari, sayalah yang akan mengajak Zahid bermain. Sore hari, karena istri bisa pulang lebih cepat dari saya, maka istri saya yang akan bermain dengannya. Selain itu, Zahid belum 2 tahun, jadi masih minum ASI. Sore, malam, hingga keesokan paginya, Zahid lebih banyak "nempel" sama ibunya.

Sabtu dan Minggu adalah hari keluarga bagi kami. Di hari ini, Zahid kami ajak jalan-jalan, entah melihat kampung di sekeliling, berkunjung ke rumah teman dan keluarga, atau bermain ke Kota Wisata yang letaknya hanya berjarak lima menit dengan sepeda motor. Karena itulah, saya akan kecewa kalau ada kegiatan kantor di hari libur. Kecuali kalau tugasnya harus ke luar kota, saya pikir itu tidak masalah, toh biasanya adahari libur kompensasi dari kantor. Buat saya, keluarga adalah segalanya.

Read More......

Masker dan Polusi Jakarta

Kemarin, saya pulang dari tempat kerja dengan menumpang angkot. Memasuki kendaraan itu saya melihat satu penumpang yang menggunakan masker hitam yang panjangnya hingga ke dada. Satu tangan saya menggenggam slayer yang saya lipat tiga dan saya gunakan untuk menutup hidung. Saya tersenyum, karena saya dan laki-laki itu mengalami hal yanga sama: berusaha melindungi diri dari polusi udara. Dia menggunakan masker untuk menutup hidung, sementara saya hanya menggunakan sehelai slayer.

Setahun terakhir saya sering sekali sakit. Nyaris hampir setiap 2 bulan sekali saya harus menemui dokter untuk mengecek sakit apa yang menghinggapi kali ini. Saya sering batuk hebat, terutama di hari kerja. Hari Sabtu dan Minggu batuk saya mereda atau tidak sehebat hari-hari lain. Saya juga sering sakit kepala. Bahka minggu lalu seluruh badan dan kepala saya terasa sakit. Sekitar setengah tahun lalu saya diperiksa dokter, mulai dari paru-paru, dahak, dan darah. Semuanya dicek di laboratorium. Hasilnya, kecurigaan dokter bahwa saya sakit TBC nihil. Melihat saya batuk-batuk hebat, dokter itu menyimpulkan saya alergi AC dan juga udara kotor Jakarta. Dengan bercanda dokter itu berkata, sebaiknya Anda bekerja di sebuah tenda yang tidak ada AC-nya. Ah, saya agak tersinggung sebenarnya. Bekerja di ruang terbuka terkena polusi udara. Bekerja di ruang tertutup tidak kuat AC. Karena saya anak seorang petani, apa lebih baik saya pulang ke desa dan bercocok tanam saja ya?

Kadang saya juga melakukan hal yang sama dengan laki-laki saya temui kemarin. Di angkutan Saya melipat tiga slayer dan mengikatkannya di leher sehingga mulut dan hidung tertutup rapat. Terus terang saya agak gak enak pada penumpang lain, seolah saya menutup hidung karena bau mereka di sekitar saya. Saya hanya bisa berharap, semoga penumpang lain di saya tidak tersinggung. Jujur, bukan bau mereka yang membuat saya menutup hidung, tetapi saya menghindari polusi dari asap kendaraan yang luar biasa menyesakkan dada. Dulu saat saya masih menggunakan sepeda motor ke tempat kerja, saya menggunakan slayer untuk melindungi diri dari polusi. Suatu hari saya lupa melepasnya, teman-teman di kantor nyeletuk, "kamu kok kayak rampok Man?".

Pimpinan saya di kantor juga pernah bercerita kalau polusi udara di Jakarta sudah luar biasa, sehingga ia merasa akan lebih baik tinggal di daerah dengan udara yang lebih bersih dan segar. Seorang teman yang lain juga bercerita kalau memiliki teman yang sering sakit selama tinggal di Jakarta. Setelah mendapat saran dari dokter, temannya itu memutuskan untuk kembali ke kampung halaman nun jauh dari kota ini. Ia pun sehat wal afiat, tidak sakit-sakitan lagi.

Saya tinggal di daerah Bogor, sudah dekat perbatasan Jakarta Timur di sebelah baratnya, dan berbatasan dengan Bekasi di sebelah utaranya. Namun waktu saya lebih banyak dihabiskan di Jakarta. Sekarang saya mulai berpikir untuk tinggal dan bekerja di daerah yang jauh dari Jakarta, yang udaranya masih bersih. Untuk sementara, menggunakan masker adalah salah satu cara untuk saya melindungi diri dari polusi ini. Saya tidak tahu apakah Anda juga mengalami hal yang sama dengan saya.

Read More......

Tegur sapa yang menyehatkan

Anda pernah menyapa dan tersenyum pada seseorang atau sekelompok orang ketika melewati sebuah jalan yang belum pernah atau jarang Anda lewati? Misalnya saja dengan mengucapkan, "permisi, numpang lewat", "punten Pak, Bu", "Nderek langkung". Bagaimana reaksi orang itu saat Anda sapa? Tentu sebagian besar dari mereka akan menjawab dengan ramah. Meski ada juga yang cuma mendehem atau diam, saya yakin kebanyakan orang yang kita sapa akan menjawab ramah, setidaknya dengan berucap "mari mari", "monggo", atau "Mangga". Tak jarang pula mereka akan menjawab dengan pertanyaan ramah, "Dari mana mas?", "Mau kemana?".

Saya berusaha terus melakukan ini. Maklum, hidup di kota membuat keramahan dan kehangatan hubungan antar manusia semakin sirna. Saya merasa selama dua tahun mulai menghirup udara Jakarta, tinggal di Bogor yang sudah perbatasan dengan Jakarta pula, kehangatan hubungan dengan sesama sangat kurang. Saya lahir dan besar di Bengkulu dan sempat hidup di Yogyakarta selama 7 tahun. Di Yogyakarta, meski banyak pendatang yang malas bertegur sapa dengan penduduk setempat, saya melihat masih ada juga diantara mereka yang mau menyapa saat berpapasan atau melewati orang-orang yang kebetulan sedang ngobrol di pinggir jalan.

Di Yogyakarta, masyarakat banyak kecewa terhadap budaya tegur sapa yang memudar. Mereka bilang, anak muda sekarang tidak tahu sopan santun. Kondisi ini amat mengecewakan. Yang disalahkan, tentu saja para pendatang yang semakin banyak. Saya sendiri berpendapat, selain banyak pendatang dengan latar budaya berbeda dalam berinteraksi, perkembangan global memiliki peran jauh lebih besar dalam penghapusan budaya lokal. Televisi adalah salah satu saluran globalisasi paling berpengaruh di masyarakat. Acara televisi di negeri ini miskin muatan nilai-nilai lokal, lebih banyak membuai, mendistorsi bahkan mencerabut masyarakat dari nilai-nilai luhur yang sesungguhnya harus dilestarikan. bahkan sekarang televisi sudah masuk ke daerah terpencil. Karena alasan ini, antara lain, saya tidak mau menghadirkan televisi di rumah.

Di Jakarta, orang seolah tidak lagi peduli dengan sesama. Kalau mau lewat ya lewat saja, begitu kira-kira. Orang tidak (mau) saling kenal. Saya tidak mau hal ini terjadi pada saya. Di lingkungan tempat saya tinggal, meski kesan individualisnya sudah mulai tampak, namun budaya tegur sapa masih cukup terjaga. Menegur orang yang lewat, orang yang kita lewati atau berpapasan, apalagi dengan senyuman, menimbulkan rasa kedekatan. Setidaknya saya merasakan itu. Di dalam Islam diajarkan untuk selalu tersenyum dan ramah pada orang lain. Bahkan, tersenyum kepada orang lain merupakan satu ibadah.

Kemarin sore, sepulang berolah raga saya melewati perkampungan di dekat rumah. Saya sapa setiap orang yang saya lewati, "Permisi Pak, Mak, Mbak, Teteh". Mereka tersenyum ramah sekali. "Mau kemana?". "Mau pulang Pak, Bu". Saya tahu mereka pasti jarang melihat saya, karena saya jarang sekali melewati jalan itu. Bahkan ada yang baru pertam kali melihat saya. Namun saya merasakan kehangatan dan keramahan mereka. Buat saya yang masih belum begitu pulih dari sakit, hal itu merupakan obat yang luar biasa. Tegur sapa dan senyuman adalah hal yang menyehatkan. Saya ingin hal semacam ini tidak hilang dari masyarakat.

Tegur sapa dan tersenyum bisa membahagiakan siapa saja yang melakukannya. Dunia terasa damai. Saya yakin, Anda pun bisa melakukannya.

Read More......

Saya Sakit...

Sejak Sabtu saya hanya bisa berbaring di tempat tidur. Badan demam, kepala nyeri serta seluruh tulang dan badan terasa sakit pula. Liburan akhir pekan kali ini harus saya isi dengan istirahat dan kontemplasi.

Awalnya pada Jumat sore. Saya dan beberapa teman mengunjungi seorang ibu anggota Gerakan Perempuan Pembela Buruh Migran (GPPBM), yang rumahnya tidak jauh dari kantor saya bekerja di kawasan Menteng. GPPBM adalah organisasi mitra kantor saya. Ibu ini juga sedang sakit dan akan berobat ke Eropa. Saat kami tiba di rumahnya ternyata si Ibu sedang berada di klinik. Akhirnya kami pulang. Sementara yang lain pulang dan ke tempat tujuan yang berbeda, saya kembali ke kantor untuk mencetak beberapa dokumen yang akan diedit. Sejak sore itu filek saya sudah semakin terasa. Hidung mulai panas dan (maaf) ingus mulai tidak mau berhenti mengalir. Saya paksakan juga untuk kembali ke kantor meski sudah pukul 17.

Di kantor saya mendapati semua komputer milik teman-teman masih hidup, terdengar dari suara kipas dari CPU mereka masing-masing. Saya matikan semua. Saya teringat, beberapa bulan lalu ada salah satu komputer di ruang kerja masih dalam keadaan hidup, meski monitornya gelap karena screen savernya blank setting. Saya bayangkan, komputer ini pastilah menyala sejak hari Jumat, dan saya mendapatinya pada Senin pagi.

Saya mencetak semua dokumen. Agak susah juga, sebab dokumennya sudah di-layout dengan rapi oleh sang layouter dan masih dalam format PageMaker. Agar terlihat seperti yang diinginkan, tentu harus mencetaknya bolak balik dalam setiap helai kertas. Printer sempat macet sehingga harus mencetak ulang. Butuh waktu sekitar satu jam untuk menyelesaikan semua.

Saya sudah bersin-bersin nyaris pada setiap menit. Kondisi badan mulai terasa melemah, sakit di kepala semakin terasa, dan saya menunggu waktu shalat maghrib tiba. Veronika, teman sekantor, melihat kondisi saya mengingatkan saya untuk minum vitamin. Alhamdulillah, selalu saja ada orang baik di mana pun saya berada.

Menjadi kebiasaan saya selalu menyempatkan diri mengunjungi beberapa blog setelah pukul 17. Selain untuk belajar, berkenalan, juga menyelami ilmu kehidupan yang tidak sedikit bisa saya dapati dari aktifitas ini. Kata orang-orang, untuk menjadi seorang blogger harus sering-sering menengok blog orang lain. Juga sering-sering berbagi pengalaman dengan sesama blogger. Ah, saya mulai menikmati hidup dalam komunitas blogger.

Selepas maghrib saya pulang. Saya mampir ke rumah teman untuk menyerahkan dokumen yang sudah selesai dicetak. Dia akan mengedit semua isinya. Perjalanan menuju rumah terasa sangat panjang. Mungkin karena badan melemah, bersin-bersin, dan harus mengurusi hidung sebentar sebentar. Istri berkirim pesan pendek dari rumah. Dia kecewa karena saya pulang malam lagi. Dia sangat khawatir dengan kesehatan saya, sebab beberapa bulan lalu dokter sudah mengingatkan untuk menghindari angin malam. Kalau pulang malam, saya juga tidak sempat bertegur sapa dengan tetangga, apalagi untuk bermain dengan anak kami.

Sekarang saya sakit. Sudah 3 hari sejak Jumat lalu. Saya sedih, di akhir pekan saya dan istri biasanya mengajak anak kami bermain dan jalan-jalan melihat sekeliling tempat tinggal. Kami akan menunjukkan padanya bahwa (masih) ada ayam, kambing, burung, sawah, pepohonan dan benda-benda yang mungkin ia belum menghafal semuanya.

Tadi saya sempatkan menelpon saudara yang tinggal di Cimanggis. Ia malah mengingatkan saya untuk segera memeriksakan badan ke dokter. Saya sudah bosan pergi ke dokter. Sudah setahun ini, nyaris setiap dua bulan saya harus ke dokter. Saya sudah bosan sakit. Saya sudah tidak mau meminum obat dari dokter lagi. Kalau sakit saya lebih senang minum jamu atau obat tradisional. Saudara saya mengingatkan kalau ada kemungkinan demam berdarah seperti dialami tetangganya. Waduh… saya jadi takut. Saya cek di Wikipedia tentang penyakit ini. Ternyata beberapa gejalanya sudah ada pada saya.

Kesehatan benar-benar nikmat tak terhingga dari Sang Pemberi Hidup. Dengan sakit ini, saya jadi selalu ingat pada-Nya. Mungkin inilah cara Allah swt. mengingatkan saya untuk selalu bersyukur atas semua kenikmatan yang diberi-Nya. Minggu lalu Pak Budi Raharjo sudah menulis tentang hal ini di blognya. Saya salut pada Pak Budi, sudah menjadi IT Expert, tetap ingat pada Sang Maha Expert. Terima kasih Pak Budi.

Untuk istriku, terima kasih sudah mau dengan sabar menemani, menyuapi makan dan memberi minum, serta mendoakan untuk kesembuhan. Untuk Zahid yang selalu ceria meski ayahnya sakit, maafkan, akhir pekan kali ini tidak ada jalan-jalan. Untuk semua saudara-saudaraku yang membaca tulisan ini, doakan saya segera sembuh ya.

Read More......

Sedada Orang Dewasa

Untuk saudara-saudaraku yang terkena banjir di Jakarta dan sekitarnya, saya turut prihatin, dan saya doakan semoga mendapatkan kemudahan dalam menghadapi musibah ini.

Sejak Sabtu hingga Selasa kemarin saya tidak berada di Jakarta. Sabtu - Minggu saya di rumah karena merupakan hari libur, serta hujan tidak henti-hentinya membuat saya tidak bisa kemana-mana. Sampai-sampai saya belum bisa membenahi atap rumah tinggal, supaya air tidak lagi merembes ke ruang tengah saat hujan lebat. Hari Senin dan Selasa saya tidak bekerja karena sakit gigi (lebih tepatnya gusi dan dinding mulut sebelah kiri bengkak hebat karena geraham paling dalam bagian atas tidak memiliki pasangannya sehingga menggigit gusi dan dinding mulut). Praktis, saya tidak ikut merasakan banjir dan hujan lebat di Jakata seperti pada hari rabu hingga jumat minggu lalu. Saya hanya mendengarkan berita dari radio tentang banjir yang semakin hebat di Jakarta.

Hal yang menarik buat saya kali ini, adalah munculnya satuan baru dalam ukuran tinggi air. Saya tertarik karena memang di rumah saya tidak memiliki televisi sehingga hanya mendengarkan dari radio, terutama Elshinta, yang memberitakan secara terus menerus perkembangan banjir di beberapa lokasi. Tersebutlah di Kampung Melayu air sudah sedada orang dewasa. Di Perumahan Kelapa Gading air sudah mulai selutut orang dewasa. Di Cawang air sudah sepinggang orang dewasa.

Saya jadi bertanya-tanya, berapakah rata-rata tinggi badan orang dewasa di Indonesia ini? Katakanlah patokannya adalah saya. Saya berusia 28 tahun saat sekarang. Tinggi badan saya 163 cm atau 1,63 m. Anggaplah saya sudah menjadi bagian dari orang dewasa yang menjadi satuan hitung untuk melihat ketinggian air saat banjir. Sejak kecil saya sudah terlanjur akrab dengan satuan centi meter, meter dan kilo meter untuk mengukur jarak atau ketinggian. Jadi kalau ada orang atau keterangan yang menyebut satuan ukur yang lain, maka saya akan berpikir untuk mengkonversi satuan itu ke satuan centi meter, meter, atau kilo meter.

Saudara-saudara yang pemain basket atau atlet lainnya tentu kebanyakan memiliki tinggi badan yang lebih ketimbang saya. Tapi ini tidak bisa dijadikan patokan rerata tinggi badan orang Indonesia. Saya yakin, meski belum mencari lebih jauh informasi atau hasil penelitian mengenai rerata tinggi badan orang indonesia, tinggi badan orang asli Indonesia antara 150 cm hingga 170 cm. Saya ambil tengahnya saja, yakni 160 cm.

Untuk musibah banjir kali ini, saya akan memperkirakan tinggi air di beberapa tempat ketika pemberitaan menyebutkan satuan ukur badan orang dewasa. Kalau tinggi air selutut orang dewasa, berarti kira-kira 40 sampai 50 cm. Kalau sepinggang orang dewasa, berarti kira-kira 90 cm. Sedada orang dewasa berarti lebih kurang 120 cm. Nah, kalau tinggi air sudah mencapai sekepala orang dewasa, berarti kawasan itu sudah mengalami banjir dengan ketinggian air lebih kurang 160 cm. Kalau sudah sekepala, orang akan menyebutnya "kelelep".

Karena saya sangat menghargai kekayaan budaya lokal, saya pun menghargai satuan hitung yang sering muncul saat banjir ini. Saya akan berusaha sebisa mungkin selalu menggunakannya. Jadi, kalau saya ditanya berapa tinggi badan anak saya yang sedang lucu-lucunya itu, saya akan menjawab: sepinggang orang dewasa.

Read More......

Banjir Jakarta

Hujan kali ini benar-benar luar biasa. Sudah dua hari tidak juga mau berhenti. Ada jeda, dari lebat menjadi gerimis, lalu menjadi lebat kembali. Hari ini, perjalanan dari rumah menuju kantor membutuhkan waktu hampir 4 jam. Tadi pagi-pagi saya simak siaran radio. Elshinta memberitakan bahwa Jakarta banjir.

Jalanan macet di mana-mana. Ada banyak bis dan kendaraan pribadi yang balik arah dari Tangerang menuju Jakarta. Tidak sedikit yang nekad melewati genangan air di jalan, akhirnya kendaraan mereka macet. Pekerja, anak-anak sekolahan, dan calon penumpang lainnya terpaksa kembali ke rumah karena lama menunggu di pinggir jalan, ternyata banyak bis kota dan angkot yang tidak berani narik pagi ini karena jalanan banjir.

Saya menunggu angkutan di Nagrak sejak pukul 8 pagi untuk melanjutkan perjalanan ke UKI-Jakarta. Setengah jam lebih tidak ada angkutan 56 yang lewat. Sementara di tempat saya berdiri, sudah banyak orang yang menunggu angkutan yang sama. Akhirnya saya putuskan untuk berjalan ke arah timur sekitar seratusan meter, sehingga kalau angkutan itu lewat, dan masih ada tempat yang kosong, maka saya pasti dapat tempat duduk. Benar saja, angkutan 56 lewat dalam keadaan kosong. Saya pun dapat tempat duduk di sebelah sopir. Saya tanya sopir kenapa lama sekali tidak ada 56 yang lewat. "Banjir, armada dari Jakarta sulit untuk kembali ke pangkalan di Cileungsi", katanya. Di perempatan Nagrak angkutan langsung penuh.

Dari pintu tol Taman Mini menuju jalan keluar yang ke arah UKI banyak kendaraan terlihat tidak bergerak. Akhirnya kami dibawa sopir melalui pintu keluar di pisangan, Jatinegara. Saya jadi kebingungan setelah turun dari angkutan. Susah mendapatkan ojek karena tidak ada pangkalan di situ. Tidak ada Bajaj. Saya pikir, kalau naik taksi pasti saya akan keluar ongkos lebih banyak lagi. Dua hari sebelumnya saya kehujanan dan pergi pulang naik taksi. Akan keluar berapa kalau saya setiap hari naik taksi, pikir saya. Untuk orang yang penghasilannya seperti saya tentu akan berpikir yang sama.

Saya naik angkot ke depan stasiun Jatinegara dengan harapan bisa mendapatkan ojek atau bajaj. Lalu melanjutkan perjalanan dengan bajaj. Akhirnya tiba juga saya di kantor pukul 11 kurang sedikit. Alhamdulillah. Saya coba cek daftar hadir teman-teman sesama pekerja. Dari 41 orang, hingga siang ini yang hadir 37 orang. Naik ke ruang kerja di lantai 3, teman-teman mengabari kalau beberapa teman lain tidak hadir karena rumah mereka kebanjiran.

Neny, yang setahu saya tinggal di sekitar Kampung Rambutan, rumahnya kebanjiran. Dia sibuk mengurusi tempat tinggalnya itu sehingga tidak masuk kerja. Handphone saya yang sejak pagi mati, setelah saya isi battery-nya, masuk pesan pendek dari Tety. Ia mengabari kalau ia sedang terjebak kemacetan di tol TB. Simatupang. Jalan tol Taman Mini juga macet katanya, hingga sepeda motor dibolehkan masuk tol. Ia minta informasi apakah ada jalan alternatif untuk mengihindari kemacetan. Pesan itu dikirim pukul 09.29 WIB.

Sekitar pukul 13.30 tadi, Vero mendapat kabar kalau rumah Tety kebanjiran juga. Rupanya Tety kembali ke rumahnya di Pondok Gede setelah merasa tidak bisa melanjutkan perjalanannya akibat macet, juga setelah suaminya membaca berita detik.com bahwa daerah tempat tinggalnya diserbu air yang meluap dari selokan. Tebing-tebing di sekitar perumahan Puri Gading tempat tinggalnya itu longsor.

Saya coba cek informasi lewat internet. Banjir di mana-mana. Jakarta Lumpuh. Masih banyak lagi pemberitaan mengenai Jakarta yang banjir. Hujan telah datang. Banjir mengancam. Saya yang tinggal di Bogor namun bekerja di Jakarta juga merasa terancam. Kalau hujan setiap hari begini saya kesulitan berangkat kerja dan pulang kerja. Ongkos bertambah, masuk kerja terlambat, selalu ada kemungkinan basah kuyup.

Teman Vero yang bekerja di Jalan Sudirman mengirim pesan singkatnya. Kami dipulangkan pukul 2 siang ini, katanya. Saya ikut tertawa mendengar cerita Vero. Saya berpikir, jangan-jangan mereka dipulangkan karena pimpinannya tahu kalau banyak rumah stafnya kabanjiran. Kepada teman-teman yang rumahnya kebanjiran, saya ikut prihatin.

Hal yang tidak kalah penting, hujan beberapa hari ini telah membuat ruang tengah rumah tinggal saya ikut banjir. Air mengucur dari atap sewaktu hujan lebat. Ini rumah kontrakan yang baru 2 minggu saya tempati. Pemiliknya meninggalkan rumah itu sebelum musim hujan datang sehingga tidak tahu kalau atapnya sudah harus diperbaiki. Hari Sabtu dan Minggu besok saya punya agenda: mengecek dan memperbaiki atap rumah agar tidak lagi digenangi air.

Read More......

Hujan, macet dan terlambat

Hari rabu kemarin saya kehujanan. Sejak sekitar pukul 4 pagi saat saya bangun tidur, tempat tinggal saya di Ciangsana, Gunung Puteri, Bogor diguyur hujan. Sampai pukul 06.30 hujan tidak kunjung reda. Padahal saya harus ke Hotel Shangri-La untuk mengikuti Workshop dan Peluncuran buku VoIP Cikal Bakal Telkom Rakyat yang ditulis oleh Onno W. Purbo. Majalah INFO Komputer menyelenggarakan acara ini. "Sudah bayar mahal, masak tidak datang", pikir saya. Lagi pula saya kan ingin tahu perkembangan teknologi.

Pukul 7 pagi saya putuskan untuk berangkat juga. Saya tidak mau ketinggalan pada acara ini. Istri masih dirumah ketika saya berangkat dengan membawa payung, celana dilinting keatas agar tidak basah dan kotor, mengenakan kaos serta sandal, dan tas ransel sehari-hari yang terlihat penuh karena berisi pakaian ganti, sepatu, dan buku. Setelah tiba di tempat tujuan, saya akan mengganti pakaian sehingga lebih terlihat rapi. Saya naik angkot dari gerbang komplek perumahan. Berhenti di perempatan Nagrak, tidak jauh dari rumah SBY sang Presiden. Lalu ganti angkutan lagi menuju UKI.Di Nagrak hujan sebenarnya tidak lebat, hal yang berbeda dengan tempat tinggal saya yang hujan lebat meski jaraknya tidak lebih dari 3 km. Setelah tiba di depan UKI saya naik ojek langganan yang biasa mengantar saya ke kantor setiap pagi. Saya tanyakan padanya apakah ia tahu Hotel Shangri-La. Lalu ia bertanya kepada temannya sesama tukang ojek. Akhirnya kami putuskan untuk ke tempat tujuan lewat Jalan Gatot Subroto, lalu menyusuri Jl. Rasuna Said di Kuningan, dan berbelok ke barat menuju sasaran. Shangri-La sendiri terletak di jalan Sudirman Kav. 1, bersebelahan dengan wima BNI 46.

Hujan yang semula hanya gerimis, ternyata menjadi lebat. Padahal perjalanan dari UKI belum sampai ke Tugu Pancoran. Tukang ojek bertanya apakah kami akan tetap melanjutkan perjalanan. Kita coba kata saya. Sepeda motor berjalan pelan karena saya memegang payung agar tidak basah kuyup. Belum sampai seratus meter, hujan berubah menjadi sangat lebat. Kami berhenti dan menunggu bersama pengendara sepeda motor lainnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 9. Tentu acara sudah dimulai. Saya tidak mau menunggu lama menanti hujan sedikit mereda. Setelah membayar sejumlah uang ke tukang ojek saya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan taksi. Jamak terjadi di Jakarta, kalau hujan turun, maka jalanan menjadi macet. Saya alami ini sekali lagi. Semua kendaraan roda empat merangkak menapaki jalan. Saya menjadi capai dan ngantuk. Sopir di sebelahku sepertinya lebih capai lagi karena kakinya harus tetap bekerja menginjak rem das gas. Pegal katanya. Matanya sendiri harus tetap awas mengamati jalan.

Jalur perjalanan berubah. Kami menuju Semanggi, berputar menuju utara melewati jalan Sudirman, hingga akhirnya tiba di tempat tujuan. Perjalanan dari rumah ke tempat tujuan ternyata membutuhkan waktu 3 jam. luar biasa. Apalagi kalau saya naik bis kota, bisa jadi membutuhkan waktu 4 hingga 5 jam. Beginilah Jakarta. Kalau sudah hujan, jalanan macet, tiba di tempat tujuan sudah pasti terlambat.

Meski terlambat setengah jam lebih, saya tetap senang mengikuti workshop ini. Saya masih bertemu dengan pakar-pakar teknologi Informasi dan Komunikasi seperti Budi Rahardjo, Michael Sunggiardi, Irvan "sang Hacker", dan Onno W. Purbo. Diantara mereka itu, Budi Rahardjo adalah orang yang membuat saya sangat terkesan pada hari ini. Mungkin karena baru pertama kali saya bertemu dan melihat dia menjadi pembicara dalam sebuah diskusi. Rahadjo menjadikan ICT sebagai topik bahasan yang tidak melulu terkesan serius. Dia lebih sering menjadikan teknologi sebagai bahan lelucon. Blog yang dimilikinya tidak berisi melulu tentang ICT. Malah ia tak mau ketinggalan menuliskan pendapatnya tentang poligami. Rahardjo ternyata juga suka musik. Ia bisa bermain gitar dan drum. Malah, ia sempat membuat pengumuman "Dicari: BAND/ARTIS/PENYANYI INDIE" yang ia pasang di blognya. Pak Rahardjo seorang blogger juga ya. Irvan membuktikan bahwa jaringan nirkabel (Wi-Fi) ternyata tidak ada yang seratus persen aman dari serangan hacker. Ia mempraktikan bagaimana caranya seorang hacker masuk ke dalam satu jaringan di sebuah hotspot dan mengetahui aktifitas user yang sedang mengakses jaringan (internet). Kalau jaringan sudah bisa ditembus, berarti tingkat keamananan jaringan itu terbukti rendah atau tidak aman. Nah, hati-hati saja kalau mengakses internet dan melakukan transaksi keuangan di hotspot area. Setiap saat hacker bisa mencuri data Anda. Pengalaman Irvan dalam mengamati jaringan nirkabel di sekitar Jakarta, kebanyakan jaringan yang ada tidak dilengkapi dengan pengamanan yang memadai. Kalau tidak salah, Irvan menyebut angka 86% untuk jaringan yang tidak aman. Saya ingat angka itu terbalik dari angka 68% yang terkenal di kalangan blogger.

Michael bercerita banyak hal tentang pengalamannya mengujicoba jaringan nirkabel di beberapa kota di Indonesia, pengalamanmembangun usaha di bidang ICT, serta betapa orang-orang pintar ICT di Indonesia ini mampu mengakali peraturan pemerintah yang sering menghambat kemajuan ICT di tanah air.

Acara workshop hari ini boleh dibilang milik Onno W. Purbo, sebab acara diselenggarakan untuk meluncurkan sebuah buku yang ditulisnya. Onno (dan teman-temannya) beberapa tahun belakangan begitu gigih memperjuangkan supaya telepon internet bisa digunakan oleh masyarakat Indonesia secara luas. Dengan telepon ini, biaya komunikasi menjadi jauh lebih hemat ketimbang menggunakan telepon biasa. Karena itu ia menulis buku VoIP Cikal Bakal Telkom Rakyat, yang berisi panduan lengkap untuk membangun jaringan telepon berbasis internet ini. Ia mempraktikkan langkah-langkah untuk membangun telepon internet. Memulai presentasi dengan praktik berkomunikasi dengan menggunakan telepon internet dan menghubungi 2 buah handphone yang dipegang oleh 2 orang peserta workshop. Terbukti, dengan menggunakan teknologi internet, telepon bisa berfungsi dengan baik. Setelah itu presentasi dilanjutkan dengan penjelasan tentang perangkat apa saja yang dibutuhkan, software apa saja yang dipakai, serta bagaimana menyeting (setup) semua perangkat (hardware dan software).

Saya Senang, bertemu dengan orang-orang hebat, pengetahuan jadi bertambah, dapat suasana berbeda dengan kantor yang selalu diburu tenggat. Tak kalah penting, saya bertemu dengan teman lama waktu kuliah dulu.

Sekitar sebulan lalu saya mencoba nyetting VoIP di kantor. Masih belum berhasil, karena saya hanya mendapatkan informasi dari VoIP Rakyat. Isi website ini pun belum semua saya pelajari. Lagi pula tidak ada waktu cukup untuk belajar dan mencari referensi lainnya. Inilah resiko yang saya alami bekerja di lembaga yang nyaris tidak ada waktu santai sekedar searching di Google atau membaca isi mailis yang jumlahnya 30-an itu. Saya berterima kasih sekali pada para pembicara pada workshop ini, karena saya jadi tahu bahwa apa yang saya ketahui masih jauh dari yang seharusnya saya dapat dan butuhkan. Intinya, saya memang harus belajar lebih banyak lagi.

Read More......