Menertawai Kemiskinan

Biasanya, setiap hari Sabtu atau Minggu saya berolahraga bersama dengan istri dan Zahid, anak kami, di kawasan perumahan elit "Kota Wisata". Ada satu cluster yang masih belum berisi bangunan, namun tumbuhan rumput serta beberapa pohon cukup untuk menghasilkan oksigen bagi yang senang jogging di sini. Letaknya di seberang masjid kota wisata. Kota Wisata sendiri terletak tidak sampai 10 menit dengan mengendarai sepeda motor. Sebenarnya, tempat tinggal kami masih satu desa dengan Kota Wisata. Desa Ciangsana, kecamatan Gunung Puteri, Kabupaten Bogor. Untuk menuju Kota Wisata, kami harus melewati perkampungan penduduk yang masih ada sawah, kolam dan ada sebuah panti asuhan pula.

Sebelum lari pagi, kami mampir di kampung itu untuk mengajak Zahid melihat bebek yang mandi di petakan sawah yang sedang tidak ditanami padi namun banyak airnya. Ada juga beberapa angsa putih. Kadang di pinggirannya ada beberapa ekor ayam yang sedang mencari makan. Aktifitas ini merupakan hal menyenangkan bagi kami. Saya berkeinginan, satu saat di masa kecilnya ini, Zahid akan saya bawa ke desa kelahiran saya di Bengkulu, supaya lebih mengenal segala macam kehidupan hewan dan tumbuhan, serta masyarakat asli yang ada di sana. Dia harus tahu betapa kaya tanah air ini. Sekarang, perubahan zaman dan kehadiran imperialisme wajah baru cepat atau lambat telah mengubah segala yang ada.

Di kota wisata, kami melihat ada beberapa rumah memiliki 6 mobil dan beberapa diantaranya adalah mobil mewah. Sebuah rumah besar namun terlihat sepi digunakan untuk menyimpan sejumlah mobil mewah. Saya bercerita tentang hal ini pada salah seroang aktifis marhaenis yang juga giat melakukan advokasi pada masyarakat Bojong Bogor. Dengan nyinyir ia mengatakan, "orang-orang itu menertawai kemiskinan di negerinya sendiri". Sekian banyak penduduk menjadi miskin karena kebijakan struktural yang timpang, namun ada sejumlah kecil bangsa ini justru dengan sombongnya memamerkan harta yang mereka miliki untuk menunjukkan betapa hebatnya mereka. Itu baru pemandangan di satu pemukiman elit di pinggiran Jakarta. Padahal, ada sekian puluh perumahan elit yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Penghuninya, tak hanya kalangan pengusaha, namun ada juga pejabat publik yang bertanggung jawab atas kemiskinan di negeri ini. Di antara sederetan mobil diparkir di rumah mewah itu, ada salah satu sedan dengan warna dan plat dinas TNI.

Kemarin saya menonton film The New Rulers of The World (Penguasa Baru Dunia). Film ini mengisahkan dampak new economics order yang disebut globalization di Negara berkembang. Lebih khusus lagi, film ini bercerita tentang masuknya investasi—terutama dari Amerika dan Inggris—ke Indonesia sejak masa Soeharto hingga sekarang. Sejak itu, kebijakan publik di Negara ini tidak pernah berpihak pada masyarakat miskin, kekayaan alam dikeruk, serta pejabat yang semakin korup dan sibuk memperkaya diri sendiri dari hasil uang suap perusahaan-perusahaan asing itu. Korbannya, ada jutaan orang dibunuh dengan alasan terlibat komunisme tahun 1960-an—yang dianggap penghambat utama masuknya pemodal asing—hingga puluhan juta rakyat miskin karena kehilangan subsidi dan himpitan ekonomi.

Pada awal film ini digambarkan sekian perusahaan asing yang berjaya setelah mengeksploitasi buruh-buruh mereka di Negara-negara miskin. Terlihat di situ ada Starbucks Coffee, GAP, Nike, Levi's, Reebok, Calvin Klein, dan Adidas. Merek-merek barang terkenal di seluruh dunia.

Pada bagian lain dicontohkan sebuah pesta pernikahan mewah keluarga elit di Jakarta. Sebuah pesta besar karena merupakan pernikahan dua anak orang kaya. Seorang buruh pelayan yang ada di pesta tersebut harus bekerja selama 400 tahun untuk bisa menyelenggarakan pesta resepsi semeriah itu. Mereka yang hadir, diantaranya memakai perhiasan dan pakaian merek Versace, barang mewah yang hanya bisa dibeli oleh segelintir orang Indonesia.

Saya teringat masa-masa sekolah dulu. Teman-teman memakai sepatu, tas, jam tangan dan aksesoris tubuh (selain baju putih dan celana abu-abu) merek terkenal. Semua siswa seolah berlomba memiliki "keluaran terbaru" yang dibuat di pabrik-pabrik yang mengupah buruhnya dengan sangat murah. Hal yang tentu tidak aneh, sebab anak muda merupakan target pasar yang mudah dibidik melalui iklan. Pada jam-jam sekolah teman-teman Saya biasa mengamati barang-barang baru di majalah mereka. Saya sendiri tak mampu membelinya.

Saya concern pada isu-isu HAM dan demokrasi. Tapi saya tidak berani menyebut diri seorang aktivis. Beberapa aktivis senior yang saya ketahui, biasa mengadakan pertemuan di Starbucks Caffee atau HardRock Caffee, belanja di toko-toko berkelas internasional di Jakarta. Sungguh merupakan orang-orang yang sadar merek. Dalam satu perbincangan di ruang makan di kantor, seorang teman bercerita tentang seorang aktivis perempuan dari daerah. Ketika berada di Jakarta, aktivis ini biasanya berburu pakaian-pakaian bermerek dan mahal itu. Satu ketika ia membeli sebuah celana dalam seharga 400 ribu rupiah. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, uang sejumlah itu bisa untuk membayar uang SPP satu orang anak selama 8 bulan di daerahnya. Mungkin ia ingin berpartisipasi menertawai kemiskinan di negeri sendiri.

Di sebuah hotel di wilayah Menteng beberapa bulan lalu. Saya bersama teman-teman sekantor mengikuti sebuah workshop penting. Satu malam, beberapa teman berkumpul di kamar sebelah kamar saya. Seorang diantaranya bertanya, "Herman, kamu mau makan apa? Kita sedang pesan makanan ke 14045".

John Pilger, si pembuat film The New Rulers of The World, mengawali pengantar dengan narasi menarik:

Bulan-bulan terakhir ini, lebih dari sejuta orang, kebanyakan orang muda menggelar aksi protes menentang tata ekonomi baru yang disebut: GLOBALISASI. Salah satu gerakan protes terbesar sejak tahun 1960-an. Belum pernah terjadi sebelumnya massa yang begitu besar bergerak memperjuangkan kemakmuran dan memberantas kemiskinan.


Mungkin John Pilger lupa bercerita bahwa sekarang ini, gaya hidup aktivis sosial pro demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) juga tidak jauh berbeda dengan anak muda-anak muda hedonis. Ponsel terbaru, kalau mengadakan workshop harus di hotel mewah, gaji tinggi dan harus punya mobil mewah pula, serta kalau rapat tempatnya di kafe-kafe.

Tanggal 28 - 31 Agustus 2006, Koalisi Perempuan Indonesia menyelenggarakan Temu Nasional Aktivis Perempuan. Aktivis-aktivis dari seluruh Indonesia berkumpul di forum ini untuk mendiskusikan isu-isu perempuan. Kemiskinan merupakan salah satu isu penting di dalamnya. Seorang teman yang terlibat dalam penyelenggaraan pertemuan ini bercerita, sebuah perusahaan raksasa piranti lunak komputer ikut memberikan sumbangan dangan jumlah yang signifikan. Microsoft memang pandai melenakan kesadaran banyak orang di Negara-negara miskin. Tidak terkecuali aktivis-aktivis di forum nasional tersebut. Semakin kuatlah posisi perusahaan milik Bill Gates itu.

Satu ketika saya bersama seorang teman perempuan dalam perjalanan kembali ke kantor dari menghadiri undangan diskusi. Saya membalas pesan pendek seorang teman. Teman kantor saya ini dengan heran berkata, "tukar saja hp mu itu". Saya sadar, sejak dua tahun lalu saya menggunakan ponsel kelas low end yang sudah ketinggalan zaman. Kalau pun ada yang bersedia membelinya, barangkali harganya tidak lebih 100 ribu rupiah.

Saya amati kembali ponsel yang saya pakai: Motorola C116. Dahi saya mengernyit. Motorola adalah adalah salah satu perusahaan yang berasal dari Amerika.

Bogor, 3/11/2007 8:53:20 PM

2 comments

  1. jemiro  

    December 17, 2009 at 4:49 PM

    ah bapak bisa saja :D, btw pa, sedikit mengomtari masalah demo, entah kenapa, walau saya sebagai mahasiswa, hal ini sungguh mengganggu, banyak hal yang dapat dilakukan tanpa harus berdemo :D

  2. Saherman  

    December 17, 2009 at 5:03 PM

    Tks, Jemiro.

    Demo sih boleh-boleh saja. Sebagai salah satu, bukan satu-satunya, cara untuk menyampaikan tuntuntan atau aspirasi.

    Betul, ada banyak hal yang bisa dilakukan selain berdemo. Saya yakin Jemiro bisa membuktikan itu tidak kalah bagusnya.

Post a Comment